Rating: 16+
Cerita ini mengandung unsur kekerasan. Orang dibawah umur dilarang membaca short story ini (kecuali kalau merasa ga akan terpengaruh). thx, tinggalkan jejak. jangan jadi silent reader^^ happy reading all! hope you like it and ENJOY!
***
Aku membuka
lembaran kertas novel yang baru saja aku beli kemarin. Wangi khas yang paling
aku suka langsung menyeruak memasuki rongga hidungku. Wangi buku baru. Kubuka
lembar demi lembar kertas putih gading dari novel dengan ketebalan kira-kira duaratus
limapuluh halaman. Sepertinya akan sangat menyenangkan menghabiskan waktu
dengan imajinasi. Kusandarkan punggungku
dan menghirup udara dalam-dalam. Awas saja kalau novel ini lebih bagus dari
punyaku.
***
Aku melihat
wanita itu di toko buku mana pun. Dia akan susah payah berjalan ke kasir dengan
tangan yang penuh buku. Tapi, aku tak habis pikir mengapa wanita cantik itu malah membeli buku dengan
segel yang terbuka. Bukankah itu merugikan dirinya sendiri?
Mataku
mengawasinya yang masih sibuk membawa buku tanpa segel. Dengan senyum yang
mengembang dia menumpahkan kira-kira limabelas buku yang sedari tadi memenuhi
tangannya. Wanita yang aneh. Dari sampulnya aku ketahui bahwa dia membeli buku
karangan Natania dan semua buku itu tanpa segel. Oh, betapa aku sudah bosan
mengatakan itu.
Dari kejauhan aku
mengetahui wanita itu membeli buku karangan Natania dengan judul yang berbeda.
Dari sampul hitam, aku tahu ia membeli “War”, lalu sampul yang hijau kumal itu
(mungkin karena terlalu banyak tangan yang menyentuhnya) aku tahu judulnya “Drain
You”, dan masih banyak lagi buku karya Natania yang ia beli.
Aku terus
melihatnya dengan tatapan aneh. Ternyata ada orang yang membeli buku kumal
seperti itu? Ya ampun, benar-benar tak habis pikir. Ketika aku tersenyum
mengejek melihat kelakuannya, pandangan kami bertemu. Meskipun hanya beberapa
detik, tapi itu berhasil membuatku mati gaya. Ia memang wanita yang aneh, tapi kuakui dia cantik. Sebagai lelaki tulen
sudah tentu aku terpesona melihatnya.
Aku menggigit
bibir bawahku dan mengalihkan pandangan pada rak penuh buku. Berusaha bersikap
seolah-olah aku begitu sibuk memilah. Sementara tangan kananku memegang buku
karya Natania yang segelnya sudah terbuka.
“Maaf,” dia
menelengkan kepalanya dan menarik perhatianku.
Astaga, makhluk
macam apa dia ini? Tadi aku
masih melihatnya di kasir dan
sekarang secara tiba-tiba dia ada di hadapanku.
“Aku mau ngambil buku Natania yang kamu pegang itu,
boleh?”
Benar-benar
kelewatan. Apakah perlu aku menjulukinya “wanita pecinta buku tanpa segel karya
Natania ” ? Bahkan buku Natania
yang sebenarnya sedang aku baca pun, ingin dia kuasai? Apakah dia selalu
membeli buku tanpa plastik dan cover yang kumel seperti ini?
“Maaf, tapi buku ini lagi aku baca,” ucapku seadanya.
“Justru itu. Aku pingin buku itu,” dia
berucap dengan nada memelas. Sebenarnya itu tidak terlalu berpengaruh untukku.
Tapi, ketika aku menatap matanya, lalu aku seperti terjebak. Dia benar-benar
memiliki mata yang bening seperti kaca.
Aku menyadari
kedua sudut bibirku terangkat dan ya, aku tersenyum.
“Ini.” Tanpa paksaan tanganku menjulurkan
buku kepadanya.
Setelah
mengucapkan beberapa kali terimakasih, wanita itu berjalan dengan semangat
menuju kasir. Aku melihat punggungnya yang semakin jauh dan aku pun tersenyum.
***
“Kamu suka buku karya Felivanno juga? ”
Aku menoleh dan
melihat ia berkata sambil memotong wortel. Awalnya aku tidak menyangka bahwa pertemuan di toko buku membawa aku ke
tempat ini. Di mana aku dan
dia bisa saling berbicara satu sama lain, berbagi tentang kisah hidup dan
semacamnya dalam waktu yang relatif lama. Ini adalah apartemen mewah milik Ceril, wanita
penggemar ‘buku tanpa segel’ yang sering aku temui di toko buku mana pun.
Sekarang ia akan
membuatkan aku semangkuk soup. Sebenarnya ini adalah uji memasak baginya karena
beberapa hari ini aku telah mengajarkannya memasak. Aku memperhatikan dia yang sedang serius
memotong wortel. Seolah-olah ia tidak mau tangan berharganya itu tergores pisau
barang sedikit pun.
“Van, kamu suka
buku karya Felivanno juga? ” ucapnya, mungkin yang kedua kali.
“River! Aku suka buku dia yang judulnya River.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Intinya, tentang sungai tempat orang-orang
dihanyutkan.”
“Karya Felivanno emang keren-keren, ya,” ucapnya tanpa
sedikit pun berhenti mengiris wortel.
“Iya, tapi Natania
juga punya tulisan yang bagus. Karya Felivanno dan Natania selalu jadi best
seller. Dan menurutku mereka itu bersaing, mereka juga penulis paling populer di negara kita. Natania penulis yang
hebat.”
“Aw,” Ceril meringis. Jarinya teriris. Aku
tahu, orang-orang cenderung bergerak di luar kendali ketika mendapatkan sesuatu
yang membuatnya senang. Ceril mungkin terlalu antusias mendengar nama Natania aku puji. Itu prediksiku karena
aku tahu Ceril adalah penggemar Natania.
Darah merah
mengalir dari jari telunjuknya. Merah pekat, segar dan bergairah. Segera
kutarik telunjuknya dan menghisap darah di luka Ceril. Ah, ini tidak seburuk yang kalian pikirkan.
Ketika aku menghisap darahnya, ia hanya mengangkat wajah dan
membiarkan mata besarnya menatapku. Bibirnya ditutup rapat, bahkan terkesan
saling menekan antar bibir atas dan bawah hingga aku dapat melihat guratan di
sekitar dagunya.
“Hati-hati,
Cer.”
“Makasih, Van.”
Meski pun yang diuntungkan di sini bukan hanya Ceril, tapi
aku juga. Dia membuatku kembali menenggak darah segar. Apa kalian pikir aku ini
vampire?
Ceril melanjutkan
lagi memasak dan aku berkeliling melihat apartementnya. Aku memasuki sebuah
ruangan. Di situ ada meja menghadap jendela kaca besar yang tirainya putih dan mudah
terbang. Di atas meja itu berserakan kertas-kertas, pensil dan satu komputer berlayar tipis, sementara di
dindingnya di penuhi buku-buku. Ruangan
itu cerah, cahaya dari jendela masuk begitu sempurna. Di dekat langit-langit
ruangan ditempeli gambar sederhana dengan goresan krayon khas anak TK. Aroma ruangan
ini membuat aku tenang. Sehingga
aku melangkah semakin dalam. Kulihat keyboard komputer itu. Cat hurufnya mulai luntur. Pasti karena terlalu
sering dipakai.
“Evan, soupnya sudah siap!”
***
Aku menyeruput
soup hangat buatan Ceril. Rasanya lumayan untuk seorang pemula seperti dia.
“Gimana? Enak?” tanyanya dengan siku bertumpu
ke meja makan dan badan yang dicondongkan ke arahku. Kami duduk berhadapan.
Aku hanya
mengangguk dan mengacungkan jempol.
“Jadi, kamu juga penggemar Natania, Van?” tanyanya, seraya bertopang dagu.
Aku memang
penggemarnya. Aku membeli buku karya Natania setiap aku punya kesempatan. Ah,
bohong. Maksudku, aku memang selalu meluangkan waktu untuk membaca setiap
bukunya dan mengetahui sejauh mana perkembangan tulisannya. Menurutku dia penulis yang misterius. Di setiap
bukunya tak pernah aku temukan tulisan mengenai identitas diri Natania. Dia
selalu membuat pembacanya hanyut dan sangat menikmati alur cerita, seperti yang
aku alami. Sehingga terkadang aku merasa, iri.
“Iya, aku penggemarnya,” ujarku, terdengar
tak minat.
“Ah, iya. Besok aku ajarin kamu bikin soup ceker, ya?” ucapku, mengalihkan pembicaraan.
Keesokkan
harinya aku datang ke apartement Ceril dan mengajarinya memasak soup ceker.
“Kita harus punya pisau yang tajam.”
“Iya! Kita
harus punya pisau yang tajam, Van,” Ceril
berkata begitu semangat. Dia tersenyum dan beberapa kali melompat rendah. Begitulah dia,
selalu antusias ketika aku akan mengajarinya menu baru.
Dapur Ceril sangat sibuk hari ini. Kami baru saja mengiris wortel, buncis, kol, dan daun bawang. Panci terbuka dengan air mendidih mengepulkan asap
meski pun tidak terlalu terbal. Semuanya berlangsung cepat dan sesuai rencana.
Aku berhasil mengajarkan Ceril tentang memasak soup ceker yang baik. Aku juga
tak henti-henti membisikkan, “Ini akan menjadi semangkuk soup ceker
paling nikmat sedunia. ”
***
Sudah satu tahun aku
tak mengunjungi apartemen Ceril. Kami tidak pernah berkomunikasi. Padahal aku
baru saja menyadari bahwa aku menyukainya atau lebih tepatnya mencintainya. Dia
pergi, aku tak pernah melihatnya lagi di toko buku mana pun. Aku rindu matanya
yang begitu bening dan menghanyutkan.
Lalu gayanya yang mengangkut buku-buku dan berjalan susah payah ke
kasir.
Aku bersandar di sofa dan membaca novel karya Natania
berjudul “Free”. Novel ini
menceritakan tentang seorang gadis yang menyukai seorang lelaki yang pandai
memasak. Mereka bertemu di toko buku. Aku merasa, sudahlah. Buku ini hanya
membuat aku merasa kisah cintaku jadi seperti novel saja! Menyedihkan!
Namun aku begitu
penasaran sehingga kaki ini membawaku ke apartemen Ceril. Di sana ada seorang
wanita berumur kira-kira empatpuluh tahun membukakan pintu untukku. Dia
tersenyum dan mengajakku masuk kemudian duduk di sofa empuk berwarna coklat.
“Ceril kemana, bu?”
“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian, seperti di buku ini,” katanya seraya menyodorka buku dengan tebal kira-kira duaratus
limapuluh halaman kepadaku.
Sampulnya berwarna hitam, tertulis judul “Free” dengan nama penulis Natania.
Astaga! Buku ini lagi! Aku tidak usah membaca novel ini sebenarnya, karena aku sudah membacanya berulang-ulang
nyaris sepuluh kali. Tentu aku sudah sangat hafal alur cerita novel ini.
“Dia menulis buku
‘Free’ satu bulan sebelum
kepergiannya. Iya, dialah Natania. Ceril adalah Natania.”
Aku biasa-biasa
saja mendengar semua perkataan ibu ini. Aku hanya bertingkah
seolah aku peduli, padahal tidak sama sekali. Coba saja
bayangkan rasanya jadi aku. Aku juga yakin kalian akan sangat merindukan
Ceril. Tapi tentu akan sangat membosankan mendengar omongkosong ibu ini.
“Bu, saya ingin ke ruangan spesial Ceril itu. Boleh, bu?”
Ruangan yang aku
maksud adalah ruangan dengan meja menghadap jendela kaca besar yang dulu aku
sempat masuki.
“Silahkan,”
Aku melangkahkan
kaki ke dalam ruangan itu. Membuka
lembaran kertas dan menyalakan Komputer. Sial, kertas-kertas ini hanya berisi karya tulisnya yang
salah-salah dan dipenuhi coretan. Namun, komputer itu penuh dengan file. Ketika aku mengklik
folder ‘Ceril Natania’, maka aku menemukan banyak file semacam buku harian.
3 Maret
2006
Aku punya
kisah yang tak bisa aku ceritakan kepada orang lain secara gamblang. Aku hanya
menceritakan itu pada pena, kertas, hm, oke, itu terdengar lawas. Sebenarnya
aku menceritakan itu pada tombol keyboardku--yang cat hurufnya sudah hampir
luntur—juga pada layar komputerku, hingga pada akhirnya entah mengapa
orang-orang itu bisa mengetahuinya dari sebuah buku.
Buku dengan
tebal paling sedikit duaratus limapuluh halaman sudah aku produksi lebih dari yang kau
bayangkan. Tiap malam dan tiap aku mempunyai kesempatan aku pasti menulis.
Walau sejujurnya aku lebih suka menulis di malam hari ditemani hawa dingin. Tapi apa mereka tahu bahwa semua yang aku
tulis bukan dengan imajinasi aku mendapatkannnya? Melainkan melalui apa yang aku lihat di
lingkungan sekitar, apa yang aku lihat, entah itu di masa depan atau
apapun yang akan terjadi. Jujur, aku bosan mengaku pada mereka bahwa aku adalah seorang pemimpi yang
punya imajinasi tinggi. Tidak sama sekali. Aku bukan tipe orang seperti itu. Aku bukanlah orang yang hebat berimajinasi.
Aku tahu betul siapa aku ini, sungguh ….Tak lebih dari seorang wanita biasa yang menuliskan apa yang dilihat. Hanya itu.
Aku hanya menulisnya dan
menulis apa yang aku lakukan. Begitulah, sangat sederhana. Seperti kali ini,
aku melihat seorang lelaki yang sepertinya 5 tahun lebih muda dariku. Aku
mengenalnya di toko buku. Ah, aku ini memang penulis yang kejam. Tiap pagi hari
aku meluangkan waktu pergi ke toko buku dan mencari bukuku sendiri yang tak dibungkus
plastik.
Berapa pun jumlahnya, buku itu harus aku beli. Dengan tujuan, tak ada yang bisa
mengintipnya cuma-cuma di situ. Kadang aku merasa aneh,
ketika novelku dipuji tapi mereka tak tahu bahwa sebenarnya akulah penulisnya. Namun inilah prinsipku, menulis buku dengan nama samaran
“Natania”. Karena aku tak mau orang-orang itu mengenalku atau semacamnya. Aku hanya ingin mereka membaca karyaku
dan menikmatinya tanpa perlu tahu-menahu mengenai kehidupanku. Benar, tipe
orang yang sangat tertutup.
7 maret
2006
Aku hanya
ingin mereka mengenal karyaku, bukan aku. Biarlah mereka mengenal tulisanku.
Tanpa perlu tahu siapa aku. Namun, akhir-akhir ini aku melihat bahwa penulis Felivanno
meroket dengan karya-karyanya yang berbau pembunuhan. Apa yang sebenarnya dia
pikirkan, ya? Aku juga bingung dengan yang terjadi pada diriku. Akhir-akhir ini aku melihat sebuah kejadian tragis di masa depan. Aku akan menuliskannya. Mungkin akan menjadi petunjuk bagi orang-orang jika kejadian tragis itu benar-benar menimpaku dan aku mati.
Klik. Kumatikan komputer dan berjalan keluar apartement Ceril
seperti seorang bos. Aku berjalan di
lorong-lorong yang sepi. Hahaha.
Baik, tidak akan ada lagi yang menjadi sainganku di dunia penulis. Saingan paling berat, si Natania
alias Ceril telah hilang bagai angin yang berlalu. Aku terus berjalan dengan menenteng karya terakhirnya “Free”. Setelah itu dia tak akan mampu lagi
menulis buku apa pun. Novel terbarunya tak akan lagi terpajang di bagian best
seller di toko-toko buku.
Aku
menang! Aku, Evan alias Felivanno
alias evan no life telah berhasil mengalahkan saingan terberatku.
Aku tidak begitu
yakin apa kalian penasaran pada isi novel “Free” karya terakhir Ceril? Tapi, walau kalian tidak penasaran sekali pun, aku akan tetap memberitahu apa yang Ceril
tulis di karya terakhirnya itu. Begini inti ceritanya: Setelah
wanita itu begitu akrab
dengan lelaki, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sampai pada suatu saat lelaki itu mengajarinya memasak soup
ceker. Tapi ini bukan ceker biasa, ini soup tangan si wanita. Ya begitulah
akhir dari novel “Free”. Bagaimana? Kalian mengerti kemana Ceril
pergi? Baguslah kalau mengerti. Hahaha. Padahal sudah kuperingatkan beberapa
kali, “Kita harus punya pisau yang tajam.” namun Ceril seperti tak mengerti bahwa
pisau itu akan memotong tangannya. Iya, tangannya yang begitu berharga. Tangan
yang membuat ia menjadi penulis dan menghasilkan banyak novel hebat! Tapi tangan itu tak akan mampu lagi
menulis. Musnah! Sudah aku buat soup!
Aku terus
berjalan, memikirkan siapa lagi penulis yang kira-kira akan menjadi sainganku. Aku
mengingat-ngingat buku-buku dan nama penulis lain yang sering aku lihat di toko
buku. Hm, siapa lagi ya selanjutnya?
Tapi, tunggu!
Kalian bukan penulis, kan? Karena siapa tahu tulisan yang sedang kamu baca
adalah kisah nyata ….
“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian,"
“Yang saya tahu adalah sebelum dia pergi dia selalu menulis cerita tentang kematian,"
Sial! kenapa kata-kata itu terus terngiang? Ah, aku baru sadar bahwa aku sendiri juga baru saja menulis tentang kematian. itu berarti...
"Tanganku.... Tanganku...."
"PERGI SANA CERIL JELEK! KAU SUDAH MATI!"
Bandung, 23:23 31-08-2012
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan