Friday, December 27, 2013

LUST TO LOST [chapter 2]


Author: yHyesun
Genre: Romance
Leight: Chaptered 


“Kalau Aku Sudah Besar, Aku Ingin Menciummu”
[Chapter 2]

“Hyemoonie?”

Aku menoleh dan mataku langsung menangkap sosok itu.


Wanita berambut pendek bergelombang dengan sedikit kerutan di ekor matanya. Dia tersenyum ke arahku dengan mata yang nyaris tertutup dan cetakan gigi yang sama seperti lelaki itu … Yang Yoseob.

“Nyonya Yang,” sapaku seraya membungkuk setelah kusadari bahwa aku tercenung melihatnya di sini.

“Ah, jadi benar kau ini Hyemoonie!” Dengan mata yang masih tersenyum, dia mengguncang pundakku. 
Hampir tak percaya. Selang beberapa detik kemudian dia meraihku dan memberikan pelukan kecil.

Dia sedikit mendongkak untuk memperhatikan wajahku dan merampanya dengan kedua tangan. Seolah-olah masih tak menyangka atas apa yang ada di hadapannya.

Lama sekali tidak bertemu … tetangga lama.

“Ya~ Hyemoonie, kausudah besar sekarang. Bahkan sekarang aku harus sedikit mendongkak untuk melihat wajahmu.” Nyonya Yang masih terus tersenyum, seolah-olah itu adalah senyum permanen yang melekat di wajahnya. “Padahal dulu kamu hanya setinggi pinggangku. Ya Tuhan, kamu juga tumbuh jadi wanita yang cantik.”

Bukan hanya itu … aku juga tumbuh jadi wanita yang kuat, Nyonya. Anda tidak akan percaya kalau aku katakan bahwa anakmu-lah yang mengajariku … Yang Yoseob.

Nyonya Yang menurunkan tangannya dari kedua pipiku. Merambat menuju pundakku dan menepuknya beberapa kali seolah memberi semangat.

“Sudah lama sekali ya,” lirihnya.

Aku melihat air mukanya berubah. Mungkin detik itu dia mengingat bagaimana kami berpisah dan baru bertemu lagi sekarang, di saat aku bukan lagi anak kecil yang suka mengompol dan menangis. Bukan … bukan yang seperti itu.

Pandanganku lepas landas melewati pundaknya. Meyakinkan apa dia datang sendiri atau ada orang lain di belakangnya.

“Aku sendirian, Hyemoonie.”

Mataku kembali teralih, melihat manik matanya yang berkilatan memantulkan riak air laut. Aku tertangkap basah … dia tahu aku mencari anaknya.

Kami berdua menepi. Duduk agak jauh dari bibir pantai dengan payung yang mengembang.

Aku yang sedari tadi diam mulai mencari inisiatif untuk memulai pembicaraan. Sebenarnya banyak yang ingin aku utarakan kepadanya. Terlalu banyak malah. Saking banyaknya aku tidak tahu apa yang mau aku sampaikan lebih dulu.

Apa perlu aku menyampaikan bahwa aku masih bisa merasakan aroma yang sama, seperti delapan tahun yang lalu? Menyatakan padanya meskipun sekilas, aku masih bisa merasakan itu. Mengingatnya sebagai aroma khas yang selalu aku dapatkan ketika aku bermain di rumahnya. Aroma yang sama-sama melekat pada Yoseob kecil. Aku tidak yakin, bagaimana sebuah aroma bisa mengingatkan kita akan sebuah peristiwa, akan sebuah tempat dan memori yang terselip di tiap partikelnya.

Maaf, Nyoya. Tapi, aromamu sekilas mengingatkan aku pada anakmu.

“Dia sibuk,” wanita itu menghela napas.“Bayiku yang sibuk.”

“Bayi?”

“Yang Yoseob. Sebesar apapun dia, bagiku dia tetap bayiku.”

Aku melihat ia sedikit memainkan jarinya dengan pasir pantai yang hangat.

“Nyonya Yang.”

“Ya?” Dia sontak menelengkan kepala.

“Soal beberapa tahun yang lalu. Aku ingin meminta maaf karena aku tidak sempat pamit.”

“Ah, itu bukan salahmu. Seharusnya Yoseob tidak mencari gara-gara.”

Ingatanku lalu mundur, ke delapan tahun yang lalu … ketika usiaku duabelas tahun.

“Ya~ Yeremi! Jangan makan itu.”

Aku menutup mulutku yang menguap lebar. Kugoyangkan ke dua kakiku di udara dengan badan yang terpelengkup di lantai. Tanganku kembali menyangga dagu dan memperhatikan Yoseob yang sedang bermain dengan adikku.

Yeremi masih berusia tigabelas bulan. Rambutnya juga masih sedikit, pipinya yang mengembung membuatku tidak yakin apa dia punya mata atau tidak. Habisnya pipi itu berhasil menenggelamkan mata Yeremi dengan sempurna.

Dia suka sekali makan. Makan apa saja. Favoritnya adalah jeruk dan wortol rebus. Sampai-sampai bajunya penuh dan dia nampak seperti monster dengan bintil-bintil bekas wortol di sekitar mulutnya.

Tapi sekarang, lihat apa yang dia lakukan? Mencoba memasukan bola tenis berbulu itu ke dalam mulutnya yang kecil. Aku hanya bisa menumpu dagu dan melihat apa yang selanjutnya akan terjadi. Untuk kali ini aku tidak terlalu khawatir karena Yoseob ada di sampingnya. Aku yakin dia akan mengayomi Yeremi dengan baik.

“Itu bukan makanan,” Yoseob menyematkan kedua tangannya di bawah lengan Yeremi dan mulai mengangkatnya, “Kamu suka digendong, kan. Nggg … pesawat … nggg ….”

Dia terus melakukan itu berulang-ulang. Mengangkat Yeremi dan menurunkannya kembali. Membuatnya tertawa renyah.

Sepertinya Yoseob benar-benar menyayangi Yeremi. Dia dengan sabar melap sisa wortol di bibirnya, menggendongnya, sempat juga beberapa kali aku melihat Yoseob memejamkan mata dan menyodorkan pipinya ke wajah Yeremi. Dan seperti seekor burung pelatuk, Yeremi mengecup pipi Yoseob. Yoseob hanya bisa tersenyum ketika membuka matanya kembali. 

Tak ada keraguan, dia memang menyayangi Yeremi.

Keadaan menjadi sepi ketika Yeremi tidur siang. Kami punya kesempatan untuk membereskan mainannya dan melap lantai yang lengket.

“Makan yang banyak. Eomma-ku bilang wortol bagus untuk kesehatan,” ujarku.

Kami duduk berhadapan di meja makan yang tinggi. Aku yakin dia pun sama sepertiku, seringkali harus menegakan punggung dan agak menaikan badan.

“Masakan Eomma-ku enak, kan?”

Aku melihat ke arahnya lurus-lurus. Yoseob melepaskan pandangannya dari mangkuk kecil dan menatapku sekilas, “enak sekali, Hyemoonie! Terima kasih!” sahutnya.

Kusumpit nasi dan memakannya dengan lahap. Sesekali kupandang dia di depanku. Oh, dia sedang menyumpit sayurannya, membuka mulut dan melirik ke arahku. Dengan mulut yang penuh dia mencoba tersenyum, matanya juga tersenyum … nyaris tertutup.

Aku kembali memperhatikan mangkuk-ku dan menyumpit lagi.

***

“Terimakasih sudah menemaniku.”

Pada saat itu aku ingat betul bagaimana langit merendahkan warnanya. Terang-benderang dari rumah tetangga membuatku sadar, bahwa hanya tinggal lampu luar rumahku yang belum dinyalakan.

Aku berdiri tegak dengan rok yang bisa kupastikan sedikit melambai ditiup angin. Yoseob juga berdiri tegak di depanku.

“Apa boleh aku kembali lagi?”

“Tentu boleh, Yoseob. Kamu boleh kembali lagi kapan pun kamu mau.”

“Aku akan kembali lagi ke Hyemoonie.”

Kami saling melemparkan senyum, namun aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Halaman rumahku terlalu gelap.

“Aku nyalakan lampu luar dulu, ya?”

Aku memalingkan badanku dan melangkah meninggalkannya.

“Tunggu!”

Seketika itu langkahku berhenti, bukan hanya karena ucapannya namun juga karena ia menahan tanganku.

Aku berbalik, “Kenapa?” Tak ada jawaban yang aku terima, hanya dia yang menarik tanganku.

“Yoseob ….” Kakiku bergeser, semakin mendekati badannya tanpa bisa aku menolak.

Aku tak bisa menghitung jarak yang terbentang antara kami kala itu. Sesungguhnya ini …
terlalu dekat.

“Yoseob, apa yang akan kamu lakukan ….”

Dia semakin mendekatkan wajahnya. Sangat dekat … hingga aku bisa merasakan terpaan dari napasnya yang berembus teratur. Menyibakkan sebuah aroma khas … seperti wangi permen.

Aku tidak tahu ini benar atau salah. Apa yang harus aku lakukan pun tak teroganisir dengan baik di kepalaku. Aku hanya bisa memejamkan mata … menunggu bibir kami saling berpagut …..

“HYEMOON! YANG YOSEOB!”

Aku menarik wajahku dan memalingkannya dengan panik. Jantungku berdetak kencang tanpa bisa aku kendalikan, semakin kencang … apalagi saat kudapati bahwa ia adalah …

“Appa ….“

Matanya terbelalak hampir keluar. Dengan sekali gerakan ia menyeretku ke dalam rumah.

“Appa, mianhe Appa!”

“Jangan main dengan Yoseob! BESOK KITA PINDAH!”

Aku meronta-ronta namun tangan Appa semakin kencang menarik badanku. Kugerakkan kaki ini gila-gilaan, memukul beberapa kali tangan Appa yang melingkar di perutku.

“Appa, mianhe! Appa, ini bukan salah Yoseob, Appa!”

Pada saat itu … wajah terakhir yang aku lihat adalah wajah sedih Yoseob. Dia terlihat meringis, mungkin hampir menangis. Dia seperti ingin berbicara, entah apa.

“Yoseoooob!” kugerakkan tanganku menggapai-gapai ke arahnya. Dia juga melakukan hal yang sama, mengulurkan tangan kanannya dengan ekspresi paling menyedihkan sedunia.

“Yoseooob!”

Pada saat itu pintu ditutup, aku tidak tahu apalagi yang terjadi. Namun aku tahu itu adalah terakhir kalinya aku melihat Yoseob. Delapan tahun yang lalu … ketika usiaku masih duabelas tahun.

***

“Eomma dari dulu juga tidak pernah setuju kalau Hyemoon berteman dengan laki-laki. Sekarang lihat apa akibatnya?”

“Tapi itu bukan salah Yoseob, Eomma! Yoseob orang baik! Kalau tidak percaya, tanya Yeremi!”

“Pokoknya besok kita pindah.”

Appa sepertinya marah sekali. Aku mengerti bagaimana dia kecewa. Dulu dia adalah yang paling mendukung aku dan Yoseob berteman. Katanya supaya bisa melindungi, namun melihat apa yang terjadi kurasa pikirannya langsung berubah.

“Mencium itu bukan melindungi, Hyemoon. Itu merusak.”

Tanpa peringatan sebelumnya, kami langsung pindah dari Busan. Dan malam itu adalah malam di mana aku dengan bodohnya mengemas barang-barangku.

“Cepat kemasi!”

Hingga esok paginya tanpa sempat pamit pada keluarga Yoseob, aku berjalan pelan seraya memeluk boneka beruangku ke dalam mobil. Memandangi perumahan yang berlalu di jendela mobil. Meninggalkan Busan dalam jangka waktu yang lama.

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan merindukannya seperti ini.

***

“Aku benar-benar minta maaf, aku bahkan belum sempat pamit waktu itu. Mengucapkan selamat tinggal pun tidak,” ujarku, meringis.

“Itu bukan salahmu. Aku juga ingin meminta maaf atas nama Yoseob, karena sudah berani menciummu.”

 “Hampir … hampir menciumku.”

Aku dan Nyonya Yang saling berpandangan. Mengangkat alis sebagai bentuk pemakluman. Aku bisa merasakan aura Yoseob di dalam tubuhnya. Matanya yang berbicara dan bentuk giginya yang serupa.

“Yoseobie … dia akan menemuimu suatu saat nanti. Ketika waktu dan kesempatan berjalan seiringan seperti sekarang. Itu adalah saat yang tepat, umur kalian tak lagi terlalu muda.”

Kedua bibirku saling menekan. Mencoba berpikir apakah itu mungkin atau tidak.

“Dia sudah punya pacar,” ujar Nyonya Yang, tiba-tiba. “Nyaris bertunangan. Namun, aku rasa hubungan mereka tidak akan berlangsung lama.”

Yoseob pernah bilang padaku bahwa ia akan kembali.

“Apa boleh aku kembali lagi?”

“Tentu boleh, Yoseob. Kamu boleh kembali lagi kapan pun kamu mau.”

“Aku akan kembali lagi ke Hyemoonie.”

Seperti kata-kata yang dulu ia ucapkan. Dia masih punya janji. Menemaniku selama musim panas dan kembali padaku. Juga jangan lupa soal kucing di hati. Jika mengingatnya adalah perawatan terbaik, maka aku percaya bahwa dia adalah kucing paling sehat di hatiku. Karena dengan mengingatnya, aku mengingat Yoseob juga.

“Besok akan aku bawa Yoseob untukmu. Kalian harus bertemu … Hyemonie ….”

“Tidak usah khawatir, Nyonya. Kami hanya berteman.”

“Justru karena kalian teman, kalian harus bertemu.” Dia menyentuh dua tanganku, memohon. “Kamu harus dengar racauannya waktu tidur. Percayalah, dia benar-benar merindukanmu.”

“Dia meracau?”

“Ya, dia bilang: Kalau sudah besar, aku ingin menciummu, Hyemoonie.” Nyonya Yang menarik napas, “Masa-masa awal kepergianmu adalah masa sulit bagi hidupnya.”

Oke, mungkin ini saatnya aku jujur pada diriku sendiri. Mengakui bahwa aku bukan hanya ingin tetapi juga butuh bertemu dengannya.

“Baiklah, Nyonya. Pertemukan aku dengannya.”

***

To Be Continue ...


No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan