Wednesday, October 30, 2013

LUST TO LOST [Chapter 1]

Author: yHyesun
Genre: romance
Leight: Chaptered

Delapan Tahun yang Lalu, Ketika Usiaku 12 Tahun
[chapter 1]

Aku tidak pernah menyukai liburan musim panas.

Sejak saat itu. Umurku masih duabelas tahun dan aku masih terlalu kecil untuk membohongi diri sendiri. Aku tidak melakukannya, tentu. Sangat berbeda dengan diriku yang sekarang. Mengumpulkan argument dan pembelaan hanya untuk menyangkal bahwa aku mencintainya.

Yang Yoseob.


Dia harus tahu, delapan tahun yang lalu—ketika umur kami sama-sama duabelas tahun, adalah saat pertama kalinya aku mengakui pada diriku sendiri bahwa aku … benci liburan musim panas dan itu karena aku tidak dapat bertemu dengannya.

Aku ingin menjadi anak kecil lagi, supaya aku bisa jujur—minimal pada diri sendiri. Jujur bahwa aku benci liburan, benci hari minggu, benci kalau aku tidak bisa bersamanya. Namun, untuk apa?

Itu semua tidak akan berguna. Karena sekarang, entah itu liburan atau bukan—tak ada bedanya.

Kami tidak lagi bersama.

***

Payung berwarna-warni dengan bordir yang beragam dapat aku lihat sepanjang jalan di Busan. Menyembul dan berkilatan terkena terik matahari.

Sungguh, ini bukan musim dingin. Cuaca sedang bagus, langit bersih tanpa awan, sinar matahari terasa cukup menyengat. Tidak lebih dari 22 derajat, namun berhasil membuat kebanyakan orang di Busan mengeluarkan payung musim panas mereka.

Harus aku akui, ini musim panas yang indah. Bahkan untuk seorang yang tak suka musim panas sepertiku. Tak ada salahnya kalau aku coba untuk menikmati. Walau hanya sekedar melihat-lihat festival pasir di Pantai Haeundae.

Aku menutup payung musim panasku ketika tiba di keramaian. Mereka tengah menikmati keunikan patung pasir yang menyerupai tokoh kartun. Sambil menenteng payung, aku berjalan perlahan. Mencoba menembus keramaian dan beberapa kali berjinjit untuk melihat semuanya lebih jelas.

Indah sekali. Banyak tokoh kartun yang aku kenali dan mereka semua berwarna seperti aslinya. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu? Bagaimana cara orang-orang itu mewarnainya? Entahlah, mungkin ini salah satu bukti ketidaksukaanku terhadap musim panas. Begitu banyak hal yang aku lewatkan dari musim ini.

Aku mengembuskan napas pelan dan kembali melihat-lihat. Mataku menangkap hamparan air laut berwarna biru di belakang patung-patung pasir. Air yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Nampak luas, seolah-olah tak ada batasnya. Terlalu indah untuk dibenci.

Sepertinya mulai sekarang  aku harus menyukai musim panas. Mereka tidak mempunyai dosa, hanya saja aku yang terlalu berlebihan. Mengambil kesimpulan sendiri bahwa karena liburan musim panas aku jadi tidak bisa bertemu dengannya … Yang Yoseob.

Bukan karena keberuntungan yang membuatku mengenalnya, juga bukan liburan yang membuatku berpisah dengannya.

Semua lebih karena takdir. Aku harusnya mengerti itu. Menerima fakta bahwa pertemuan dan perpisahan hanya soal takdir. Tak ada sangkutpautnya dengan musim.

Aku terpekur. Sendiri di dalam keramaian. Melihat semua melintas begitu cepat dan aku hanya bisa bertanya mengapa semuanya seolah-olah terencana?

Di antara patung pasir itu ada sebuah tokoh kucing. Kebanyakan orang setuju kalau mereka adalah makhluk yang menggemaskan. Walaupun sebagian lagi tidak.

Namun, bukan itu masalahnya.

Aku punya ingatan yang—entah aku harus menyebutnya menyenangkan atau menyedihkan—mengenai kucing. Dan itu semua gara-gara Yoseob. Dia bilang mataku seperti kucing. Umurnya masih 12 tahun waktu itu, jadi aku yakin dia tidak sedang berbohong atau berusaha menggodaku.

Setiap aku bercermin dan aku melihat mataku sendiri. Kautahu apa yang aku pikirkan? Tak jauh dari: seseorang pernah bilang mata ini seperti mata kucing.

 Semacam hal yang menyiksaku. Karena, tiap aku berpikir seperti itu, maka aku akan kembali mengingat Yang Yoseob dan itu terjadi selama delapan tahun.

Bukan hanya itu. Semua makin parah ketika aku melihat kucing—seperti sekarang.

Delapan tahun yang lalu, ketika usiaku duabelas tahun. Usia yang paling aku sukai. Yoseob sepertinya sudah bisa membaca gerak-gerikku.

“Kamu nggak suka liburan musim panas?”


“Kenapa kamu tau?”


Ia mengangguk kencang.


“Ya! Itu, dari mukamu.”


 Aku tidak banyak bicara. Hanya berjalan di koridor yang penuh bersama Yoseob. Sesekali meliriknya yang banyak bicara. Dia terlihat tak punya masalah dengan liburan musim panas. Itulah yang membuatku semakin tak karuan.


Bagaimana bisa ia merasa baik-baik saja tanpa aku?


Sementara aku, tak seperti itu. Aku khawatir, entah untuk apa. Tapi itu cukup beralasan. Liburan sama saja artinya tak bertemu Yoseob, begitu pikirku.


Mungkin saja menurutnya, bermain denganku bukanlah sesuatu yang penting. Coba saja aku bisa seperti itu. Namun sialnya tidak. Bahkan hingga aku tumbuh dewasa. Alam bawah sadarku mulai mengirimkan sinyal-sinyal negatif begitu waktu mulai menginjak Bulan Juni. Musim panas datang!


“Kenapa kamu seperti itu, Hyemoonie?”


Aku diam. Memandang punggung orang di depanku dan menyadari bahwa aku tidak berkedip dalam kurun waktu yang lama, ketika mataku mulai terasa perih.


Pertanyaan itu, aku tidak tahu harus menjawabnya bagaimana.


Aku hanya bisa jujur pada diri sendiri. Sisi lain dari diriku berkata bahwa aku membenci liburan dikarenakan Yoseob. Tapi, aku tidak bisa mengutarakan hal itu padanya. Apalagi melihat dia yang begitu ceria. Kentara sekali denganku yang seperti kertas buram. Muram, abu-abu, tak bersemangat.


Aku masih kelas enam SD dan pandai mengantisipasi. Aku tidak membiarkannya tahu. Bahkan hingga sekarang, ketika umurku menginjak duapuluh tahun.


Masih di koridor yang penuh. Ketika sinar matahari sore menyorot wajah kami dari sisi. Yoseob bercerita dengan semangat. Tentang kelas seni musik yang akan ia ambil di musim panas, festival laut dan ikan yang menjadi favoritnya, dan aku sadari, dia mencoba menghiburku.


“Eomma-ku bilang, bahwa membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk anak kucing agar bisa berlari.”


Aku bergumam, “hmm?”


“Sama seperti liburan musim panas. Dua bulan. Itu artinya, kalau kita mempunyai anak kucing, maka anak itu akan bisa berlari ketika kita masuk sekolah lagi.”


“Tapi, aku nggak punya anak kucing, Yoseob. Yeremi masih bayi dan dia suka sekali menjilati bulu Stacy, kucingku. Jadi, Eomma menitipkannya di rumah nenek untuk sementara waktu.”


“Aku juga. Aku nggak punya kucing.”


“Hm, lalu? maksudmu apa?”


Aku melihatnya dari ekor mataku. Dia terlihat menerawang sambil tersenyum tipis.


“Mari kita berkhayal memelihara anak kucing. Kita akan memeliharanya di hati kita. Membiarkannya tumbuh dan berkembang selama liburan musim panas. Dan, ketika liburan berakhir, aku akan memberikan kucing di hatiku untukmu. Kamu juga harus memberikan milikmu.”


Kucing? Di hati? Semacam kucing khayalan, ya?


“Bagaimana merawatnya?”


Yoseob berdehem. “Cukup dengan mengingatnya. Itu adalah perawatan paling istimewa.”


Seperti yang aku bilang, ini semua seperti terencana. Begitu mahirnya dia menyambungkan hal satu dengan yang lain. Meskipun itu hanya dari hal yang sederhana: kucing.

Aku mendengus. Menggelengkan kepalaku dan kembali memfokuskan diri. Di sinilah aku sekarang. Pantai Haeundae dan menikmati keindahan patung pasir.

Dia berhasil. Tidak hanya kali ini. Bukankah dia selalu berhasil? Dia sukses menyita perhatianku tanpa perlu repot-repot. Karena dia dan kesederhanaannya sudah mampu membuatku merasa cukup. Tanpa dia harus menjadi sesuatu yang luar biasa.

Karena, aku menyukainya sebagai Yoseob. Orang yang tanpa segan membagi kotak bekalnya denganku, membersihkan pasir di rokku dan mengajariku mewarnai dengan crayon. Sesederhana itu.

Aku mendapati diriku kembali melamun. Sibuk dengan dunia kecilku di tengah keramaian. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan mengapa semua hal yang aku lihat bisa berhubungan dengan Yoseob?

“Annyeong!”

Aku terperanjat. Seseorang telah menepuk pundakku. Suaranya terdengar familiar. Suara yang sangat sering aku dengar. Semangatnya, sama sekali tak memudar.

Suara yang sama. Seperti delapan tahun yang lalu, ketika umurku duabelas tahun.

“Hyemoonie!”


Sapanya lagi.

“…”

Baca Selanjutnya [Chapter 2]

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan