Genre: romance
Leight: Chaptered
Delapan Tahun yang Lalu, Ketika
Usiaku 12 Tahun
[chapter 1]
Aku tidak pernah menyukai liburan musim panas.
Sejak saat itu. Umurku masih duabelas tahun dan aku masih
terlalu kecil untuk membohongi diri sendiri. Aku tidak melakukannya, tentu.
Sangat berbeda dengan diriku yang sekarang. Mengumpulkan argument dan pembelaan
hanya untuk menyangkal bahwa aku mencintainya.
Yang Yoseob.
Dia harus tahu, delapan tahun yang lalu—ketika umur kami
sama-sama duabelas tahun, adalah saat pertama kalinya aku mengakui pada diriku
sendiri bahwa aku … benci liburan musim panas dan itu karena aku tidak dapat
bertemu dengannya.
Aku ingin menjadi anak kecil lagi, supaya aku bisa
jujur—minimal pada diri sendiri. Jujur bahwa aku benci liburan, benci hari
minggu, benci kalau aku tidak bisa bersamanya. Namun, untuk apa?
Itu semua tidak akan berguna. Karena sekarang, entah itu
liburan atau bukan—tak ada bedanya.
Kami tidak lagi bersama.
***
Payung berwarna-warni dengan bordir yang beragam dapat aku
lihat sepanjang jalan di Busan. Menyembul dan berkilatan terkena terik
matahari.
Sungguh, ini bukan musim dingin. Cuaca sedang bagus, langit
bersih tanpa awan, sinar matahari terasa cukup menyengat. Tidak lebih dari 22 derajat,
namun berhasil membuat kebanyakan orang di Busan mengeluarkan payung musim
panas mereka.
Harus aku akui, ini musim panas yang indah. Bahkan untuk
seorang yang tak suka musim panas sepertiku. Tak ada salahnya kalau aku coba
untuk menikmati. Walau hanya sekedar melihat-lihat festival pasir di Pantai
Haeundae.
Aku menutup payung
musim panasku ketika tiba di keramaian. Mereka tengah menikmati keunikan patung
pasir yang menyerupai tokoh kartun. Sambil menenteng payung, aku berjalan
perlahan. Mencoba menembus keramaian dan beberapa kali berjinjit untuk melihat
semuanya lebih jelas.
Indah sekali. Banyak tokoh kartun yang aku kenali dan mereka
semua berwarna seperti aslinya. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu?
Bagaimana cara orang-orang itu mewarnainya? Entahlah, mungkin ini salah satu
bukti ketidaksukaanku terhadap musim panas. Begitu banyak hal yang aku lewatkan
dari musim ini.
Aku mengembuskan napas pelan dan kembali melihat-lihat.
Mataku menangkap hamparan air laut berwarna biru di belakang patung-patung
pasir. Air yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Nampak luas, seolah-olah
tak ada batasnya. Terlalu indah untuk dibenci.
Sepertinya mulai sekarang aku harus menyukai musim panas. Mereka tidak
mempunyai dosa, hanya saja aku yang terlalu berlebihan. Mengambil kesimpulan
sendiri bahwa karena liburan musim panas aku jadi tidak bisa bertemu dengannya …
Yang Yoseob.
Bukan karena keberuntungan yang membuatku mengenalnya, juga
bukan liburan yang membuatku berpisah dengannya.
Semua lebih karena takdir. Aku harusnya mengerti itu.
Menerima fakta bahwa pertemuan dan perpisahan hanya soal takdir. Tak ada
sangkutpautnya dengan musim.
Aku terpekur. Sendiri di dalam keramaian. Melihat semua
melintas begitu cepat dan aku hanya bisa bertanya mengapa semuanya seolah-olah
terencana?
Di antara patung pasir itu ada sebuah tokoh kucing.
Kebanyakan orang setuju kalau mereka adalah makhluk yang menggemaskan. Walaupun
sebagian lagi tidak.
Namun, bukan itu masalahnya.
Aku punya ingatan yang—entah aku harus menyebutnya
menyenangkan atau menyedihkan—mengenai kucing. Dan itu semua gara-gara Yoseob. Dia
bilang mataku seperti kucing. Umurnya masih 12 tahun waktu itu, jadi aku yakin
dia tidak sedang berbohong atau berusaha menggodaku.
Setiap aku bercermin dan aku melihat mataku sendiri. Kautahu
apa yang aku pikirkan? Tak jauh dari: seseorang pernah bilang mata ini seperti
mata kucing.
Semacam hal yang menyiksaku.
Karena, tiap aku berpikir seperti itu, maka aku akan kembali mengingat Yang Yoseob
dan itu terjadi selama delapan tahun.
Bukan hanya itu. Semua makin parah ketika aku melihat
kucing—seperti sekarang.
Delapan tahun yang lalu, ketika usiaku duabelas tahun. Usia
yang paling aku sukai. Yoseob sepertinya sudah bisa membaca gerak-gerikku.
“Kamu nggak suka
liburan musim panas?”
“Kenapa kamu tau?”
Ia mengangguk kencang.
“Ya! Itu, dari
mukamu.”
Aku tidak banyak
bicara. Hanya berjalan di koridor yang penuh bersama Yoseob. Sesekali
meliriknya yang banyak bicara. Dia terlihat tak punya masalah dengan liburan
musim panas. Itulah yang membuatku semakin tak karuan.
Bagaimana bisa ia merasa baik-baik saja tanpa aku?
Sementara aku, tak seperti itu. Aku khawatir, entah untuk
apa. Tapi itu cukup beralasan. Liburan sama saja artinya tak bertemu Yoseob,
begitu pikirku.
Mungkin saja menurutnya, bermain denganku bukanlah sesuatu
yang penting. Coba saja aku bisa seperti itu. Namun sialnya tidak. Bahkan
hingga aku tumbuh dewasa. Alam bawah sadarku mulai mengirimkan sinyal-sinyal
negatif begitu waktu mulai menginjak Bulan Juni. Musim panas datang!
“Kenapa kamu seperti
itu, Hyemoonie?”
Aku diam. Memandang punggung orang di depanku dan menyadari bahwa
aku tidak berkedip dalam kurun waktu yang lama, ketika mataku mulai terasa
perih.
Pertanyaan itu, aku tidak tahu harus menjawabnya bagaimana.
Aku hanya bisa jujur pada diri sendiri. Sisi lain dari
diriku berkata bahwa aku membenci liburan dikarenakan Yoseob. Tapi, aku tidak
bisa mengutarakan hal itu padanya. Apalagi melihat dia yang begitu ceria.
Kentara sekali denganku yang seperti kertas buram. Muram, abu-abu, tak
bersemangat.
Aku masih kelas enam SD dan pandai mengantisipasi. Aku tidak
membiarkannya tahu. Bahkan hingga sekarang, ketika umurku menginjak duapuluh
tahun.
Masih di koridor yang penuh. Ketika sinar matahari sore
menyorot wajah kami dari sisi. Yoseob bercerita dengan semangat. Tentang kelas
seni musik yang akan ia ambil di musim panas, festival laut dan ikan yang
menjadi favoritnya, dan aku sadari, dia mencoba menghiburku.
“Eomma-ku bilang,
bahwa membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk anak kucing agar bisa berlari.”
Aku bergumam, “hmm?”
“Sama seperti liburan
musim panas. Dua bulan. Itu artinya, kalau kita mempunyai anak kucing, maka
anak itu akan bisa berlari ketika kita masuk sekolah lagi.”
“Tapi, aku nggak punya
anak kucing, Yoseob. Yeremi masih bayi dan dia suka sekali menjilati bulu Stacy,
kucingku. Jadi, Eomma menitipkannya di rumah nenek untuk sementara waktu.”
“Aku juga. Aku nggak
punya kucing.”
“Hm, lalu? maksudmu
apa?”
Aku melihatnya dari ekor mataku. Dia terlihat menerawang
sambil tersenyum tipis.
“Mari kita berkhayal
memelihara anak kucing. Kita akan memeliharanya di hati kita. Membiarkannya
tumbuh dan berkembang selama liburan musim panas. Dan, ketika liburan berakhir,
aku akan memberikan kucing di hatiku untukmu. Kamu juga harus memberikan
milikmu.”
Kucing? Di hati? Semacam kucing khayalan, ya?
“Bagaimana
merawatnya?”
Yoseob berdehem. “Cukup
dengan mengingatnya. Itu adalah perawatan paling istimewa.”
Seperti yang aku bilang, ini semua seperti terencana. Begitu
mahirnya dia menyambungkan hal satu dengan yang lain. Meskipun itu hanya dari hal
yang sederhana: kucing.
Aku mendengus. Menggelengkan kepalaku dan kembali
memfokuskan diri. Di sinilah aku sekarang. Pantai Haeundae dan menikmati
keindahan patung pasir.
Dia berhasil. Tidak hanya kali ini. Bukankah dia selalu
berhasil? Dia sukses menyita perhatianku tanpa perlu repot-repot. Karena dia
dan kesederhanaannya sudah mampu membuatku merasa cukup. Tanpa dia harus
menjadi sesuatu yang luar biasa.
Karena, aku menyukainya sebagai Yoseob. Orang yang tanpa segan
membagi kotak bekalnya denganku, membersihkan pasir di rokku dan mengajariku
mewarnai dengan crayon. Sesederhana itu.
Aku mendapati diriku kembali melamun. Sibuk dengan dunia
kecilku di tengah keramaian. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan mengapa semua hal
yang aku lihat bisa berhubungan dengan Yoseob?
“Annyeong!”
Aku terperanjat. Seseorang telah menepuk pundakku. Suaranya
terdengar familiar. Suara yang sangat sering aku dengar. Semangatnya, sama
sekali tak memudar.
Suara yang sama. Seperti delapan tahun yang lalu, ketika
umurku duabelas tahun.
“Hyemoonie!”
Sapanya lagi.
“…”
Baca Selanjutnya [Chapter 2]
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan