Thursday, August 22, 2013

Permen untuk Iris

23 Agustus 2013 pukul 12:33
oleh: Arien TH



Seharusnya musim dingin bulan ini ia habiskan bersama Iris. Ia membayangkan dirinya menyajikan dua cangkir kopi hangat di ruang tengah dengan televisi besar berlayar datar yang dibiarkan menyala tanpa mereka saksikan. Mereka hanya akan asyik bermain catur sambil sesekali menyesap kopi di jeda permainan. Berlindung dari dinginnya Manhattan di balik dinding tebal nan kokoh rumah Jessilyn yang memiliki langit-langit yang tinggi ini. Mereka akan bermain catur sampai mereka kelelahan, menggosok tangan satu sama lain sebelum dingin sempat menyentuhnya terlebih dulu. Jessilyn bisa merasakan kehangatan yang seharusnya ia rasakan saat itu. Tapi semua itu hanya ‘seharusnya’ karena kenyataannya tidak seperti itu.

Musim gugur baru saja berakhir beberapa hari yang lalu. Kediaman Jessilyn di Cherry Street sudah menampilkan pemandangan yang berbeda. Butiran salju turun dari langit walau dengan intensitas yang tak begitu banyak tapi berhasil membuat Jessilyn kedinginan.  Pejalan kaki di luar kaca jendela besarnya, rata-rata memakai pakaian yang serupa. Jaket tebal, kupluk, syal dan beberapa memakai sapu tangan. Melihatnya saja sudah membuat Jessilyn merasa kedinginan, namun ia beruntung tak harus pergi keluar rumah hari ini. Jadi, cukuplah ia duduk di samping kaca jendela itu melihat jalanan yang belum dilapisi salju setidaknya untuk hari ini.

Ia mengembuskan nafas dan menggosok kedua tangannya. Semestinya ia tak melakukan itu sendirian. Ya, ada yang kurang di sini.  Iris.

Lyn menengadah menatap langit musim dingin Manhattan yang teduh. Musim dingin kali ini lebih dingin daripada yang pernah ia lewati sepanjang hidupnya. Ia harus merasa cukup dengan secangkir kopi dan penghangat ruangan. Perlahan ia sandarkan pipi kanannya ke kaca jendela. Dingin menjalari pipinya namun Lyn nampak tak peduli. Ia lebih memilih untuk melakukan itu ketimbang harus terus menerus mengecek ponselnya seperti yang ia lakukan beberapa menit yang lalu. Menanti balasan pesan singkat yang ia kirim pada Iris. Hanya saja layar ponsel itu akan menampilkan jam, tanggal serta suhu Manhattan tanpa pesan singkat baru. Lyn sudah melakukan itu berulang-ulang. Meraih ponselnya, membuka layar kunci dan hasilnya tetap sama. Tak ada pesan barang satu saja. Mungkin ia akan terus mengecek ponselnya sampai puluhan kali kalau otak tak menyuruhnya melakukan hal lain. Jadi, lebih baik bersandar seperti ini saja. Tak apa baginya.

“Apa kamu baik-baik saja di sana? Apa penyakit flu-mu itu masih selalu mengganggu waktu tidur malammu? Jaga kesehatan dan jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan tepat waktu, ya?” gumamnya, sama seperti isi beberapa pesan singkat yang ia kirimkan kepada Iris. Lyn masih tak mengerti, apakah membalas pesan begitu sulit untuk dilakukan? Apa salahnya membalas pesan dan memberi tahu bahwa semua baik-baik saja agar Lyn tak khawatir? Sungguh, bukan masalah baginya bila kelak Iris membalas pesannya dengan satu kata. Ia tidak akan marah seperti hal yang ia lakukan dulu.

Semua pertanyaan Lyn terbalas di tempat yang lain dalam waktu yang sama.

Sebuah ruangan cukup besar dengan dinding berwarna krem ini nampak sedikit lengang. Di depannya terdapat jendela kaca besar yang bertuliskan café dengan tipe huruf monotype corsiva, kira-kira. Di atas lantai bermotif potongan kayu itu berdiri beberapa meja dan dua jenis kursi yang berbeda. Salah satunya seperti kursi empuk yang  pemuda tampan itu duduki.

“Kalau perempuan, namanya siapa?” tanya wanita yang duduk di hadapannya. Iris meletakkan cangkirnya  kembali ke meja setelah meneguk dua kali.

“Hmm, Meidity. Bagaimana?” ujar Iris seraya mengangkat dua alisnya, meminta pendapat. Alunan music jazz masih mengalun menemani percakapan mereka.

“Bagus! Apa artinya?”

“Aku juga tidak tahu. Haha,”

“Kau ini.” Wanita itu menggelengkan kepala lalu melanjutkan ucapannya, “Kalau laki-laki, aku mau namanya Patrick. Sama seperti nama kakakku. Aku hanya punya satu saudara laki-laki. Kau tahu? Berdua itu sepi, jadi lebih baik kita punya anak empat saja, bagaimana?”

“Apapun yang kamu inginkan, Tamina.” Mereka lalu saling tersenyum satu sama lain. Wanita bernama Tamina itu nampak berbeda dari orang-orang di Manhattan pada umumnya. Ia memiliki kulit sawo matang dan rambut hitam lurus yang tergerai. Semua itu ia dapatkan dari ayah dan ibunya yang berasal dari Indonesia dan Filipina. Kita akan mempunyai anak campuran paling lucu sedunia. Itulah yang seringkali Iris lontarkan kepadanya. Meskipun mereka belum menikah namun banyak rencana yang sudah mereka buat. Seperti nama anak juga keputusan bahwa mereka akan tinggal di Filipina.

“Sekarang aku takut kehilangan kamu. Aku punya banyak rencana untuk masa depan kita, jadi tetaplah di sini dan membuat itu semua menjadi nyata,” mata biru bening itu menatap manik mata milik wanita yang ada di hadapannya yang sesekali berkedip anggun. Perlahan Iris mendekatkan bibirnya pada kening Tamina namun Tamina mengelak, ia berkilah bahwa ini bukan saat yang tepat. Apalagi di tempat umum.

“Ini hanya kening!” dengan geram yang ditahan Iris berucap.  

“Besok jam 09:00 pagi di rumahmu,” Tamina beranjak dari tempat duduknya seraya tersenyum sambil lalu. Iris berkerut samar, memikirkan apa maksud yang baru saja Tamina katakan. Dia mematung di kursinya dan menatap wanita itu melewati pintu sehingga lonceng kecil di atasnya bergerak pelan.

***

Meja makan berbentuk persegi ini seharusnya diisi oleh empat orang. Namun pagi ini hanya ada Lyn yang duduk di salah satu sisinya. Ia sedang mengoles roti tawar dengan setengah selai coklat dan setengah selai kacang. Lalu ia menumpukan selembar roti tawar lain di atasnya. Dengan semangat ia melahapnya. Hari ini dia akan pergi ke rumah Iris jadi ia butuh energi lebih, begitu pikirnya. Satu gelas besar coklat hangat ia teguk dengan cepat. Ia hampir saja tersedak ketika ponsel di sisi toples selainya bergetar. Sebuah pesan baru.

Adakah lelaki lain yang kamu cintai sampai kamu melewatkan lelaki setampan aku? –Ed—

Ed, lelaki ambisius yang kerap kali mengejar Lyn. Dia memang tampan, tapi mengaku diri sendiri tampan tentu sangat menggelikan. Lyn meletakkan kembali ponselnya tanpa minat membalas pesan dari Ed. Ia memilih untuk memasukan lima bungkus mie instan kesukaan Iris ke dalam tas selendangnya. Itulah sebab mengapa  tas yang tersampir di pundak kanan nampak lebih besar dari biasanya. Sebelum Lyn benar-benar pergi, ia merapikan coat dengan sedikit menepuk-nepuknya, disusul dengan memakai syal dan kupluk dengan warna yang serasi. Rambut coklat keemasannya ia biarkan tergerai menutupi sebagian syal dan coat-nya.

Waktu menunjukan pukul 09:00 pagi ketika Lyn membuat gema suara langkah di dalam rumah. Ia membuka pintu yang dua kali lebih tinggi darinya. Lyn termasuk kuat bisa menarik pintu itu dengan satu tangan saja.  Udara dingin langsung menyapanya ketika ia menuruni lima anak tangga dan pada langkah selanjutnya ia sudah menyatu dengan beberapa pejalan kaki di Cherry Street. Lyn membenamkan dua tangannya ke dalam saku coat yang masing-masing berada di kiri dan kanan. Seperti perkiraannya, hari ini jalanan di Manhattan sudah ditutupi salju tipis. Tidak salah ia memilih sepatu boots beralas kasar. Tapi meski begitu ia tetap melangkah dengan hati-hati sambil sesekali mengembuskan nafas.

Sepanjang perjalanan pikirannya terus melayang. Itulah sebabnya mengapa ia benci sendirian. Pikirannya akan mengingat kejadian masa lalu, kesalahan-kesalahan orang lain terhadapnya serta beberapa hal yang ia sesali. Kali ini pikirannya terbang menuju tujuh bulan yang lalu. Ketika itu dia berpikir bahwa ia jatuh cinta pada seorang lelaki sederhana bernama Iris. Seperti namanya, lelaki itu memiliki Iris mata yang bagus. Semua yang melihatnya kemungkinan besar setuju. Tapi bukan hanya ketampanan yang membuat Lyn jatuh hati, melainkan kebijakasanaan serta pandangannya dalam menghadapi hidup. Dari Iris ia mengerti makna hidup, bahwa sebenarnya hidup itu tentang perjuangan dan rasa syukur. Sampai tiba saatnya Lyn mengatakan kalau ia takut kehilangan Iris. Mereka sudah terlalu banyak menyiapkan rencana untuk masa depan jadi ia minta Iris untuk tetap di sini dan buat semuanya menjadi nyata. Namun itu semua hanya fiksi. Iris dan Lyn bukan lagi sepasang kekasih.

Masih bisa Lyn rasakan bisikan yang beberapa hari lalu diucapkan oleh Iris tepat di depan telinganya. Di lorong kantor yang sepi, beberapa saat ketika mereka tak sengaja bertemu dan Iris menarik tangan Lyn ke lorong sepi itu. Tangan kiri Iris menempel di dinding sementara tangan kanannya berkacak pinggang. Lyn mundur sampai tubuhnya betul-betul bersender di dinding.

“Dengar, aku cinta kamu. Tapi aku harus mencari wanita lain agar aku bisa melupakanmu. Karena kita tidak bisa bersatu. Kamu tahu alasannya, kan?” bisik Iris.

Lyn hanya memalingkan tatapannya ke bawah.

“Karena kita saudara, Lyn. Kita saudara,” bisiknya, semakin lirih di akhir kalimat.

Mereka tanpa sengaja bertemu di kantor. Saat itu Iris sedang menemui Tamina yang kebetulan satu kantor dengan Lyn. Kalau boleh memilih, Lyn tak ingin pertemuan itu terjadi supaya ia tidak usah mendengar, “Tapi aku harus mencari wanita lain agar aku bisa melupakanmu.”

“Kamu harus mengerti, terima dan berdamailah dengan takdir.” Iris lalu mundur beberapa langkah dan mengucapkan, “I love you.” Ia berjalan menjauihi lorong untuk kembali menemui meja Tamina.

Lyn tersenyum simpul mengingat kejadian itu. Dia bahkan belum membalas perkataan Iris tempo hari. Mungkin ia akan mengucapkannya hari ini. Kemudian, mengenai pesannya yang tak pernah dibalas, ia berpikir bahwa itu karena Iris terlalu sibuk bersama Tamina atau mungkin saja Iris memang sudah tak ada minat pada Lyn. Entah. Cepat-cepat ia menghentikan lamunannya dan berjalan sedikit lebih cepat karena rumah Iris sudah di depan mata.

***

Lyn baru saja selesai memenangkan permainan catur di komputer. Permainan yang hanya akan dia lakukan bersama komputer atau orang terdekat. Jika kau diajak bermain catur dengannya, berarti kau termasuk teman baiknya. Begitulah prinsip Lyn. Alasannya sederhana, ia hanya tak ingin menghabiskan waktu bermain catur dengan orang asing, itu saja.

Hampir saja ia melamun sepenuhnya kalau ponselnya tidak tiba-tiba berdering.

“Hallo,” ucap Lyn.

“Jessilyn?” suara seorang wanita setengah baya.

“Iya, ini bibi Olive?” Lyn langsung mengenali suara itu. Suara mamanya Iris. Lyn bisa mendengar jelas isak tangis di seberang telepon. Sepertinya bibi Olive memaksa untuk melanjutkan ucapannya meskipun ia tak sanggup. Terdengar jelas dari suaranya yang gemetar.

“Iris meninggal.” Bruk. Ponsel dan pemiliknya tumbang.

Beberapa jam kemudian Lyn sudah ada di rumah Iris dan melihat jasad Iris untuk terakhir kalinya. Bibi Olive menuntunnya menuju kamar Iris.

“Bibi hari ini masak daging?” tanya Lyn ketika menaiki tangga. Bibi Olive hanya bisa menggeleng. Sampai Lyn tiba di dalam kamar Iris. Alangkah tragisnya Iris harus berakhir seperti ini. Dagingnya hangus terbakar di atas ranjang. Kulitnya kehitaman, bibirnya sudah tak ada. Di kamarnya tercium bau amis bercampur bau bakaran. Lyn menutup mulutnya karena terkejut. Dia menggelengkan kepala tak menyangka bahwa orang yang ia sayang akan berakhir seperti ini.

“Kenapa belum juga dikuburkan?” tanya Lyn dengan matak berkaca-kaca.

“Pihak kepolisian masih membutuhkan mayatnya untuk keperluan penyelidikkan. Sebenarnya bibi tak mau, namun ini semua demi kebaikan Iris juga. Pembunuhnya harus tertangkap,” suara yang masih tetap sama. Penuh kesedihan.

Pihak kepolisian memanggil satu detektif untuk membantu menelusuri kasus ini. Siang itu dektetif Ivan diam di depan jendela rumah Iris ditemani Lyn di hadapannya.

“Luka bakar, tanpa mulut dan bekas ikatan kencang di dua kaki dan tangannya. Kami juga menemukan serpihan permen di lantai rumahnya. Sudah kami periksa dan permen itu mengandung zat kimia yang memabukkan,” ujar Ivan sambil menerawang.

“Apa korban menyukai makanan manis?” tanyanya.

“Seingatku iya,” jawab Lyn dengan tangan yang ia lipat di dada.

“Lokasi kejadian benar-benar bersih dari sidik jari. Saya kira pelakunya benar-benar professional.”

“Professional? Aku pikir juga begitu,” timpal Lyn.

“Kita akan segera medapatkan pelakunya,”

“Iya, pelakunya harus tertangkap! Aku bersumpah!” ujar Lyn berapi-api.

Lyn tidak pernah menyangka bahwa semua ini akan terjadi. Apalagi Lyn sudah bisa merelakan Iris bersama wanita lain dan beranggapan bahwa cinta bisa ia simpan di hatinya dan suatu saat akan ia gunakan jika ia membutuhkan itu. Tapi apa boleh buat. Kenyataan kembali memukulnya lebih keras. Seperti yang Iris minta, ia akan berdamai dengan takdir kali ini.

***

Bibi Oliver mengusap pundak Lyn sebelum akhirnya pergi meninggalkan area pemakaman. Dia berlalu sambil mengusap sisa air mata di pelupuk matanya. Di area pemakaman kini tinggal tersisa Lyn dan satu wanita lain. Lyn terus memandangi nisan bertuliskan beristirahat dengan tenang, Iris. Di sampingnya ada makam baru yang hanya berselang beberapa hari sejak kematian Iris. Beristirahat dengan tenang, Ivan.

“Kamu tahu apa yang Ivan ucapkan terakhir kali kepadaku?” tanya Lyn pada wanita di sampingnya. Wanita itu hanya menggeleng sambil menatap nisan milik Ivan.

“Dia bilang bahwa jeratan bekas tali di tangan dan kaki Iris memiliki tingkat ke-eratan yang berbeda. Dia bilang jeratan di kaki lebih erat daripada jeratan di tangan. Dia menyimpulkan bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Orang yang mengikat tangan dan kaki Iris adalah orang yang berbeda,” ucap Lyn, sendu.

Beberapa hari yang lalu ….

Lyn memasuki rumah Iris dan langsung menggantung coat serta syalnya. Rumah tampak sepi hari itu. Ia meletakkan tas selendangnya yang penuh dengan mi instan di meja ruang depan lalu kembali berjalan mencari di mana Iris. Ia menaiki tangga dan membuka pintu kamar Iris perlahan-lahan. Dilihatnya Tamina dan Iris sedang duduk bersila di lantai dan saling berhadapan, yang memisahkan wajah mereka adalah permen lolipop ukuran besar yang sedang Iris makan seperti kesetanan.

“Kalau kamu berhasil menghabiskan lolipop ini, kamu bisa mencapai keningku dan menciumnya,” ujar Tamina dengan suara seperti kekanak-kanakan.

“Habiskan, habiskan!” ujarnya, memberi semangat. Lolipop yang menghalangi wajah Iris untuk melihat wajah Tamina pun sudah hampir habis. Sekarang Iris bisa melihat sebagian wajah Tamina. Tak lama, Iris pun sempoyongan bahkan dalam keadaan duduk. Dari celah pintu Lyn dapat melihat bahwa Tamina mengangkut Iris ke atas kasur.

“Aku tau kau di situ,” ucap Tamina, datar.

***

Lyn menatap nisan Ivan dan Iris secara bergantian.

“Apa kamu percaya bahwa semua ini kenyataan?” tanya Lyn pada wanita yang ada di sampingnya.

“Tentu.”

Lyn menatap lurus-lurus mata wanita itu.

“Aku ingin mengajakmu bermain catur, Tamina,” ujarnya, sambil tersenyum.

Mata hitam khas Asia itu nampak berbinar, “Dengan senang hati.”

Lyn bangkit seraya menepuk-nepuk coat-nya yang terkena sidikit salju. Dia lalu mengulurkan tangannya, “Mari,” ujarnya, tersenyum. Tamina menyambut uluran tangan itu dan menyamakan langkahnya dengan Lyn.

Butiran salju turun, dua wanita itu berjalan beriringan meninggalkan dua makam baru.

“Ingat satu hal, dia tidak mencintaimu,” ucap Tamina.

“Aku akan selalu ingat itu.”

Suara mereka semakin terasa kecil menjauihi area pemakaman. Samar, seperti suara yang dibawa oleh angin ke arah sini, ke makam Iris dan Ivan.

Seorang pembohong yang suka mempermainkan wanita memang pantas mendapatkan itu. Tak ada satu pun tempat di dunia untuknya.”  

“Hahaha, aku tidak menyangka ternyata dia begitu mudah masuk perangkap kita. Dia bahkan memakai kata-kata dariku untuk menggodamu.”

Bandung, 23 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan