Tuesday, June 26, 2012

(fanfict) dangerous smile



hello aku @peacereva punya fanfict buat fanadicky , coba bayangin tokoh 'yefani' disini adalah kak aelke mariska yaaa... tapi terserah sih . sebebas imajinasi kalian aja. happy reading^^



Surat – surat  itu aku simpan dengan sederhana di kaleng bekas biscuit. Amplopnya berwarna merah jambu, lembut dan terasa halus bila aku menyentuhnya. Semua itu adalah surat tanpa perangko yang tak tersampaikan. Surat-surat yang tidak pernah aku kirimkan kepada pemiliknya.  Mungkin suatu saat dia akan membacanya, tapi ketika aku sudah pergi dari dunia ini. Entah kapan.
Malam ini aku telah membuat satu surat baru untuknya yang aku yakini akan membuat kaleng biscuitku semakin penuh dan susah ditutup. Tapi aku suka ketika mendengar decitan kaleng berkarat itu. Suaranya seolah memberitahuku agar berhenti menulis surat. Apakah kaleng berkarat itu juga mengerti apa yang aku rasakan? Meskipun ia berkarat namun ia beruntung telah menemukan pasangan sejatinya yaitu tutup kaleng yang sama-sama berbentuk bundar dan ukuran yang serasi . Pasangan yang sudah Tuhan takdirkan untuknya karena sebagus , semewah atau secemerlang apapun tutup kaleng yang lain tak akan bisa menjadi pasangannya karena ukuran yang tak sesuai.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan kembali membaca surat  yang baru saja aku selesaikan.


Dear you…
Si pemilik dangerous smile… Hari ini aku kembali melihatmu setelah dua bulan kamu pergi meninggalkan rumah. Aku kembali melihat senyuman itu di bibirmu… Senyuman yang selalu kau sunggingkan di manapun dan kepada siapapun… Hari ini kamu terlihat lebih kurus.. Aku mengerti , mungkin kamu terlalu kelelahan karena pekerjaan barumu itu…
hw
Setiap kali aku melihatmu di layar kaca , sungguh aku masih belum percaya bahwa itu adalah kamu… Dicky  Prasetya, kakakku . kamu yang dulu selalu bermain bersamaku , sekarang telah menjelma menjadi seorang lelaki yang digilai para remaja wanita. Kamu menari dan menyanyi bersama boyband-mu yang diberi nama ‘smash’. Aku senang itu terjadi, karena dengan begitu bukan aku saja yang menjadi korban ‘dangerous smile’-mu.
Kamu yang paling bersinar diantara yang lain.. kamu bintang diantara bintang –bintang itu.. Yang paling indah.. Yang paling berbahaya..
Aku sangat senang dapat melihatmu di rumah ini.. Teman-temanku bilang bahwa aku beruntung bisa mempunyai kakak seperti kamu.. Namun aku tidak merasa demikian. Aku justru merasa terjebak dalam keadaan yang seharusnya tak aku tempati. Seharusnya aku tidak ada disini, di keluarga ini . Aku terkadang berharap terlahir di keluarga lain agar aku tak usah menjadi adikmu. Mungkin menjadi wanita lain atau menjadi fans-mu.. Semuanya akan menjadi lebih wajar daripada ini.
Kehidupan yang lain… Another me . Another you..

Ku lipat dan ku masukan surat itu ke dalam amplop berwarna biru muda. Cantik sekali. Namun tetap saja berakhir di kaleng biscuit di laci meja belajarku. 
                                                            ***
Aku menghampiri Kak Dicky di balkon. Angin berhembus cukup kencang sore ini.  Kini aku berdiri disampingnya dan menatap lurus ke depan seperti apa yang  ia lakukan, menikmati pemandangan gunung di sore hari.

“Indah ya.” Suara itu kambali terdengar di telingaku.

“Hmm.” Gumamku.

Aku bisa merasakan angin menerpa mukaku dan menggoyangkan rambut ku yang tidak terlalu panjang. Sesekali mataku memincing menahan debu yang tertiup angin.

“Inilah alasan mengapa aku meminta ayah untuk membangun rumah menghadap ke gunung  dan juga alasan mengapa aku meminta jendela persegi panjang di kamarku tanpa disertai tirai. ” ungkap Kak Dicky. Ku lirik dia sekilas. Poninya terusap ke belakang. Benar-benar cool…

“Kamu tau kenapa aku meminta jendela tanpa tirai?” lanjutnya.

“Kenapa?”

“Jendela itu seperti sebuah bingkai dan gunung ini adalah lukisannya. Lukisan yang telah Tuhan berikan gratis untuk kita.”

Aku tersenyum kecil. Kak Dicky memang mempunyai selera seni yang berbeda daripada yang lain. Ke-khassannya itu yang selalu berhasil membuatku rindu.
Kami masih berdiri tanpa memandang satu sama lain. Kami terlalu sibuk menikmati pemandangan di hadapan kami. Sinar senja itu memenuhi langit . Oranye , aku lebih suka menyebutnya oranye daripada jingga. Karena jingga terlalu menyakitkan untuk aku sebut. Jingga , kata itu seperti kata perpisahan antara siang dan malam. Perpisahan yang memberikan kenangan buruk. Tapi langit itu berwarna oranye , teduh , damai , ceria.

“Terkadang aku merasa takut tidak pernah melihat pemandangan ini lagi.” Ucap Kak Dicky.

“Aku juga takut tidak bisa kembali pulang ke rumah ini.” Sambungnya.

Pulang ke rumah sepertinya menjadi hal yang paling kakak rindukan untuk akhir-akhir ini. Karir yang menanjak memaksanya untuk jauh dari rumah. Dua bulan kemarin ia dan boybandnya disibukkan oleh promosi di luar kota dan luar negeri. Dia memang punya nasib yang baik. Dia terkenal , tampan ,digilai para remaja.  Nama dan fotonya pun terpampang dimana-mana.

“Kamu takut Yefa ?” Tanya Kak Dicky tiba-tiba.

Mataku mengerjap kaget. “Apa yang kamu takutkan untuk saat ini ?” Tanyanya lagi.
Hening. Begitu hening sampai yang terdengar hanyalah suara angin. Kedinginan itu menjalar dari kepalaku. Menyebar begitu cepat ke seluruh tubuh ringkihku. Kurapatkan jaket rajut berwarna coklat tua yang aku kenakan. Jaket yang berlengan panjang sampai tanganku tertutup lengan jaket ini, yang terlihat hanyalah ujung-ujung jariku.

“Saat ini yang aku takutkan adalah kakak pergi dan melupakan aku. Terkadang aku merasa jauh dari kakak.” Ujarku , berusaha tak terdengar aneh.

Aku bisa merasakan pundakku  diputar dengan lembut. Kini aku berhadapan dengan Kak Dicky. Kepalaku sedikit mendongkak melihat wajahnya. Mata besar itu masih berwarna hitam bening. Wajah teduh itu kembali berada di hadapanku. Ia tersenyum , membuatku merasa aman dan damai. Dua tangannya menyentuh pipiku yang dingin. Sentuhan itu menyebarkan kehangatan yang pelan-pelan menjalar menuju pipiku. Tangan hangatnya yang halus masih seperti dulu. Benar-benar lembut tak berkeringat dan tentu saja wangi.

Pelan-pelan aku melihatnya mulai berbicara, “Kamu adikku dan selamanya akan begitu.” Kata-kata itu membuatku tenang karena dia  mengucapkan dengan cara yang sangat aku suka. Namun apabila dipikir lebih lanjut , sebenarnya aku benci kata-kata itu. Kenapa aku harus menjadi adiknya? Hanya adik?
Pipiku mulai terlepas dari sentuhan itu. Aku melihatnya berlutut di depanku dan berkata, “Yefanni Chan, maukah kamu menjadi adikku untuk selamanya?” Tanya Kak Dicky layaknya seorang lelaki yang sedang mengutarakan perasaan.
Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Benar-benar manis seperti permen. Aku bisa merasakan mata sipitku semakin mengecil ketika aku tersenyum.  Aku juga melihat Kak Dicky tersenyum ,sepertinya dia senang melihat mataku yang semakin mengecil. Aku mengangguk dan mengangkat badan Kak Dicky agar ia segera berdiri.

“Tak perlu takut lagi ya , Yefa.” Ujarnya seraya merangkulku.

Aku menghirup udara dengan keras seolah itu akan memenuhi paru-paruku dalam sekali helaan. Aku berusaha sekuat tenagaku namun yang aku rasa hanyalah nyeri, sesak. Akan tetapi rangkulan itu benar-benar mempengaruhi pikiranku. Sesesak apapun namun aku tetap merasa nyaman dan hangat berada di dalam rangkulan Kak Dicky. Oksigen itu masuk ke rongga hidungku dengan sendirinya.  Aku tidak mau membuatnya khawatir. Aku merasa terlalu banyak membuatnya kerepotan. Jadi untuk kali ini biarkan aku menanggungnya sendirian. Aku pasti bisa mengatasi sesak ini sendiri.

                                                                        ***
Ada yang berbeda dari makam malam kali ini. Ayah dan ibu pergi menghadiri undangan pernikahan rekan kerjanya.  Jadi hanyalah ada aku , Kak Dicky dan seorang wanita asing di meja makan.

“Kakak cantik ini namanya Cessy .” ujar Kak Dicky.
Aku melihat wajah Kak Cessy sekilas. Dia memang cantik.

“Cessy, ini adikku namanya Yefanni.”  Ujar Kak Dicky kepada Kak Cessy.  Kak Cessy melihatku dan tersenyum. Dia kemudian memandang Kak Dicky dan aku  secara bergantian lalu kembali  tersenyum lebih lebar sampai aku bisa melihat deretan behel di giginya.

“Kalian… ”Ucapnya sambil menggeleng tak percaya.

“Yefanni matanya sipit sekali sementara Dicky  matanya besar. Kenapa bisa begitu ya?” Tanyanya sambil memiringkan kepala.
Aku tersentak. Memang sepantasnya Kak Cessy menanyakan hal itu, justru aneh apabila ia tidak menyadari perbedaan yang mencolok antara aku dan Kak Dicky. Aku melihat Kak Dicky  yang ada di sampingku seakan-akan berdiskusi melalui tatapan mata tentang siapa yang akan menjelaskan perkara ini. Bisa ku dengar Kak Dicky menghembuskan nafasnya dan mulai berbicara pada Kak Cessy yang duduk berhadapan dengan kami. “Sebenarnya kita bukan saudara kandung.”
Aku melihat mata Kak Cessy terbelalak dan mulutnya sedikit menganga. “Oh.. ehm eee.. maaf ya?” Ucapnya.

“Oke. Wajar kamu menanyakan itu. Semua orang yang melihat kami pasti menanyakan itu.” Ujar Kak Dicky.

Aku sadar , aku dan Kak Dicky memang sama sekali tidak mirip, mungkin kesamaan diantara kami hanyalah kulit kami yang putih dan rambut yang lurus.

“Makan malam kali ini aku memasak sushi saja. Maaf  kalau ini tidak sesuai dengan selera Kak Cessy. ” Ucapku.

“Salah Kak Dicky juga tidak memberitahuku kalau kita akan kedatangan tamu.”

“Ah.. sebenarnya tidak usah repot-repot begini. Maaf ya Dicky  , Yefanni. ” Ucap Kak Cessy  dengan mengangkat kedua tangannya dan menganggukan kepala berkali-kali.

Makan malampun dimulai. Aku bisa melihat Kak Cessy kesulitan menggunakan sumpit. Aku tersenyum melihatnya.  Padahal menyumpit sushi itu mudah menurutku , bentuknya tidak terlalu kecil maupun terlalu licin. Tapi mengapa Kak Cessy begitu kesulitan? Apa jangan –jangan ia hanya ingin menarik perhatian Kak Dicky saja?

“Ah, sulit sekali rupanya.” Desahnya seraya mengetuk-ngetuk sumpit pada piring. Sementara itu Kak Dicky menjulurkan tangan kanannya yang telah menyumpit sushi.

“Aaaa.. buka mulutmu.” Perintah Kak Dicky kepada Kak Cessy. Mulut Kak Cessy terbuka dan melahap suapan sushi dari Kak Dicky. Aku tertegun melihatnya, Kak Cessy tersenyum dengan mulutnya yang dipenuhi sushi. Sementara itu Kak Dicky  tertawa dengan renyah. Aku meneruskan menyumpit  sushi-ku dengan agak canggung. Memasukkannya ke mulut  dengan buru-buru. Aku menyumpit lagi tapi tak berhasil karena aku terlalu gugup.

       30 menit berlalu namun aku  masih belum bisa mengetahui status wanita yang Kak Dicky ajak makan malam . Kak Cessy itu siapanya Kak Dicky? Temannya? Se-special itu kah Kak Cessy sampai Kak Dicky rela repot-repot mengajaknya makan malam bersama.

“Ternyata penyakit ini mengantarkan aku kepada jodohku.” Ucap Kak Dicky lalu menyesap teh hijaunya.

“Kalau dulu aku tidak sakit gigi , mungkin aku tidak akan bertemu dengan kamu, Cessy..”
Oh jadi mereka… Semuanya terasa semakin jelas untukku, rangkaian pertanyaan yang bercabang di otakku kini telah terjawab.

“Jadi.. dulu kita bertemu di saat mengantri di dokter gigi. Pada awalnya hanya percakapan biasa namun akhirnya kita bertukar nomor ponsel. Hahaha , Lucu sekali ya.” Ucap Kak Dicky lagi.

“Kalau aku tidak memasang behel , mungkin aku juga tidak akan mengenalmu.” Timpal Kak Cessy.
Aku mengerti, jadi mereka bertemu di dokter gigi , sebelum Kak Dicky terkenal . Saling bercakap satu sama lain dan akhirnya… saling jatuh cinta?
Aku berusaha bertingkah senormal mungkin. Menenggak teh dengan normal , tersenyum kepada mereka berdua seakan-akan aku merestui hubungan mereka.

“Aku ke kamar ya? Kalian silahkan saja disini atau  ehmm kemana pun kalian mau.” Ucapku, pamit. Mereka mengangguk.

“Tunggu!”
Aku menoleh dan melihat Kak Dicky menjulurkan secangkir teh untukku. “Minum ini, malam ini sangat dingin. Semoga secangkir teh bisa menghangatkanmu.”

“Tapi aku sudah meminum satu cangkir tadi.”

“Untuk di kamarmu.” Aku menghembuskan nafas pelan, Kak Dicky memang perhatian walaupun kini di depannya ada kekasihnya.

“Terimalah..” Rengeknya. Baiklah , aku menerima teh itu, “Terimakasih , kak.”
Aku jadi berfikir, apa mungkin Kak Dicky takut aku mati kedinginan?
Aku berpaling dan segera memasuki kamarku. Aku menutup pintu dan bersandar di belakangnya. Tubuhku pelan-pelan merosot, terduduk di lantai yang dingin dan berkilau ini. Aku merasakan nafasku bergetar . Aku menunduk  , menggenggam cangkir teh dengan dua tanganku. Menatap asap yang mengepul diatasnya. Dengan agak bergetar aku menyesap teh itu. Kehangatan mulai menjalari tanganku namun kedinginan lantai ini terasa lebih kuat. Aku benci pada diriku yang tetap mencintai Kak Dicky. Kenapa aku harus sakit hati melihatnya dengan wanita lain? Bukankah itu selayaknya terjadi? Ada yang salah pada diriku. Aku meletakkan cangkir itu di lantai. Kuputuskan untuk menekuk lututku dan memeluknya erat-erat. Yang aku pahami adalah ternyata aku masih takut kehilangan Kak Dicky…

                                                            ***

Tapi waktuku bukanlah malam itu. Sekarang aku masih hidup dan hendak kembali menulis surat tak tersampaikan. Di temani suasana malam yang hening dan dentingan jam yang dapat aku dengar.


Dear you…
Aku sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersamamu.. Kamu juga mampu melindungiku dari segala kemungkinan yang terjadi… kamu selamatkan aku dari kedinginan yang pelan-pelan menusuk tulang rusukku.. Menyerang tubuhku yang lemah… Dari wajahmu aku bisa melihat ketakutan itu.. kekhawatiran yang biasa aku lihat bila kedinginan itu kembali muncul menyerangku… sesak dan dingin adalah kengerian yang tubuhku harus perangi.  Apa kamu takut aku pergi begitu cepat..?
Namun kadang aku berfikir bahwa orang yang paling melindungiku justru adalah orang yang membuatku begitu sakit…
Kak Cessy… Dia wanita yang sangat beruntung… Aku yakin penggemarmu juga akan mengatakan hal yang sama.. Dia memang beruntung…
Suatu saat kamu akan menikahinya… ya.. Memang itulah yang harus kamu lakukan.. menikah dengan wanita yang kuat dan sehat… Agar anakmu juga sama sepertinya..
Aku semakin merasa bahwa waktu untuk kamu membaca surat-surat ini semakin dekat.. Setidaknya itulah yang hatiku katakan padaku… Sebelum aku kehilangan waktu dan kesempatan , maka sekarang aku akan mengungkapkan bahwa aku mencintaimu.. Terserah kamu mau menerjemahkan cinta yang seperti apa.. cinta sebagai saudara atau apa saja… Tapi kurasa perasaan ini adalah perasaan cinta antara sepasang kekasih…
Sekali lagi terima kasih untuk semuanya… Terima kasih kak..


                                                                        ***

Hari ini Kak Dicky konser di salah satu mall di kota kami. Aku ingin sekali bisa pergi kesana . Aku ingin melihatnya tampil di panggung secara langsung dan bukan hanya lewat layar kaca.
Aku melangkahkan kaki di dalam mall itu. Mataku menyapu sekitar dan kutemukan panggung di tengah-tengah mall. Itu pasti panggung untuk boyband-nya Kak Dicky. Langsung saja kulangkahkan kaki mendekati panggung tersebut. Masih sepi, tapi aku sengaja diam disini agar bisa menonton paling depan.
Lama kelamaan penonton berdatangan. Dan disaat penonton sudah semakin banyak , boyband smash-pun tampil. Sulit ku percaya apa yang sedang aku saksikan. 7 orang pemuda tampan bersuara merdu tengah menari di hadapan kami , begitu dekat. Aku dapat mendengar suara jeritan para remaja yang cukup membuatku sakit telinga. Keadaan semakin parah ketika ada personil yang mendekatkan dirinya ke arah penonton. Badanku terdesak , terdorong , terhimpit, sakit.. sakit sekali..  penonton itu berusaha agar bisa meraih tangan idolanya. Sementara aku merasakan sakitnya berada di keramaian seperti ini. Aku merasakan rambut coklatku  basah oleh keringat dingin. Kucoba menarik nafas namun yang kudapat hanyalah kesesakkan… sakit… aku tak tahu wajahku seperti apa sekarang.. Apakah menyeramkan seperti mayat hidup?
 Ku ikuti arus yang menyeretku , kubiarkan arus itu membawa badanku entah ke kiri atau ke kanan. Pandanganku kabur sampai kurasakan orang di balik pagar besi menarik tubuhku dari keramaian. Menyelamatkan aku dari semua himpitan. Orang itu mungkin security.
Aku digendongnya dan ia berjalan meniggalkan keramaian panggung entah kemana. Namun telingaku masih dapat mendengar lagu-lagu boyband Kak Dicky. Mereka tetap bernyanyi. Dan dengan mata yang sedikit terbuka aku melihat Kak Dicky sekilas. Apakah dia juga melihatku..? Namun yang kurasa security itu berjalan semakin cepat hingga tibalah aku di sebuah ruangan. Aku dibaringkan di sebuah sofa yang panjang. Aku dengar orang–orang berteriak  “Oksigen! Oksigen!”
Dengan lemas aku melihat langit-langit ruangan ini yang berwarna putih gading. Tangan-tanganku masih bergetar , kakiku terasa dingin dan kesemutan. Tiba-tiba kudengar gemuruh seseorang yang menghampiriku dengan terburu-buru.

“Yefa, kamu kenapa sayang?” ujarnya, ketakutan.

“Kak Dicky,”ucapku disertai senyum. “Sakit, kak.”

“Kenapa kamu kesini ? Kakak bisa mengajakmu ke backstage kalau kamu bilang terlebih dulu. Tidak usah ikut berdesakan seperti yang lain.” Ujarnya , dari nadanya aku bisa mengetahui bahwa ia khawatir.

“Aku ingin diperlakukan seperti fans kakak yang lain. Bukan dengan perlakuan istimewa. ” Jawabku.

“Tapi kamu itu berbeda Yefa! Ahhh…. ” Ia memalingkan wajahnya ke arah keramaian dan berteriak 
“Oksigen ! tolong! Oksigen!!!”

“Kak..”
Ia menoleh “Apa?”

“Aku ingin kakak tersenyum.”

Matanya terbelalak , “Keadaan seperti ini kakak tidak bisa tersenyum , Yefa!”

“Aku mohon kak.. Aku ingin liat kakak tersenyum. Sebelum waktuku tiba.”

“Jangan berbicara seperti itu!”

“Kak..”

“Baiklah..”

Detik itu juga aku melihat Kak Dicky memutar bola matanya seolah menahan air mata. Bibirnya mulai tersenyum . kupandangi wajah itu inchi demi inchi tanpa terlewat. Aku memandangnya lekat-lekat seolah tak akan melihatnya untuk waktu yang amat lama. Aku  takut… Aku takut pergi dan melupakan senyuman itu.

“Terimakasih. Kak… di laci meja ada kaleng biscuit, kakak boleh melihat isinya. Tapi ini rahasia diantara kita berdua saja ya? Jangan beritahu orang tua kita.”

Ia hanya mengangguk. Aku mendengar suara teriakan bahwa ambulan sudah ada di depan mall. Dengan cepat Kak Dicky mengendongku. Sepanjang jalan aku dapat mendengar teriakan-teriakan para remaja. Mungkin mereka iri melihat idolanya menggendong seorang gadis. Mereka tidak tahu aku ini hanya adiknya.
Aku dibaringkan di kasur ambulan yang terasa keras. Selang oksigen itu mulai memasuki lubang hidungku. Kubuka mata dan melihat Kak Dicky masih setia disampingku. Ia sesekali mengusap dahiku. Mobil mulai melaju , aku merasakan ketenangan dan kedamaian. Sesak dan dingin mulai menguap dari tubuhku. Kupikir aku tidak akan merasakan semua kesakitan itu lagi. Saat itu juga kurasakan badanku terasa ringan . Aku bagaikan melayang meniggalkan tubuhku yang ringkih. Mata sipit itu kini terpejam untuk selamanya…
                                                                                                ***
Dear you…
Aku tidak pernah menyalahkan pilihan  mama. Ia memilih papa-mu mungkin karena papa-mu tampan dan baik hati.. Aku juga merasa mereka memang cocok…
Aku juga tidak pernah menyalahkan kenapa pernikahan itu harus terjadi…  pernikahan antara papamu dan mamaku . Aku menerima itu semua…
Namun aku yakin di kehidupan yang lain akan ada aku yang lain dan kamu yang lain.. kita bukan lagi adik kakak. Ah iya, kamu sudah membaca semua surat di kaleng itu kan? Bagaimana ? Menurutmu lucu? Apakah kamu tertawa ketika membacanya ? Aku senang kini surat-surat itu telah tersampaikan kepada pemiliknya. Tetaplah menjadi bintang yang paling bersinar ya kak?  karena kini akupun menjadi bintang disana… di langit bersama bintang yang lain…
Kutunggu kehadiranmu disini , kak.


Bandung 13.32 25-06-2012
#fanadicky #fanadickybandung #bandung #dickyprasetyo #dickyprasetya #dicky #cerpen #smash #fanfiction #smashblast #cerita #peacereva #ceritapendek #sad #love #story #boyband #bisma #karisma #yefaniChan



No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan