Fabian baru saja menceraikan Fangela 1 bulan yang lalu. Alasannya sederhana,
karena mereka belum dikaruniai anak. Sebenarnya Ini bukanlah sepenuhnya
keputusan Fabian. Orangtuanya menjadi dalang di balik semua ini. Mereka ikut andil
mempengaruhi juga mengintimidasi wayang kecilnya itu. Fabian sudah seperti wayang yang jalan
hidupnya diatur oleh mereka.
Sakit yang dirasakan Fangela tidak sebanding dengan apapun di dunia ini. Bagaimana tidak? Lelaki yang dicintainya ternyata tega menceraikannya begitu saja. Dengan mudah , tanpa memikirkan perasaan Fangela. Apakah suatu racun dari orangtuanya itu begitu hebat pengaruhnya sehingga dengan mudahnya Fabian meninggalkan Fangela. Pernikahan mereka mungkin telah berakhir namun tidak bagi Fangela, hatinya tetap tertaut pada Fabian. Bagaimanapun sulit sekali melupakan seseorang yang ia cintai. Apalagi mereka pernah mengecap sebuah rumah tangga walau hanya sekejap.
Fangela tidak mengerti
pada dirinya sendiri. Sejahat apapun Fabian tetapi ia tidak bisa marah
kepadanya . Apakah itu
yang dinamakan cinta sejati? Ketika kata-kata cerai itu diucapkan ia sama
sekali tidak memberontak. Ia menerimanya dengan tulus dan mencoba memahami apa
maksud Fabian. Walaupun maksud itu tidak dapat ia mengerti hingga sekarang , namun ia yakin ini adalah keputusan
terbaik.
Sore itu Fangela pergi ke dokter gigi , sengaja ia pergi ke tempat praktek Fabian. Karena ia merasa merindukan
mantan suaminya. Setelah antri beberapa menit, bagiannya datang juga. Ia membuka kenop pintu. Pelan-pelan wajah itu
muncul lagi di hadapannya. Fabian tampak masih sama seperti
biasanya. Rahangnya yang tegap dan kulitnya yang putih susu juga bintik-bintik
coklat di sekitar pipinya masih sama seperti dulu.
Mereka duduk berhadapan , dilihatnya
sosok dokter itu tersenyum kaku, seolah kaget melihat pasien yang ada di hadapannya tapi ia
mencoba menyebarkan kehangatan. Seperti yang biasa mereka lakukan dulu.
“Apa keluhannya bu?” Tanya
Fabian
“Fabian…” Fangela menatap Fabian dengan tatapan sendu. Banyak hal yang
ingin ia utarakan . Tentang
semuanya, tentang kerinduannya , tentang perasaannnya juga tentang rasa
sakitnya yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapapun.
“Kita di sini sebagai dokter
dan pasien, ngel. Professional-lah dan jangan campurkan urusan pribadi kita.” Ujar
Fabian , setelah melihat tatapan Fangela yang ia anggap aneh.
“Tenang , fab. Aku ngerti
kok. Aku kesini mau konsultasi tentang behel. Aku pingin pasang behel, kamu mau
kan pasangin untuk aku?” Tanya Fangela.
“Tapi gigi kamu udah
rapih.”
“Nggak! Nggak serapih
yang kamu pikirin! Ini bukan soal rapih atau enggak! Ini soal behel! Aku pingin
pasang behel!!!” Nadanya
semakin tinggi. Setelah perceraian
itu memang Fangela lebih banyak merenung, ia berfikir terlalu keras. Sehingga terkadang
tingkahnya seperti orang stress. Fabian menyerah,
akhirnya ia memutuskan untuk menuruti apa yang Fangela inginkan.
“Mari…” Ucap Fabian seraya menunjuk kursi tempat
pemeriksaan.
Ketika Fangela duduk disitu , Fabian mulai menyalakan lampu khusus yang mengarah ke gigi pasien. Ia juga mengenakan masker serta sarung tangan karet.
“Buka mulutnya.” Suruh Fabian.
Dengan seksama ia mengamati deretan gigi Fangela. Rapih dan putih. Sama sekali tak ada masalah.
“Cukup.” Ucapnya diakhir
pemeriksaan. Ia kemudian mematikan lampu khusus.
“Sebenernya motivasi kamu
pake behel itu apa?” Tanya Fabian seraya melepas maskernya.
Fangela terdiam sejenak. Matanya menari kesana-kemari.
“Aku.. aku… aku pingin
ketemu kamu teratur, tiap bulan… tiap
aku check up.” Akhirnya Fangela bicara jujur.
‘sudah kuduga…’ Batin Fabian. Ia menghirup udara dalam –dalam.
“Baik. Akan aku pasang .”
Satu minggu kemudian Fangela datang ke klinik. Membawa hasil rontgen
rahangnya. Sampai saat itu tiba… Fangela duduk di kursi eksekusi.. Detik demi
detik dilaluinya dengan senang dan berharap ia bisa terkunci di detik itu.Berhenti
disaat jarak antara mereka begitu dekat. Ia diam begitu tenang dan membiarkan
Fabian bekerja, melakukan apapun pada giginya. Sesekali ia terpejam ketika
benda bercahaya biru didekatkan pada giginya.
2 jam telah berlalu, behel berwarna silver itu kini tampak di deretan giginya. Malamnya Fangela merasa sakit luar biasa, namun ia sama sekali
tak mengeluh. Ia berdalih bahwa inilah yang harus
ia bayar demi bertemu dengan Fabian walaupun itu hanya satu bulan sekali.
Bulan demi bulan telah mereka lalui, sampai suatu sore ponsel Fabian berdering. Mantan mertuanya menelepon dengan
suara yang misterius.
“Kemari nak… Fangela
butuh bantuanmu… Jangan sampa
terlambat… Sebelum adzan maghrib
berkumandang, kamu harus berada di rumah saya. Tentu kamu masih ingat alamatnya
, kan?”
Seketika bulukuduk Fabian merinding. Suara itu terdengar sangat menyeramkan
terlebih suara mertuanya itu seperti suara mak lampir.
“Baik, ma. Saya segera kesana.” Seperti terhipnotis,
Fabianpu menurut.
***
Setibanya di rumah mantan mertuanya , Fabian makin merasa aneh. Ia melihat
orang-orang asing yang menatapnya seolah-olah Fabian baru saja mencuri. Mereka melirik
tajam, ada beberapa yang mendelik dan ada yang menatapnya dengan sudut matanya.
Dengan langkah gemetar Fabian masuk ke rumah itu. Harum bunga melati mulai menelusup rongga
hidungnya.
“Nak Fabian… Akhirnya datang juga.. Sini nak..” Ucap mantan mertuanya itu , ia memakai kebaya serta
samping . Rambutnya yang berwarna putih ia sanggul secara asal. Senyumannya yang
penuh misteri itu membuat
ujung matanya makin terlihat keriput.
Fabian mengikuti langkah nenek itu memasuki sebuah kamar dengan
lampu kuning yang temaram.
“Ini dia orangnya..” Nenek itu menunjuk Fangela yang tengah terbaring di
kasurnya sambil memejamkan mata.
“Saya harus ngapain , ma?”
Tanya Fabian.
Mertuanya mengangkat wajah Fabian dengan kuat. Mencengkramnya dengan penuh
dendam. Matanya pun melebar dan senyumnya berubah menjadi senyum yang
menakutkan.“LEPASKAN BEHELNYA!” Perintah nenek itu seraya membanting wajah Fabian ke arah Fangela.
“Baik… ma.”
Dengan sedikit bergetar , Fabian mengeluarkan peralatan yang berada di
tasnya. Kemudian mencoba membangunkan Fangela dengan menyentuh pipinya.
“Ngel.. ngel.. bangun..” Ucapnya, lembut.
Pipi Fangela terasa dingin. Bibirnya juga pucat pasi.
“Ngel, aku lepas behel
kamu. Nggak apa-apa nih? Ngel?” Ucapnya. Fabian lalu mengarahkan jari telunjuknya ke bawah lubang hidung Fangela. Namun
ia sama sekali tidak merasakan hembusan yang keluar dari hidung itu. Tangannya bergetar mendapati kenyataan
tersebut. Ia kembali melirik mantan mertuanya yang masih berada di belakangnya.
“Ma..” ucapnya , pelan.
Mantan Mertuanya itu hanya mengangguk, “Langsung saja kau lepas behel itu!” Perintahnya.
Pertanyaan muncul di kepalanya. Ia masih bingung atas apa yang ia alami
sekarang. Tentang Fangela, tentang mantan mertuanya dan tentang semua
orang-orang aneh itu. Dengan
penuh tanda Tanya ia pun segera melepas behel-behel yang ada di gigi Fangela. Ia
melepasnya dengan hati-hati juga sangat teliti. Semua kawat dan braket ia simpan dalam suatu plastic khusus
untuk nanti ia buang. Inilah pertama kalinya ia
melepas behel dari seseorang yang terpejam. Rasanya agak aneh, juga agak
mistis.
Pekerjaannya kini telah selesai, ia duduk di tepi ranjang ditemani mayat Fangela
dan juga mantan mertuanya itu.
“Sebenarnya ada apa , ma?”
Mata nenek itu menerawang ke langit-langit. Raut mukanya Nampak sedih
sekali. Namun ia paksakan untuk berbicara meskipun agak bergetar.
“Fangela, dia mati. Sewaktu di kamar mandi ia terpeleset. Darah bercucuran
bercampur dengan air di lantai kamar mandi. Ema membantunya berdiri. Ia bilang sakit, sangat sakit. Dan ketika dilarikan ke rumah sakit ia masih
hidup. Dokter bilang bahwa ia mengalami benturan yang sangat hebat, sehingga ia
keguguran.”
“keguguran? Apa maksud ema?” Mata Fabian melebar reflek.
“iya, calon anakmu itu gagal diselamatkan.”
Dada Fabian mulai merasa sakit. Ternyata anggapannya selama ini salah,
ternyata Fangela mampu memberinya anak.
“Anak saya?” tanyanya
masih tak percaya.
“Iya anakmu! Anak siapa
lagi!!”
Fabian masih tak percaya, ia merasa menjadi suami dan ayah paling buruk
sedunia. Ketika istrinya sedang mengandung malah ia menceraikannya, ia juga tidak bisa menemani
Fangela selama masa hamilnya. Ia tak
bisa menjaga Fangela dan juga anaknya. Ia
merasa sangat buruk dan sangat payah. Nafasnya mulai bergetar. Ia menatap nanar
mantan istrinya itu, matanya terpejam dan tak akan pernah bisa terbuka. Di pegangnya
tangan Fangela, ia mengusapnya dan merasakan kedinginan. Air matanya tumpah
begitu saja. Ia berpindah mengusap kening serta rambut Fangela. Ia
mengusapnya dengan penuh perasaan karena ia tahu , inilah kesempatan terakhirnya melihat Fangela.
“Dia bersabar ketika kamu menceraikannya, ia bilang ia akan mencoba mengerti.
Ia sengaja tak memberitahu tentang kandungannya , karena takut kamu membatalkan
perceraian sedangkan kamu sudah mengatakannya berulang-ulang. Ia takut kamu
malah jadi anak durhaka kepada kedua orangtuamu. Tapi fikirannya malah semakin
kacau. Dia berkorban terlalu banyak. ”
“Ema sengaja memanggilmu kesini untuk melepas
behelnya. Karena ema tidak
mau dia mati sambil memakai behel. Maafkan semua kesalahan dia, dia belum bisa jadi istri terbaik untuk
kamu. ”
Fabian semakin terisak mendengar penjelasan mantan mertuanya itu. Tangisnya yang semula hening kini berubah
menjadi nyaring. Ia bersimbuh memegangi kaki mantan mertuanya. “Enggak ma! Harusnya Fabian yang minta maaf.
Fabian nggak bisa jadi suami yang baik bahkan sampai dia mati , ma.” Tak lama angin bergerak begitu manja, membelai
punduk dan leher Fabian, membuat bulu kuduknya
menari-nari.
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan