Dia Paula?
Oleh: Peacereva
Zurich merupakan kota terbaik dan layak huni di dunia.
Kota besar di Swiss ini letaknya meringkuk di antara
bukit-bukit berhutan. Ditambah dengan pemandangan pegunungan Alpen dan 4 musim
di sana
membuat Zurich nyaman dikunjungi kapan saja. Namun di antara semua ke-istimewaan itu
ada sesuatu yang sangat berbalik. Keluarga Doris tinggal hanya beberapa mil
dari Danau. Tuan Neil Doris tinggal di sana bersama Nyonya Briggite Doris dan
dua anaknya, Paula yang berusia 12 tahun dan si tampan Alex yang berusia 19
tahun.
Tuan Neil bekerja sebagai pegawai kantor. Ia sering terlibat pertengkaran hebat dengan istrinya. Mereka meneriaki satu sama lain dan terkadang itu membuat putri kecil mereka ketakutan. Si kecil Paula tumbuh dengan teriakan dan makian di sekitarnya. Ia terbiasa mendengar itu semua dan hal itu membuatnya menjadi anak yang penakut dan jarang bergaul. Namun seperti anak kecil yang lain, dia sangatlah polos.
Namun, Neil dan Briggite adalah orangtua yang manis
kepada anaknya. Sama seperti orangtua lain. Perbedaannya hanya terletak di saat
pasangan itu bertengkar saja, selebihnya mereka sangat menyayangi anak-anak
mereka.
Lain lagi dengan si tampan Alex. Meskipun lahir dari
orangtua yang sering bertengkar, tapi ia sangat pandai mengatur jalan hidupnya.
Bakat seni dari Neil
mengantarnya menjadi seorang penyanyi yang mempunyai banyak penggemar. Selain
itu, ia juga mahir memainkan alat musik, terutama piano. Sejak kecil ia sudah
terbiasa mengadu jari-jarinya dengan tuts-tuts piano dan memainkan nada-nada
klasik yang indah. Tapi rupanya bakat seni itu tidak menurun ke Paula. Meskipun
grand piano selalu ada di ruang tengah rumah mereka, ternyata itu tak membuat Paula
tertarik. Dan memang ia tidak bisa bermain piano.
“Sama sekali tidak berpendidikan!” Briggite menatap mata
suaminya lekat-lekat.
“Kau itu gila, ya?” balas Neil.
“Kau?
Benar-benar tak habis pikir!” dan dengan langkah gontai Briggite berjalan
ke luar rumah. Memasuki
SUV-nya dan melesat meninggalkan semua kekacauan yang
telah terjadi. 5 piring baru saja berterbangan dan itu bukan hal yang luar
biasa bagi rumah ini.
Paula kecil berjalan dengan hati-hati di ruang tengah dan
melihat keadaan di sekitarnya.
Lukisan mahal di atas perapian posisinya miring dan hal itu cukup menyita
perhatian Paula.
Sebenarnya itu bukanlah benar-benar lukisan yang mahal. Hanya lukisan karya Neil
yang menurutnya agak aneh. Neil bilang bahwa sosok lelaki di dalam lukisan itu
adalah dirinya dan gadis kecil di sampingnya adalah gadis pengantar impian. Dan
sekarang dengan posisi yang miring, lukisan itu semakin terlihat ganjil.
Paula memalingkan pandangannya dari lukisan ‘gadis
pengantar impian’ kemudian kembali melangkah dengan hati-hati melewati
pecahan-pecahan piring di karpet dan lantai kayu rumah itu. langkahnya semakin
lambat ketika melintasi pintu besar kamar orangtuanya. Ia baru saja hendak
memutar kenop pintu tapi kemudian ia
urungkan. Ia diam sebentar dan otaknya mendengungkan kata-kata yang selalu Neil
katakan, “Jangan pernah mendekatiku setelah pertengkaran terjadi,” entah apa
maksud dari perkataan Papanya itu.
Kali ini Paula merasa sangat penasaran kenapa Papanya melarang
ia mendekat setelah pertengkaran terjadi. Ia mencoba tanpa suara memutar kenop pintu itu,
mengintip apa yang dilakukan papanya. Dilihatnya Neil sedang duduk di tepi
ranjang dengan tangan yang terburu-buru mengeluarkan beberapa butir obat dari
tabung plastic berukuran kecil. Dengan gusar Neil memasukan entah berapa tablet
ke dalam mulutnya lalu
menenggak segelas air.
Dengan hati-hati Paula menutup pintu dan membalikkan badannya. Hal
inikah yang membuat Neil melarangnya mendekat? Apa Neil takut bila Paula
mengetahui bahwa ia mengkonsumsi obat-obattan sebanyak itu? Dan apa obat yang
Neil minum? Apakah obat penenang? Paula hanya bisa berpikir bahwa orang dewasa
memang aneh.
***
Siang itu pertengkaran terjadi lagi dan Paula rasa ini
adalah pertengkaran yang paling dahsyat. Mereka saling meneriaki sampai Paula
merasa telinganya sakit. Briggite yang
biasanya langsung melesat dengan SUV-nya kini sibuk mengemas barang-barang. Sambil menarik
koper berukuran besar Briggite terus melawan
setiap perkataan yang dilontarkan suaminya.
“Mau kemana kau?”
“Aku mau pergi! Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, Neil!”
“Urus dulu
semua masalahmu di rumah ini! Dasar perempuan jalang! Tidak tahu terimakasih!”
Briggite merapikan poni panjangnya yang berantakkan lalu
melengos.
“Hei! Kau
dengar perkataanku? Urus dulu masalahmu di rumah ini! jangan coba-coba lari dari
masalah!”
Tak ada
jawaban.
“Dasar
wanita biadab! Jangan coba-coba pergi dariku!”
“Apalagi yang kau inginkan, hah?” dan wanita itu mulai kembali bersuara.
“Sudah
kujelaskan selama ini di setiap pertengkaran kita! Apa kau tidak juga mengerti,
hah?”
“Dasar
lelaki tidak berpendidikan!”
PLAAK!
Satu tamparan mendarat di pipi Briggite, membuat wajahnya
terhuyung dan rambut pirangnya terkibas menutupi sebagian pipinya. Ia diam sejenak.
Meresapi segala sakit yang menjalar dari pipinya. Bagai bom waktu, dia pun
meledak, “SUDAH KUBILANG AKU TIDAK MAU! APA KAU TIDAK MENGERTI?”
“ARHG,” geram Neil seraya mengoyak segala yang ada di
sekitarnya. Lemari kaca di dekatnya sudah habis ia tinju dan setiap keramik
hias yang indah ia banting sampai semuanya pecah tak tersisa.
“Kau mau
merusak apa lagi? Apa televisi ini mau kau rusak juga, hah? Jadi anak-anak tidak bisa lagi
menonton televisi! Biar
semuanya hancur!”
Tanpa meminta jawaban dari Neil, Briggite lari dan
memasuki kamar gadis kecilnya. Dia melihat Paula sedang duduk di sudut ranjang
sambil memeluk lutut. Poninya basah oleh air mata. Pipinya yang putih menjadi
merah. Nafasnya pun terdengar tersengguk-sengguk. Jelas, ia amat ketakutan.
“Sayang,” dengan lembut Briggite meraih pipi Paula dan
menatap manik matanya.
“Mama,” mata
besar berwarna biru itu masih menyisakan tetesan air mata di pelupuknya. Dengan
polos ia menatap wajah Mamanya yang
bergurat
garis-garis ketuaan. Wajahnya tak lagi sekencang dahulu.
“Jangan khawatir, Papa akan menjagamu selagi aku pergi,”
tak bisa ditahan, Briggite pun mulai menangis.
“Sebenarnya
apa yang terjadi antara Mama dan Papa?” tanyanya, polos.
“Anak
pintar,” Briggite merapikan rambut Paula yang sedikit menutupi muka polosnya.
“Jadi, Papa
ingin aku menyerahkan pekerjaanku padanya. Dia ingin mengambil alih
pekerjaanku. Dia punya ide untuk menyamar menjadi dokter bedah di tempatku
bekerja. Tapi itu tidak mungkin. Jika itu aku berikan padanya, sama saja aku
membunuh pasien-pasienku.”
“Papa ingin
jadi dokter sepertimu?”
“Ya,
sepertinya ia ingin menjadi dokter. Mungkin ini juga yang membuat ia
menikahiku. Benar-benar tak habis pikir. Ternyata ia punya pikiran seperti itu. Dia menyuruhku
menyerahkan pekerjaanku padanya,” Briggite menghela nafas panjang dan mengusap
air matanya sendiri.
“Dan
sekarang aku akan pergi, menghindari Papamu untuk sebentar saja sampai otaknya agak beres.
Hehehe, “ Briggite terpaksa tertawa di akhir kalimat namun hasilnya jadi tak
natural.
“Kamu
baik-baik di sini, ya. Jangan nakal! Turuti apa yang Papamu katakan
jika kamu tak ingin melihatnya mengamuk.” Ia mengusap puncak kepala Paula kemudian mencium
keningnya.
***
7 hari setelah kepergian Briggite dari rumah itu, semuanya
berjalan lancar. Tak ada lagi pertengkaran di siang, malam atau pun pagi hari. Neil
dan Paula hidup damai di sana dan terkadang Alex datang untuk sekedar menemui
mereka.
Pagi ini Neil baru saja memasak panekuk dengan saus
strobery vanilla kesukaan Paula. Hidangan itu telah siap di meja makan dengan segelas susu
coklat di samping masing-masing piring.
“Paula, Papa baru saja memasak panekuk kesukaanmu. Ayo
keluar sayang,” teriak Neil di depan pintu kamar anaknya.
“Paula,” teriaknya lagi. Terus seperti itu sampai lima
kali pengulangan. Ketika pintu kayu itu di dobrak, alangkah terkejutnya Neil
ketika mendapati Paula tidak ada di kamarnya. Ranjangnya masih berantakan,
jendela terbuka lebar membuat tirainya bergerak ditiup angin. Sudah dipastikan Paula
pergi.
Neil mencari ke setiap sudut rumah tapi tak juga
menemukan Paula. Ia menelepon teman Paula yang mempunyai kemungkinan menjadi
tempat Paula pergi. Tapi semuanya
mengatakan tidak tahu, tidak ada! Lagipula untuk apa Paula kabur? Padahal
sekarang rumahnya amat damai dan ia tak lagi mendengar setiap teriakan. Neil
juga sangat menyayangi dan memperlakukan Paula dengan baik.
Kemungkinan terakhir adalah…
“Hallo, Briggite! Kemana kaubawa lari Paula, hah?” teriak
Neil begitu teleponnya diterima oleh Briggite.
“Kau ini
masih saja seperti itu! Dasar
gangguan jiwa! Aku tidak membawa lari Paula! Kaudengar itu, hah?”
jawab Briggite, kalap.
“Dasar
tukang bohong! Kembalikan dia padaku!”
“Sudah
kubilang, AKU TIDAK MEMBAWA LARI PAULA! Apa itu kurang jelas?”
“Mana
mungkin aku percaya pada wanita sepertimu,” balas Neil.
“Terserah.
Sekarang kita harus mencari dia kemana? Dia benar-benar hilang?”
Entah mengapa setelah Briggite mengatakan itu, Neil
merasa bukan Briggite-lah orangnya. Tapi kemudian ia berpikir, dasar tukang akting!
“Hallo,
kaumasih di situ? Sudah lapor polisi?”
Briggite cukup cerdas untuk tidak melakukan penculikan
terhadap anaknya sendiri. Apalagi ini Briggite sendiri yang menanyakan tentang
polisi. Jika Briggite orangnya, sudah pasti ia mengajak Paula pergi bersamanya
waktu itu. Namun Briggite
malah membiarkan Paula tinggal bersama Neil.
“Belum.
Baiklah, aku percaya bukan kamu orangnya,” jawab Neil, datar.
***
Kepopuleran Alex membantu semua ini. Lewat akun
jejaring sosialnya ia mengumumkan bahwa adiknya hilang.
“Teman, adikku baru saja hilang. Namanya Paula. Ayahku
menjadi kacau sejak ia menghilang. Bantulah aku dan keluargaku. Jika kalian
menemukan Paula, segeralah hubungi nomor ponsel yang nanti aku sediakan.
Ciri-cirinya amat mudah, dia memiliki wajah yang sangat mirip denganku. Aku
tekankan lagi, sangat mirip. Umurnya 12 tahun dan kemungkinan besar ia masih
mengenakan baju piyama,” begitu tulisnya di akun jejaring sosial.
Para penggemarnya sangat antusias, banyak yang sengaja menyebar ke berbagi
tempat untuk sekedar mencari gadis kecil yang wajahnya sangat mirip dengan
idola mereka. Mengasyikkan bukan? Dan bila mereka menemukan Paula, sudah tentu
kesempatan untuk bertemu Alex secara langsung akan terbuka lebar. Juga
kemungkinan akan diingat karena menjadi ‘pahlawan’ bagi idolanya.
Beberapa hari kemudian banyak penggemar Alex yang mengaku
melihat Paula. Mereka bilang di akun jejaring sosial, “Ajaib! Benar-benar mirip. Aku seperti
melihat Alex dalam bentuk gadis kecil,” namun mereka juga mengatakan bahwa
gadis itu tidak mengakui bahwa dirinya Paula, “Gadis kecil itu tertawa dan
mengatakan bahwa dia bukan Paula, benar-benar tak bisa dipercaya,” kata-kata
itu juga yang sering dikatakan penggemar Alex. Mereka bertemu dengan ‘Paula’ di
tempat yang berbeda. Ada yang bertemu di toko lukisan, di toko musik, di taman,
di toko boneka dan yang paling parah, di kuburan.
Tapi ada satu penggemar yang tetap menelepon dan
mengatakan bahwa ia mengetahui keberadaan Paula. Walau tak tahu apakah itu
benar-benar Paula atau ‘Paula’. Penggemar itu mengatakan bahwa beberapa menit yang lalu
ia baru saja melihat Paula di sebuah toko boneka. Neil, Briggite dan Alex
segera melesat ke lokasi sebelum ‘Paula’ pergi. Neil membuka pintu toko boneka
itu dan melihat sosok gadis kecil sedang memunggunginya sambil memainkan sebuah
boneka.
“Paula!” gadis itu menoleh dan ternyata benar! Itu Paula Doris! Ia
tersenyum miring. Entah sejak kapan senyumnya jadi seperti itu. Matanya yang
semula terlihat begitu polos kini terlihat sayu. Rambut pirangnya berantakan.
“Paulaa,” teriak Neil seraya berlari menghampiri Paula lalu memeluknya
erat.
“Kemana
saja, sayang?”
“Aku,
tidak kemana-mana lil doris,”
Seketika pelukan Neil mengendur, ‘lil doris’? Darimana Paula
mengetahui panggilan masa kecilnya itu? Padahal tak ada satu orang pun yang ia biarkan
mengetahui masa lalunya. Ia tak pernah menceritakkan itu pada siapapun,
termasuk pada Paula.
“Paula, tatap mataku!” pinta Neil seraya memegang kedua
pundak Paula.
Dengan matanya yang sayu, Paula menurut dan bibir
kecilnya kembali berbicara, “Akhirnya kau datang juga, kak,”
“Aku ini
ayahmu bukan kakakmu.”
Neil melihat Alex dan Briggite
yang ada di belakangnya. Mereka juga mengerutkan kening.
“Bagaimana
ini?”
***
Neil membawa Paula dan Briggite kembali ke rumah.
Sekarang pertengkaran itu tak lagi terjadi, entah sampai kapan.
Malam itu rumah terasa hening dan damai. Alunan nada-nada
klasik terdengar sangat indah dari ruang tengah. Neil melangkah dan memastikan
siapa yang memainkan grand pianonya, meskipun ia yakin Alex yang memainkannya.
Karena hanya dialah orang yang bisa bermain piano di rumah ini.
Gadis itu menoleh ketika menyadari ada seseorang yang
memperhatikannya, dia tersenyum pada Neil dan kembali memainkan grand piano. Neil
hanya bisa tersenyum getir. Sejak kapan? Sejak kapan Paula bisa memainkan
piano? Seketika bulu kuduknya berdiri. Ia rasa ini bukanlah Paula. Karena ia
ingat betul Paula selalu berkata, “Papa, aku tidak bisa bermain piano. Jangan
memaksaku memainkannya,” itulah yang sering
Neil dengar ketika ia hendak
mengajarkan Paula bermain
piano.
Jadi, sejak kapan Paula bisa bermain piano? Sepanjang
hari Paula selalu ada dalam pengawasannya, tak pernah sedikit pun ia melihat Paula
menyentuh tuts itu selama beberapa tahun sebelumnya.
Nada indah itu malah terdengar menakutkan ditambah tawa Paula
yang khas ke-kanak-kanakkan. Tak bisa dipercaya! Paula bahkan memainkan piano
itu dengan mata terpejam.
Tangan Neil terasa dingin, kakinya bergetar. Ia sungguh
tak percaya pada apa yang
ada di hadapannya. Paula mengehentikan permainan pianonya dan melangkah menuju
lukisan di atas
perapian.
“Lukisan
gadis pengantar impian.” celotehnya sambil memandangi lukisan itu.
“Lil
doris, kau tahu? Mataku tidak sekecil itu dan tanganku tidak sebesar itu. lain
kali kauharus melukisnya dengan benar, ya?”
DEG! Semuanya terasa semakin jelas. Hal yang Neil takuti ternyata
terjadi. Ia sudah mengetahui ini sejak pertemuan pertamanya di toko boneka namun ia
mengelak. Padahal Johana telah
menampakkan semuanya.
Ya, Johana adalah sosok gadis ‘pengantar impian’ yang ada
dalam lukisan itu sekaligus adik kandung Neil. Tapi ia sudah mati.
Ingatan itu kembali terburai dalam otaknya. Kembali ke
masa di saat ia
berusia 19 tahun dan Johana masih berusia 12 tahun. Neil begitu berambisi
menjadi dokter bedah namun kemampuannya tak sampai. Padahal ia sangat
menginginkannya. Hal itulah yang membuat akal sehatnya terganggu. Pada suatu
malam ia menjadikan Johana sebagai bahan prakteknya. Ia yakin bahwa ia pantas
dan layak menjadi dokter bedah. Johana akhirnya ia bedah. Hal pertama adalah
bedah jantung, dan setelah bedah jantung, ia membelah Johana menjadi dua
bagian, yaitu bagian pertama dari kepala hingga perut dan bagian kedua dari
pinggang hingga kaki. Setelah melakukan itu semua ia merasa puas dan impiannya menjadi
dokter seolah-olah telah terlaksana. Hingga akhirnya ia menyebut Johana sebagai
‘gadis pengantar impian.’
Setelah melakukan pembedahan, Neil melukis Johana untuk
mengenang jasanya. Lukisan
itu hingga sekarang berada di atas perapian dan ia namakan lukisan gadis pengantar impian. Johana juga merupakan gadis yang pintar bermain piano dan
sering memanggil Neil dengan sebutan lil doris.
Kini Neil terdiam menatap Paula yang bukan lagi Paula.
Sesuatu merasukinya membuat ia bertingkah aneh.
Semua hal berputar di kepala Neil. Tentang Johana,
alasannya menikah dengan seorang dokter bedah juga alasan mengapa ia melarang Paula
mendekatinya setelah selesai bertengkar. Alasannya tak lain dan tak bukan karena ia
takut, ia takut melakukan hal yang sama pada Paula seperti apa yang ia lakukan
pada Johana.
“Lil
doris, mengapa kautega melakukan ini padaku?” tanya Paula tiba-tiba.
Neil merasa amat lemas dan begitu berdosa. Ia
membayangkan bahwa di depannya kini berdiri Johana yang sudah lama mati, bukan Paula.
“Lil
doris, apa kautahu rasanya ketika dadamu di tusuk dan jantungmu dapat terlihat? Dan apa
kautahu rasanya ketika perutmu terbelah dan ususmu terburai? Lalu badanmu menjadi dua
bagian layaknya seekor kecoak? Apa kautahu bahwa nyawa itu sangat berharga
bagiku? Aku masih terlalu kecil untuk merasakan semua sakit itu, Lil doris! Aku
masih 12 tahun,” kata-kata itu meluncur dari bibir Paula yang biasanya
meluncurkan kata-kata yang polos.
“Briggite! Briggite! Kemarilah istriku! Aku takut!”
Lalu semuanya gelap…
Bandung
23-08-2012 16:32
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan