Thursday, July 5, 2012

Bolehkah... (part 1)

Bolehkah... (part 1)



Menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak aku cintai. Dia berkulit coklat , tidak terlalu putih juga tidak terlalu hitam. Di sekitar pipinya tumbuh jerawat berukuran besar . Alisnya menyerupai garis lurus tanpa lengkungan dengan panjang tak melebihi sudut matanya , alis yang pendek. Hidungnya berbentuk segitiga bila aku melihatnya dari depan, namun cukup mancung bila aku melihatnya dari samping. Tubuhnya tipis , sama sekali tidak berotot . Dengan teganya aku berfikir bahwa ia tak akan bisa melindungiku dengan postur tubuhnya yang seperti itu . Namun satu yang membuatku merasa benar ketika ada di sisinya yaitu ia memiliki mata dengan bagian hitam yang besar . Warnanya yang bening memaksaku berfikir bahwa itu adalah air yang terkumpul dengan indah di matanya. Seperti embun di pucuk dedaunan, menyegarkan juga membuatku damai.

Mata itu menatapku dengan polosnya diiringi sapuan bulu matanya yang bergerak sendu. Kerlingan yang membuatku memandanngnya lebih lama. Mata yang seketika melebar ketika ia tidak dapat mendengar ucapanku dengan baik. Disertai alisnya yang berkerut samar, ia berkata, “Apa?” Nadanya sama sekali bukan nada marah, ia hanya meminta kejelasan atas perkataan ku. Mata itu melebar reflex, menampilkan sisi putih diatas kedua lingkaran hitam besar.
Mata hitamnya yang pekat juga mata putihnya yang benar-benar putih. Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat sepasang mata itu terpejam di sampingku. Bulu matanya seakan menjadi tirai di balik keduanya. Yang menutupi juga melindungi.
Aku kembali meliriknya yang terbaring di sampingku , poninya acak-acakkan, hembusan nafas keluar teratur dari hidungnya. Ku dekatkan wajahku menuju wajah tirus itu sehingga aku dapat merasakan hembusannya menerpa wajahku, segar . Aku mengedip lambat.
Ku amati wajah itu, sebenarnya ia tidak seburuk yang ku pikirkan. Wajah polosnya Nampak tak berdosa ketika terpejam. Seketika aku merasa bersalah karena perlakuan tidak adil kepadanya. melihatnya seperti ini membuatku mengasihaninya.  
Aku menopang daguku dengan dua tanganku yang siku-sikunya menancap kasur ini. Ku usap poni itu perlahan agar tak menutupi matanya. Jarang sekali ini terjadi, biasanya dia tidur di ruang tamu.
                                                            ***
Kami pernah berjanji akan belajar mencintai satu sama lain , namun pada kenyataannya kami seperti orang asing yang hidup satu rumah. Berbicara seperlunya , menatap satu sama lain dan kembali melanjutkan sarapan dengan canggung. Yang terdengar pagi itu hanyalah suara sendok serta garpu yang saling beradu dengan piring.
“Aku janji , aku bakal belajar untuk cinta sama kamu. Aku bakal berusaha lagi, Fa.” Ucapnya memecah keheningan.
“Kalau nggak  bisa, nggak usah di paksa .” Timpalku.
Ku lihat Dika yang duduk di hadapanku. Kedua tangannya menggenggam sendok dan garpu dengan kuat. Namun pandangannya kosong entah kemana. Kuhentikan gerak tanganku yang tengah menyendok nasi goreng. Aku menatapnya lebih dalam. Seketika ia seperti tersadar , pandangannya kembali focus. Mata kami bertemu. Aku tersenyum hambar kepadanya dan ia balas tersenyum simpul.
Sarapan kami telah selesai. Kini kami berdiri di depan rumah , saling berhadapan satu sama lain.   Aku memundurkan kepalaku dan melihat lurus ke arah lehernya yang sejajar dengan mataku. Kami hanya berjarak beberapa senti dan dengan senonoh dia mendekatkan mulutnya ke arah dahiku, namun aku menepis. Aku belum siap.
Aku mematung melihat jakunnya yang bergerak naik turun mungkin karena ia menelan ludah.
“Maaf..” Ucapku, lirih.
Kuantar dia pergi sampai pagar rumah . Dia berlalu dengan mobil hitam itu. Tangan kanannya yang tak memegang stir melambai ke arahku. Ia tersenyum sampai aku dapat melihat deretan giginya yang putih. Aku memandanginya tidak begitu antusias , kulambaikan tangan dan membalas senyumnya.
Dia pergi mengejar mimpinya menjadi actor , terkadang aku merendahkannya . Mana ada aktor seperti dia ? Dia bahkan tak setampan actor yang biasa aku lihat di televisi. Tapi , biarlah dia bermimpi sesukanya , anggaplah ini balasan dari mimpinya ‘menikah dengan wanita idaman’ yang gagal menjadi kenyataan.
                                                            ***
Aku merasa mata itu bukan alasan yang kuat untuk terus bersamanya.  Mata hitam bening ternyata tak cukup. Aku perlu alasan lain yang membuat kami pantas terus bersama. Dan apa pula alasan sehingga aku harus mencintainya? Setahuku cinta itu tak perlu alasan. Tapi mengapa kasus ini berbeda? Aku seolah mencari-cari semua alasan itu. Aku mencari-cari sisi positif yang ada dalam diri Dika.
Aku kembali mengingat hal apa yang sering Dika lakukan. Hmm..seingatku dia suka mendengarkan lagu korea yang cukup menghentak. Lagunya terdengar pantas untuk menjadi lagu di diskotik. Ia selalu mendengarkan lagu itu di mobil, di ruang tengah dan terkadang ia dengar dari earphone-nya ketika kami sedang belanja keperluan di mall.
Dika juga suka mendatangi bagian boneka-boneka di mall. Kulihat matanya menyapu seluruh rak boneka. Ia tersenyum tipis. Tangannya menyentuh boneka lembut itu sekilas. Kemudian kami pulang dengan membawa boneka baru koleksinya. Lelaki yang aneh.
Di ruang tengah aku sering melihatnya memainkan computer tablet dan menyaksikan video music dari girl band korea kesukaannya. Ketika aku duduk disampingnya , ia menoleh ke arahku sekilas.
“Wanita idamanku yang kayak gini , fa.” Ucapnya seraya menunjuk seorang wanita di dalam computer tablet.
“Hmm…” Gumamku, sambil mengangguk.
“Matanya sipit ya? Aku suka. Matanya kayak tenggelam di antara pipinya yang tembem itu. Ooohh park bom!!” Ujarnya dengan nada memuja.
Ketika itu aku tersadar bahwa aku adalah perusak mimpinya. Aku sama sekali bukan wanita idamannya. Aku merasa ingin menggantikan posisiku dengan wanita yang lebih pantas untuknya. Wanita yang lebih bisa mencintainya.
Lama-lama kepalaku pening memikirkan hal ini.  Mengingat kejadian tempo hari hanya membuatku semakin merasa bersalah.

****


Malam itu Dika pulang dengan wajah sumringah , kupikir ia baru saja mendapat jekpot. Dia menghampiriku yang sedang menyiapkan hidangan makan malam.

“Rifa!!!” Teriaknya.

Aku kaget melihatnya mengguncang tubuhku. Aku memundurkan dan memiringkan kepalaku untuk menghindari kapalanya yang semakin mendekat. Sudah seperti kepala ayam saja.

“Apa?!” Tanyaku dengan kening berkerut.
“Aku dapat peran, fa! Aku bakal main film!!! ”
“HAH?” Tanpa bisa kutahan , kakiku melompat-lompat kegirangan. Melihatnya senang seolah membuat aku merasa senang juga.
Kami berpegangan tangan membuat sebuah lingkaran kecil. Di pinggir meja makan itu kami melompat-lompat dan berputar.
“Ahahaha..!!!” tawa kami pecah memenuhi setiap sudut ruangan ini. Langit-langitnya terasa penuh dengan kebahagiaan. Aku merasa waktu seperti berhenti sebentar lalu hanyalah kami berdua orang paling bahagia.
Aku belum pernah melihat ia tertawa selepas ini. Dengan mulut terbuka lebar dan pandangan mengarah ke langit-langit.
“Hahahah..!!!” 


bersambung....

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan