Aku tidak pernah ingat kalau kasurku bisa seempuk ini.
Juga selimutku tak pernah bersuara selembut parasut ketika aku
menggerakkan tangan. Semuanya makin tampak jelas ketika aku membuka
mata. Aku mendesah pelan. Entah harus merasa beruntung atau sial karena
ternyata aku masih hidup. Tapi aku tahu, aku sedikit kecewa.
Aku meraba dahiku. Rasanya kepala ini pusing sekali. Baik,
aku paham, kamu pasti sedang tak ingin berpikir terlalu berat, kan,
wahai otak? Kuturunkan tanganku ke arah hidung. Benda macam apa ini yang
menancap? Selang oksigen? Aku pasti sedang berada di rumah sakit sekarang. Kemudian aku mendongkak ke sudut kanan. Oh, hey kantung infus!
Astaga,
mengapa semua selang-selang bodoh ini harus menancap di tubuhku? Kalau
bisa aku ingin bangkit dan lari. Namun, aku pikir itu tidak mungkin. Aku
bahkan tidak bisa merasakan kakiku sendiri. Ah, aku benci menjadi
lemah! Dan sekarang apa? Aku kelelahan merutuki nasibku sendiri.
“Hey?” siapa pula orang yang berdiri di depan pintu itu sekarang?
“Sudah baikan?” tanyanya lagi, terdengar kaku.
“Are you speak English?” Aku
memandanginya lurus. Mungkin dengan ekspresi paling aneh yang aku
punya. Sementara itu dia terlihat menangangkat salah satu alisnya,
menunggu jawabanku dan terlihat sedikit khawatir.
“Enggak,” jawabku. Dia terlihat menghembuskan nafas lega kemudian berkata, “Syukurlah. Aku kira kamu nggak bisa ngomong bahasa Indonesia.”
“Konyol,” ucapku spontan sambil tergelak. Lelaki itu mendekat dan tepat berada di sisi kiri ranjangku. Menarik bangku dan duduk.
“Jujur, aku nggak tau harus bilang makasih sama kamu atau malah marah,” ucapku.
“Aku bisa liat itu. Aku ngerti,” ujarnya.
Aku
menghembuskan nafas dan menatap langit-langit rumah sakit yang berwarna
putih gading ini. Aku ingat terakhir kali aku sadar adalah ketika aku
berada di sisi jalan memandangi lukisan-lukisan para
pedagang itu. Semuanya berlalu begitu cepat. Orang-orang itu, kendaraan
itu. Semuanya. Aku merasa kecil di antara keramaian. Ketika itu aku mulai duduk di depan toko dengan gravity yang menutupi tirai besinya. Aku telan 20 pil tidur. Lalu tanganku terasa dingin. Aku mual luar biasa. Pandanganku kabur dan aku tidak tahu pasti apa
yang terjadi selanjutnya. Sampai, aku terbangun di sini dan lelaki
asing itu pasti orang yang telah menyelamatkan aku. Seharusnya seperti
itu.
“Percobaan bunuh diri,” imbuhnya, datar. Aku menekan kepalaku lebih dalam lagi pada bantal empuk ini ketika mendengar kalimat itu terlontar dari mulutnya.
“Sebenarnya semua orang punya masalah masing-masing. Apalagi sekarang, di kota besar seperti Bandung ini persaingan hidup semakin ketat. Tapi, masalah macam apa yang bikin kamu nekat kayak gitu?” Aku
menoleh. Rasanya dia tidak punya hak untuk menanyakan hal itu. Dia
hanya orang numpang lewat yang kebetulan menolongku, lalu dengan bebas
dia bisa mencampuri kehidupanku, begitu? Aku bingung
mengapa begitu banyak orang yang ingin tahu masalah orang lain? Mereka
hanya ingin tahu, kan? Ketika selesai aku menceritakan semuanya, lalu apa mereka bisa membantu? Jadi untuk apa aku bercerita? Aku pikir itu hanya membuang waktu!
“Maaf kalau aku lancang. Oh, iya, aku Erick.” Aku melihatnya secara keseluruhan. Lumayan.
“Aku Jess.”
“Oke, Jess. Maaf ya, aku terlalu ikut campur.”
“Ya,” jawabku, malas.
“Sebenarnya tadi aku kira kamu itu nggak bisa bahasa Indonesia. Muka kamu keliatan kayak keturunan asing,” ucapnya.
“Ya, ayahku orang asing.”
“Waw! Kayaknya asik ya punya ayah orang asing. Kamu pasti banyak belajar bahasa asing dari beliau.”
Mengapa
ada makhluk se-semangat ini di dunia? Astaga, padahal kalau aku
perhatikan dia tidak terlalu muda. Aku berani bertaruh usianya lebih
dari 35 tahun, bahkan mungkin mendekati angka 40.
“Tapi dia udah nggak ada,” ucapku datar.
“Oh, maaf...”
“Hhmm.. gimana, udah baikan?” sambungnya.
“Sedikit,” jawabku tanpa menatap ke arahnya.
“Syukurlah. Aku keluar dulu cari makanan ringan.” Dia bangkit dan melangkah membelakangiku. Ya.. baguslah. Lagipula aku lebih suka sendirian.
“Eh, jangan kabur, ya?” ucapnya seraya kembali menoleh ke arahku. Aku mengangguk pelan dan tersenyum, “Ya. Nggak akan kabur untuk sekarang.”
Dia mendengus dan melanjutkan langkahnya ke luar ruangan.
***
Erick datang membawa buah-buahan segar dan beberapa kantung biscuit.
“Maaf lama.” Dia kembali duduk dan membukakan biscuit untukku.
“Kenapa kamu harus bawa aku ke rumah sakit, sih?”
“Karena aku ingin kamu tetap hidup dan Tuhan pun demikian,” jawabnya santai, sambil menyodorkan biscuit coklat. Aku mengambil dan memakannya.
“Ya, tapi aku enggak,” ujarku sambil terus mengunyah.
“Hmm, gini, kamu pernah tau rasanya curhat? Kadang kita emang harus berbagi masalah kita sama orang lain. Berbagi di sini maksudnya seperti berbagi cerita. Jadi, kita nggak pendem masalah itu sendirian. Walaupun nggak terlalu membantu, tapi percaya deh kamu bakal ngerasa lebih lega selesai membagi itu semua.”
“Umur emang ga pernah bohong, ya. Kamu kayaknya tau segalanya,” ucapku.
“Ya,
orang yang mencoba bunuh diri itu bukan kamu aja. Banyak. Jadi aku tau
dan ya, sedikit mengerti apa yang kamu rasakan. Jadi, soal tadi, kamu
bingung mau bilang makasih atau malah marah, itu hak kamu karena aku
juga sadar gimana posisi aku. Orang yang bikin kamu gagal bunuh diri.”
Aku
mengambil lagi biscuit dan santai menanggapi apa yang dia bicarakan.
Ya, sekarang dia menggagalkan aku. Tapi besok aku tinggal melakukannya
lagi. Beres, kan?
“Aku bisa
lihat, ga ada semangat hidup di mata kamu.” Kalimat yang membuat aku
terhenti sebentar lalu menatap kedua matanya. Mata itu mengingatkan aku
akan seseorang namun dalam bentuk yang lebih tua.
“Ya, benar, 100! Kamu tau segalanya,” jawabku malas.
“Dasar orang tua,” celetukku, pelan.
“Eh? Apa? Aku denger loh.”
“Iya, kamu tua! Umur kamu berapa sih?”
Entahlah mengapa akhir-akhir ini aku merasa risih pada orang
dengan pemikiran yang alot, membosankan. Berkata tentang hal-hal yang
benar. Bertingkah merasa dirinyalah yang paling betul. Menggelikan.
“Aku 39 tahun, bulan depan 40.” Lihat? Tebakanku benar, kan?
“Sekarang, coba berbagi cerita. Siapa tau aku bisa membantu,” ucapnya yang kudengar seperti nada memaksa.
“Okay, kalau kamu mau denger ceritanya. Tapi kamu tau kalau ini semua bakal menjijikan. Messy life!”
kuputuskan untuk bercerita kepadanya, daripada aku yang harus mendengar dia so bijak seperti tadi.
“Aku
20 tahun. Ini adalah tahun pertama aku hidup tanpa orangtua. Aku
kehilangan ayah ketika usiaku 10 tahun. Dan hmmm, aku pikir, aku
kehilangan ibu tahun kemarin.”
“Apa maksud dari ‘aku pikir’ ? Ibu kamu meninggal menyusul ayahmu ke surga?”
“Aku ga terlalu yakin, sih. Intinya aku kehilangan dia! Aku nggak tau dia ke surga atau mungkin, hmm, Ya, seperti itulah kira-kira. ”
“Terus?” ucapnya, antusias.
“Hidup sendirian tanpa orangtua rasanya buruk. Aku mulai kehidupan sendiri. Teman baru, lingkungan baru. Aku nggak kuliah. Aku hidup di sini
Cuma dari sisa tabungan. Aku sewa kamar kos dan untuk hidup aku kerja
jadi penulis. Walaupun aku tau, penulis itu nggak bisa dijadiin
pekerjaan tetap. Tulis-menulis itu masalah hati, kepuasan batin dan itu
bukan untuk dijadikan tempat cari uang. Aku juga jadi penulis lepas di
beberapa majalah. Aku ga bisa memproduksi cerpen terlalu banyak, karena
aku sadar bahwa imajinasi bukan untuk dieksploitasi. Tapi aku bersyukur
aku punya satu buku yang sekarang jadi sandaran hidup. Mungkin kamu
pernah tau novel remaja yang judulnya summer for Sebastian.
Penulisnya anonym, kan? Sebenernya aku penulisnya. Dari buku itulah aku
bisa hidup. Tapi semuanya ga menentu. Aku pingin mati.”
“Dekati Tuhan, banyak beribadah,” ucapnya.
“Tapi, sayangnya aku ga punya agama, Erick,” ucapku seraya menatap matanya lurus-lurus. Aku melihat matanya membesar, seolah tak percaya. Aku yakin dia kebingungan harus berkata apa sekarang.
“Hmmm… e… e… yaudah sekarang lanjutin cerita kamu,” katanya, gelagapan.
“Udah, cuma segitu yang bisa aku ceritain ke orang asing kayak kamu sekarang.”
Dia menunduk lama. Dia mengusap ubun-ubunku ketika ia kembali mengangkat wajahnya.
“Aku
juga punya anak seusiamu. Laki-laki. Dulu ketika aku 19 tahun dia
lahir. Semacam nikah muda.” Tatapannya terlihat kosong, seperti sedang
berangan.
“Aku keluar dulu, sebentar lagi suster kesini untuk ganti kantung infus.”
***
Hari
berlanjut dan sepertinya Erick benar-benar takut jika aku melakukan
percobaan bunuh diri lagi. Jadi, sepulang dari rumah sakit ia menyuruhku
tinggal di toko alat music miliknya. Aku juga bekerja di
sana. Namun rasanya tak seperti bekerja, aku merasa menjadi anak dari
pemilik toko itu. Ya, menyenangkan sih. Membuat aku merasakan punya ayah lagi. Jadi aku tidak terlalu lupa bagaimana rasanya.
Hari
ini aku bangun agak siang. Rencananya hari ini aku akan bersih-bersih.
Rasanya Erick terlalu baik membiarkan aku tinggal di toko yang besar dan
membebaskan aku namun tetap digaji. Sepertinya aku harus membalas jasanya walau pun dengan sedikit bersih-bersih.
Seluruh bagian dalam toko telah aku bersihkan. Sekarang bagian luar. Kaca besar itu sudah bersih. Tersisa bagian parkir yang cukup luas. Aku akan mencabut rumput-rumput liar di lahan parkir yang tidak terlalu banyak itu. Ah, sial. Rumput ini begitu sulit dicabut. Mengapa rumput liar
harus tumbuh di sini? Apa gunanya? Tapi lucu juga kalau dipikir-pikir,
aku ini tidak ubahnya seperti rumput liar, tidak berguna. Jadi sekarang
rumput liar sedang mencabut rumput liar. Begitu?
“Wah, rajin.” Aku terhenti dan mendongkak sejenak.
“Eh, bos Erick,” ucapku, lebih ramah dari pertemuan sebelumnya.
“Rumput liar emang susah dicabut. Sini aku bantu.” Aku mengerang pelan sambil susah payah mencabut rumput yang timbuh di sela-sela papingblok ini.
“lagian siapa sih yang nanam rumput ini di sini?!” gerutuku.
“Tuhan.” Aku terhentak sejenak. Tuhan? Dia yang menanamnya di sini?
“Tapi kenapa harus? Apa gunanya?” ucapku tak henti mencabut rumput yang lainnya.
“Pasti ada gunanya. Mungkin supaya kamu bisa mencabutnya, supaya kamu menggunakan otot tangan kamu. Bisa juga alasan lain.”
Bijak
dan so bijak itu menag berbeda. Semakin lama aku semakin menyadari
bahwa Erick bukan sekedar so bijak, tapi dia memang benar-benar bijak.
Apa yang diucapkannya sejalan dengan apa yang ia perbuat. Dia bukan tipe
pria yang penuh dengan omong kosong, aku rasa.
Dia
seolah dengan pelan-pelan mengenalkan Tuhan kepadaku, yang bahkan
orangtuaku tak melakukannya untukku. Terkadang kata-katanya membuat aku
berpikir. Dia ada benarnya juga. Semua dan alam semesta yang besar ini
tak mungkin berjalan tanpa kendali. Pasti ada satu Dzat yang
mengaturnya.
“Erick,”
“Hmm?”
“Bisa kita berhenti sebentar?”
“Ya,” Kami lalu duduk di depan toko. Sambil memandangi lalu lalang kendaraan.
“Kenapa kamu baik sama aku?” tanyaku.
“Ga perlu alasan untuk berbuat baik. Tapi, selalu ada alasan untuk hidup.”
“Itu bagi kamu. Bagi aku enggak. Aku bahkan nggak tau kenapa aku hidup.” Kusandarkan punggung dan beralih menatap langit yang tidak terlalu terik.
“Tapi, apa kamu pernah mikir kalau
setiap manusia itu lahir dengan fungsinya masing-masing? Mereka hidup
untuk sesuatu yang berguna, sesuai dengan fungsinya,” ucapnya.
“Ya, mungkin. Tapi aku nggak tau fungsi aku apa.”
***
Malam
ini Aku duduk di sisi ranjang. Aku bahkan tidak tahu apa yang
sebenarnya ingin aku capai. Setiap bangun di pagi hari dan menyadari
bahwa aku seperti ini. Hidup yang berantakan, memalukan. Bertanya-tanya
mengapa semua ini harus menimpa aku? Mengapa tidak orang lain saja?
Semuanya
berputar di kepalaku. Aku kehabisan cara, ide atau apapun itu yang bisa
aku anggap normal. Semua yang dikatakan Erick sama sekali tak ada dalam
diriku. Seseorang tolong aku! Buatlah aku yakin bahwa aku ini berharga!
Aku melangkah ke depan cermin. Ketika aku bercermin aku hanya bisa berpikir bahwa gadis cantik ini hanya indah di luar. Dalamnya dia hancur berantakan. Kusut seperti coretan tangan anak TK.
Apa sebenarnya yang aku inginkan dari hidup ini? Aku hilang kendali! Aku tidak punya pegangan!
Menatap diri sendiri di cermin kemudian menangis. Dari hanya berurai air mata kini mulai terisak dan kemudian berteriak.
“ARRGHHH.”
Kutinju cermin besar itu. Perih rasanya. Aku tahu darah ini terus
menerus keluar, tapi sayangnya aku tidak peduli. Aku hanya terus
berteriak dan menggeram sampai aku puas walaupun aku tahu aku tidak akan
pernah puas.
Entah kegaduhan macam apa yang tengah aku ciptakan ini. Kuremas rambutku sendiri sambil mulai runtuh ke lantai. Terduduk lemas memandangi langit-langit kamar. Aku lebih baik mati daripada jadi gila.
Semuanya terasa salah. Kepalaku sakit, aku bingung, terlalu banyak hal berlarian di kepalaku.
“Jess!” Samar aku melihat pintu itu bergerak dan memunculkan satu sosok. Ah, Erick. Itu pasti kau.
“Jangan
mendekat!” teriakku. Aku bangkit perlahan. Mendekati lemari putih itu
dan mengambil gantungan baju. Aku mulai memukul badanku menggunakannya. Tanganku, kakiku semuanya pantas mendapatkan pukulan itu!
“Jess! Stop!”
Aku tidak bisa berhenti, aku hanya bisa terus memukuli diriku sendiri. Aku suka rasa sakitnya. Lama-lama aku jadi terbiasa.
“Jess, Stooop!” Tanpa
aba-aba dia menghambur ke arahku. Memaksa aku berhenti dengan
menenggelamkan aku di pelukannya. Tanganku menggantung di sisi tubuhku.
Aku hanya bisa diam dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dia
mengusap-usap punggungku seperti yang suka ayah lakukan dulu sambil
berbisik, “Stop jess, stop.”
Aku melepaskan genggaman gantungan baju tersebut dan membiarkannya jatuh ke lantai. Jelas di antara keheningan kudengar suara jatuhnya.
Erick mendorong pundakku pelan, lalu ia memegang ke dua pipiku. Aku membalas pandangannya dengan mata yang masih berair.
“Everything is okay. Don’t worry.” Ia tersenyum. Senyum paling teduh sedunia.
Dengan
pelan ia membersihkan luka di tanganku, merapikan rambutku dan menyeka
air mataku. Dia lalu mengajakku ke ruang kerjanya, di sana ada piano. Ia mempersilahkan aku duduk di sampingnya sementara ia mulai memainkan piano.
“Music bisa jadi alternative supaya kamu lebih tenang.”
Aku
menutup mata dan mendengarkan alunan yang damai ini. Nafasku mulai
teratur. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Aku tidak tahu apalagi yang
harus aku katakan sekarang. Kepala yang semula penuh ini perlahan seakan
menguap.
“Jangan berhenti,” pintaku. Setelah agak lama, aku menyuruhnya mengganti lagu. Kini kupandangi ia sambil tersenyum.
“Terimakasih ya untuk semuanya,” ucapku.
Dia
semakin mirip seseorang itu. Dia juga baik dan yang paling hebat adalah
dia bisa mengubah pola pikirku. Walaupun dia tua, tapi cinta tidak
mengenal umur, kan? Jadi intinya aku jatuh cinta?
Erick,
dia mampu membuat aku merasa berharga bukan dengan ucapannya tapi
dengan perilakunya. Dia tak pernah berkata sesuatu yang special tapi dia
memperlakukan aku bak seorang putri.
“Erick, kamu tau kalau kita nggak bisa kayak gini selamanya?” Dia terhenti sejenak dan menghadap ke arahku.
“Kamu tau kalau aku nggak bisa terus bergantung sama kamu. Padahal kita ini nggak ada ikatan apapun. Kamu mungkin cuma orang numpang lewat yang membantu aku dari bunuh diri. Aku harus bisa lepas dari kamu,” ucapku sambil menggigit bibir bawah di akhir kalimat.
“lepas dari aku? Tapi
untuk apa? Apa ada jaminan kamu bakal jatuh ke orang yang tepat?
Terlalu beresiko melepas orang kayak kamu di kota besar dan kondisi kamu
seperti ini. Untung aja malam ini aku ada kerjaan di sini, kalau
enggak, mungkin sekarang kamu masih kayak tadi.”
Kami
saling diam cukup lama. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Ruang
kerja yang bagus, peralatannya terbuat dari jati yang mengkilap.
“Jess, aku bisa liat itu.”
“Hmm, apa?”
“Kamu jatuh cinta.”
“Eh?”
Aku menggerakan bola mataku ke segala arah. Aku tidak tahu mengapa aku harus salah tingkah seperti ini?
“Aku juga cinta kamu, jess.”
Bisa
aku rasakan sesuatu berdegup kencang di dadaku. Aku pikir ini gila dan
aneh. Jatuh cinta pada seorang yang lebih pantas aku panggil Ayah? Apa
ini sungguhan?
“Dan,
masalah perbedaan usia kita. Aku pikir itu bukan masalah yang terlalu
besar, lagian aku masih punya jiwa yang muda, iya kan? Hahaha,” godanya.
“You are perfect, Erick.”
“I’m not.” Jawabnya, menggeleng.
“You are perfect.”
“Beri aku alasan,” ucapnya dengan senyum jahil. Aku mengerling, “Kamu bisa merubah pandanganku tentang hidup. Bikin aku ngerasa berharga dan masih banyak alasan lain.”
“Hmm, ok. Tapi, apa kamu percaya bahwa aku ini ciptaan Tuhan?”
“Pertanyaan yang sulit. Hmm, ya, hanya Tuhan yang mampu menciptakan makhluk sesempurna kamu. Aku percaya itu.”
Dia tersenyum mendengar jawabanku. Aku yakin itulah yang dia ingin dengar.
“3
hari lagi aku ulangtahun dan anakku yang seusiamu rencananya akan
datang dari Australia. Aku kenalin kamu ke dia sambil minta restu.
Gimana?”
Aku mengangguk dan
tersenyum. Haha, aku rasa ini menggelikan. Aku tak pernah punya rencana
akan mendapatkan lelaki yang umurnya terpaut jauh lebih tua dariku. Aku
tidak bisa menggambarkan apa yang akan terjadi jika kelak aku membina
rumah tangga bersamanya. Bahkan berimajinasi tak pernah sesulit ini sebelumnya.
***
Hari
ini aku berdandan secantik mungkin. Aku biarkan rambut panjangku
tergerai, wajah dengan polesan bedak, sedekit eyeshadow dan lipgloss.
Aku memakai dress warna merah juga sepatu hak tinggi.
Sebelumnya
aku memasak pudding coklat, memesan dua kue tart, buah-buahan dan
spaghetti kira-kira untuk empat orang. Erick bilang bahwa anaknya akan
membawa pacarnya ke sini. Jadi aku menyiapkan sekurang-kurangnya untuk empat orang.
Aku
duduk di ruang tengah sambil memandangi hidangan. Aku jadi penasaran
apa reaksi anaknya Erick nanti ya? Aku harap dia bisa menerimaku dengan
baik.
Aku raba sofa bermotif kulit zebra ini
perlahan. Mungkin nanti anaknya akan duduk di situ. Membayangkannya
saja sudah lucu, aku jadi tidak sabar.
“Papa!”
Itu pasti suara anaknya Erick. Rupanya dia sudah datang, entah mengapa
detak jantungku jadi tak karuan. Erick menyuruhku diam di ruang tengah
supaya ini jadi kejutan buat anaknya, dia bilang. Jadi sekarang aku
hanya duduk manis di sini sambil mendengarkan percakapan bahagia mereka
di ruang tamu. Entah bagaimana jadinya kalau aku di sana sekarang.
Mungkin aku berdiri dengan gemetar.
Hey, mereka mendekat. Inilah saatnya!
“Glen, ini Jess calon istri Papa.”
Aku
menunduk sambil mengumpulkan keberanian untuk menatap mereka. Aku tarik
nafas panjang, siapkan senyuman. Kuangkat wajahku perlahan, kulihat
mereka berjalan mendekat. Bisa kurasakan senyumku memudar. Kaget atas
apa yang ada di hadapanku kali ini.
“Glen?” tanyaku pada diri sendiri.
Sesuatu seolah-olah mengisi energiku dan menghilangkan kecanggunganku. Ini mungkin terlalu ber-energi.
Aku
berdiri menghadap mereka. Jelas, aku melihat Glen menggandeng tangan
wanita yang pasti adalah kekasihnya itu. Begitu hangat. Tapi, sayang,
wanita itu terlalu tua untuknya. Sama seperti Erick yang terlalu tua untukku.
“Kalau boleh jujur, aku nggak bahagia ketemu kalian lagi!” teriakku, entah ekspresi macam apa yang muncul di wajahku.
“Kalian saling kenal?” dengan polos Erick bertanya.
“Ya, dia Glen mantan pacarku dan itu Rose ibuku! Dia ibuku yang selingkuh dengan Glen! Kenapa aku harus ketemu kalian lagi, hah?”
Astaga,
rasanya sakit sekali. Sesak dan semua kehinaan itu kembali muncul dalam
pikiranku. Aku merasa sangat hina punya masa lalu seperti ini. Ibu dan
Glen sama-sama gila! Mereka, ahh, aku tak tau lagi harus mengatakan kata
yang cocok untuk manusia seperti mereka!
“Jadi selama ini ke Australia? Gimana, bu? Ibu seneng? Ibu puas?” Kulangkahkan kaki dan menggoncangkan tubuh Ibuku.
“Apa ibu nggak mikir aku di sini berjuang untuk
bertahan hidup? Ibu nggak mikir aku bisa makan apa engga? Ibu pingin
aku mati? Ibu puas kalau aku mati? Itu yang ibu pingin?”
“Jawab
bu! Jawab!” tak bisa ditahan lagi. Air mata itu menetes tanpa kendali.
Semakin aku melihat wajahnya semakin sakit rasanya. Dia hanya bisa
tertegun melihatku, entah merasa bersalah atau tidak. Namun
melihat wajahnya membuat aku mengingat kejadian tahun lalu. Ketika itu
praktek Kimia dibatalkan jadi aku pulang ke rumah lebih awal. Namun,
aku malah melihat Ibu bersama Glen di ruang tamu. Mereka layaknya
sepasang kekasih. Aku muak melihatnya! Itu semua menjijikan! Selain itu
tiap malam sampai pukul 3 atau 4 pagi aku bisa mendengar ibu berbicara
dengan seseorang di telepon. Aku yakin itu Glen! Aku mengecek ponsel Ibu ketika ia mandi dan benar saja, itu Glen.
Rasanya itu semua gila! Aku ingin kabur, aku hanya tak habis pikir mengapa mereka bisa melakukan
itu semua. Bahkan ketika aku sudah mengetahui hubungan mereka, mereka
malah meneruskan hubungannya. Tanpa rasa malu. Dua orang yang aku cintai
membohongiku. Entah aku harus menyalahkan siapa? Aku harus kecewa pada
siapa?
Ketika itu aku putuskan untuk kabur, tapi sial! Ibu lebih dulu kabur dibanding aku. Dia
menghilang dan aku jual rumah karena aku akan mengingat seluruh
kejadian itu bila aku berada di sana. Hingga akhirnya uangku hampir habis dan aku hanya bisa mengandalkan kemampuan menulisku yang tak bisa aku eksploitasi.
Hal
inilah mengapa aku tak punya lagi semangat hidup. Aku merasa rusak dan
kacau. Hingga akhirnya ada seorang lelaki menyelamatkan aku dari
percobaan bunuh diri. Tapi mengapa harus dia? Mengapa Erick harus jadi
Ayah dari seorang pecundang seperti Glen?
Aku
tak tahu bagaimana rupaku sekarang, aku hanya bisa menangis
sejadi-jadinya. Guncanganku tak lagi sekuat tadi, sekarang hanya berupa
guncangan yang lemas yang berangsur aku lepas. Kemudian Aku mulai merosot ke lantai.
“Ini ibumu?” tanya Erick. “Pantas saja kamu bilang kalau kamu gak yakin dia bener-bener nyusul ayahmu ke surga,” ucapnya lagi. Ya, apapun itu.
“Bicara sesuatu! Tolong jelasin kenapa semuanya harus menimpa aku? Kenapa harus aku yang kalian buat seperti ini, Bu! Glen!” Jujur, aku hanya bisa menatap lantai berwarna coklat kayu ini ketimbang harus melihat wajah mereka berdua.
“Ok, kami ngaku kami emang salah. Tapi sekarang, kamu juga pacaran sama Papa aku. Jadi ini impas kan?!” Glen mulai bersuara dengan tanpa rasa bersalah. Aku benci caranya berkata “Kami”. Jadi dia sekarang menyebut Ibu dan diirinya dengan sebutan “kami”?
PLAAK!
Suara tamparan terdengar keras. Aku tak tahu bagaimana tamparannya,
tapi aku yakin Glen pasti merasa kesakitan sekarang gara-gara tamparan
dari ayahnya itu. “Anak kurang ajar! Setidaknya aku dan dia bukan hubungan perselingkuhan seperti kalian!”
Astaga,
aku baru sadar. Pantas saja dulu aku merasa bahwa Erick mirip
seseorang. Ternyata wajah dia mirip dengan Glen! Mengapa aku baru sadar
sekarang?
“Buat
kamu Rose, bukan bermaksud mencampuri urusan kamu! Tapi aku nggak habis
pikir kenapa bisa-bisanya kamu lebih memilih orang lain sementara anak
kamu ditinggalkan. Mana hati nurani kamu sebgai ibu? Apa kamu tau waktu
itu aku ketemu dia di pinggir jalan, kejang-kejang, mulut berbusa, hampir
bunuh diri? Kalau kamu bisa lakukan ini ke Jess, berarti nanti juga
kamu bisa lakuin hal ini ke anak kamu dari Glen!” itu suara Erick.
Benar-benar
tak bisa dibayangkan. Kalau itu semua terjadi maka Glen adalah ayah
tiriku. Dan aku adalah ibu tiri Glen. Dan Ibuku sendiri adalah
menantuku. Hah? Keluarga macam apa itu! kenapa aku harus memikirkan hal
bodoh seperti itu?
“Maafin Ibu, tapi Ibu bener-bener cinta sama Glen,” ucap ibu, bisa kudengar ada getaran pada omongannya.
“Ya tapi kenapa harus Glen sih, bu? Kenapa Ibu harus ngerebut apa yang sepantasnya jadi milik Jess? Kenapa?”
Tak ada jawaban. Aku sadar, semakin aku bertanya semakin aku pusing. Aku
tidak akan pernah mendapat jawaban. Karena hidup justru akan semakin
memusingkan jika kita terus bertanya. Ada baiknya kita hanya tinggal
menjalani semuanya, menerima seolah-olah semua ini normal.
Tapi
semua ini semakin gila jika diteruskan. Harus ada yang berhenti dan
berkorban agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Seperti yang sudah
aku bilang, aku lebih baik mati daripada jadi gila.
Tuhan, lewat Erick aku percaya bahwa Engkau itu ada. Jadi, sekarang bisakah Engkau mengabulkan permohonan pertamaku ini? Aku hanya ingin lepas dari dunia. Aku ingin lepas dari semua kepalsuan dan kejahatan dunia, aku ingin keluar dari segala macam kecemaran. Aamiin.
Aku
hentikan tangisanku. Kulangkahkan kaki menuju kolam renang di belakang
rumah. Mereka bertanya hendak kemana aku pergi. Aku hanya bilang, “Cukup lihat saja apa yang bakal aku lakukan.”
Aku
terus melangkah. Kemudian membantingkan tubuhku kolam renang. Dapat
kudengar suara air yang meredam teriakan diatas sana. Aku hanya diam,
menuruti kemana air akan membawaku. Air memelukku erat, terlalu erat.
Kemudian aku tidur di dalamnya.
Bandung, 23:53 16/06/2013
selamat kalau kalian baca ini berarti kalian udah baca 12 page ms word! congrat!! minta kritiknya yaaa
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan