Thursday, August 23, 2012

Dia Paula?



Dia Paula?

Oleh: Peacereva

Zurich merupakan kota terbaik dan layak huni di dunia. Kota besar di Swiss ini letaknya meringkuk di antara bukit-bukit berhutan. Ditambah dengan pemandangan pegunungan Alpen dan 4 musim di sana membuat Zurich nyaman dikunjungi kapan saja. Namun di antara semua ke-istimewaan itu ada sesuatu yang sangat berbalik. Keluarga Doris tinggal hanya beberapa mil dari Danau. Tuan Neil Doris tinggal di sana bersama Nyonya Briggite Doris dan dua anaknya, Paula yang berusia 12 tahun dan si tampan Alex yang berusia 19 tahun.


Tuan Neil bekerja sebagai pegawai kantor. Ia sering terlibat pertengkaran hebat dengan istrinya. Mereka meneriaki satu sama lain dan terkadang itu membuat putri kecil mereka ketakutan. Si kecil Paula tumbuh dengan teriakan dan makian di sekitarnya. Ia terbiasa mendengar itu semua dan hal itu membuatnya menjadi anak yang penakut dan jarang bergaul. Namun seperti anak kecil yang lain, dia sangatlah polos.
Namun, Neil dan Briggite adalah orangtua yang manis kepada anaknya. Sama seperti orangtua lain. Perbedaannya hanya terletak di saat pasangan itu bertengkar saja, selebihnya mereka sangat menyayangi anak-anak mereka.

Lain lagi dengan si tampan Alex. Meskipun lahir dari orangtua yang sering bertengkar, tapi ia sangat pandai mengatur jalan hidupnya. Bakat seni dari Neil mengantarnya menjadi seorang penyanyi yang mempunyai banyak penggemar. Selain itu, ia juga mahir memainkan alat musik, terutama piano. Sejak kecil ia sudah terbiasa mengadu jari-jarinya dengan tuts-tuts piano dan memainkan nada-nada klasik yang indah. Tapi rupanya bakat seni itu tidak menurun ke Paula. Meskipun grand piano selalu ada di ruang tengah rumah mereka, ternyata itu tak membuat Paula tertarik. Dan memang ia tidak bisa bermain piano.

“Sama sekali tidak berpendidikan!” Briggite menatap mata suaminya lekat-lekat.

“Kau itu gila, ya?” balas Neil.

Kau? Benar-benar tak habis pikir!” dan dengan langkah gontai Briggite berjalan ke luar rumah. Memasuki 
SUV-nya dan melesat meninggalkan semua kekacauan yang telah terjadi. 5 piring baru saja berterbangan dan itu bukan hal yang luar biasa bagi rumah ini.

Paula kecil berjalan dengan hati-hati di ruang tengah dan melihat keadaan di sekitarnya. Lukisan mahal di atas perapian posisinya miring dan hal itu cukup menyita perhatian Paula. Sebenarnya itu bukanlah benar-benar lukisan yang mahal. Hanya lukisan karya Neil yang menurutnya agak aneh. Neil bilang bahwa sosok lelaki di dalam lukisan itu adalah dirinya dan gadis kecil di sampingnya adalah gadis pengantar impian. Dan sekarang dengan posisi yang miring, lukisan itu semakin terlihat ganjil.

Paula memalingkan pandangannya dari lukisan ‘gadis pengantar impian’ kemudian kembali melangkah dengan hati-hati melewati pecahan-pecahan piring di karpet dan lantai kayu rumah itu. langkahnya semakin lambat ketika melintasi pintu besar kamar orangtuanya. Ia baru saja hendak memutar kenop pintu  tapi kemudian ia urungkan. Ia diam sebentar dan otaknya mendengungkan kata-kata yang selalu Neil katakan, “Jangan pernah mendekatiku setelah pertengkaran terjadi,” entah apa maksud dari perkataan Papanya itu.
Kali ini Paula merasa sangat penasaran kenapa Papanya melarang ia mendekat setelah pertengkaran terjadi. Ia mencoba tanpa suara memutar kenop pintu itu, mengintip apa yang dilakukan papanya. Dilihatnya Neil sedang duduk di tepi ranjang dengan tangan yang terburu-buru mengeluarkan beberapa butir obat dari tabung plastic berukuran kecil. Dengan gusar Neil memasukan entah berapa tablet ke dalam mulutnya lalu menenggak segelas air.

Dengan hati-hati Paula menutup pintu dan membalikkan badannya. Hal inikah yang membuat Neil melarangnya mendekat? Apa Neil takut bila Paula mengetahui bahwa ia mengkonsumsi obat-obattan sebanyak itu? Dan apa obat yang Neil minum? Apakah obat penenang? Paula hanya bisa berpikir bahwa orang dewasa memang aneh.

 ***

Siang itu pertengkaran terjadi lagi dan Paula rasa ini adalah pertengkaran yang paling dahsyat. Mereka saling meneriaki sampai Paula merasa telinganya sakit. Briggite yang biasanya langsung melesat dengan SUV-nya kini sibuk mengemas barang-barang. Sambil menarik koper berukuran besar Briggite terus melawan setiap perkataan yang dilontarkan suaminya.

“Mau kemana kau?”

“Aku mau pergi! Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, Neil!”

Urus dulu semua masalahmu di rumah ini! Dasar perempuan jalang! Tidak tahu terimakasih!”

Briggite merapikan poni panjangnya yang berantakkan lalu melengos.

Hei! Kau dengar perkataanku? Urus dulu masalahmu di rumah ini! jangan coba-coba lari dari masalah!”

Tak ada jawaban.

Dasar wanita biadab! Jangan coba-coba pergi dariku!”

“Apalagi yang kau inginkan, hah?” dan wanita itu mulai kembali bersuara.

Sudah kujelaskan selama ini di setiap pertengkaran kita! Apa kau tidak juga mengerti, hah?”

Dasar lelaki tidak berpendidikan!”

PLAAK!

Satu tamparan mendarat di pipi Briggite, membuat wajahnya terhuyung dan rambut pirangnya terkibas menutupi sebagian pipinya. Ia diam sejenak. Meresapi segala sakit yang menjalar dari pipinya. Bagai bom waktu, dia pun meledak, “SUDAH KUBILANG AKU TIDAK MAU! APA KAU TIDAK MENGERTI?”

“ARHG,” geram Neil seraya mengoyak segala yang ada di sekitarnya. Lemari kaca di dekatnya sudah habis ia tinju dan setiap keramik hias yang indah ia banting sampai semuanya pecah tak tersisa.

Kau mau merusak apa lagi? Apa televisi ini mau kau rusak juga, hah? Jadi anak-anak tidak bisa lagi menonton televisi! Biar semuanya hancur!”

Tanpa meminta jawaban dari Neil, Briggite lari dan memasuki kamar gadis kecilnya. Dia melihat Paula sedang duduk di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Poninya basah oleh air mata. Pipinya yang putih menjadi merah. Nafasnya pun terdengar tersengguk-sengguk. Jelas, ia amat ketakutan.

Sayang,”  dengan lembut Briggite meraih pipi Paula dan menatap manik matanya.

Mama,” mata besar berwarna biru itu masih menyisakan tetesan air mata di pelupuknya. Dengan polos ia menatap wajah Mamanya yang bergurat garis-garis ketuaan. Wajahnya tak lagi sekencang dahulu.

“Jangan khawatir, Papa akan menjagamu selagi aku pergi,” tak bisa ditahan, Briggite pun mulai menangis.

Sebenarnya apa yang terjadi antara Mama dan Papa?” tanyanya, polos.

Anak pintar,” Briggite merapikan rambut Paula yang sedikit menutupi muka polosnya.

Jadi, Papa ingin aku menyerahkan pekerjaanku padanya. Dia ingin mengambil alih pekerjaanku. Dia punya ide untuk menyamar menjadi dokter bedah di tempatku bekerja. Tapi itu tidak mungkin. Jika itu aku berikan padanya, sama saja aku membunuh pasien-pasienku.”

Papa ingin jadi dokter sepertimu?”

Ya, sepertinya ia ingin menjadi dokter. Mungkin ini juga yang membuat ia menikahiku. Benar-benar tak habis pikir. Ternyata ia punya pikiran seperti itu. Dia menyuruhku menyerahkan pekerjaanku padanya,” Briggite menghela nafas panjang dan mengusap air matanya sendiri.

Dan sekarang aku akan pergi, menghindari Papamu untuk sebentar saja sampai otaknya agak beres. Hehehe, “ Briggite terpaksa tertawa di akhir kalimat namun hasilnya jadi tak natural.

Kamu baik-baik di sini, ya. Jangan nakal! Turuti apa yang Papamu katakan jika kamu tak ingin melihatnya mengamuk.” Ia mengusap puncak kepala Paula kemudian mencium keningnya.

 ***
7 hari setelah kepergian Briggite dari rumah itu, semuanya berjalan lancar. Tak ada lagi pertengkaran di siang, malam atau pun pagi hari. Neil dan Paula hidup damai di sana dan terkadang Alex datang untuk sekedar menemui mereka.

Pagi ini Neil baru saja memasak panekuk dengan saus strobery vanilla kesukaan Paula. Hidangan itu telah siap di meja makan dengan segelas susu coklat di samping masing-masing piring.

“Paula, Papa baru saja memasak panekuk kesukaanmu. Ayo keluar sayang,” teriak Neil di depan pintu kamar anaknya.

“Paula,” teriaknya lagi. Terus seperti itu sampai lima kali pengulangan. Ketika pintu kayu itu di dobrak, alangkah terkejutnya Neil ketika mendapati Paula tidak ada di kamarnya. Ranjangnya masih berantakan, jendela terbuka lebar membuat tirainya bergerak ditiup angin. Sudah dipastikan Paula pergi.
Neil mencari ke setiap sudut rumah tapi tak juga menemukan Paula. Ia menelepon teman Paula yang mempunyai kemungkinan menjadi tempat Paula pergi. Tapi  semuanya mengatakan tidak tahu, tidak ada! Lagipula untuk apa Paula kabur? Padahal sekarang rumahnya amat damai dan ia tak lagi mendengar setiap teriakan. Neil juga sangat menyayangi dan memperlakukan Paula dengan baik.

Kemungkinan terakhir adalah…

“Hallo, Briggite! Kemana kaubawa lari Paula, hah?” teriak Neil begitu teleponnya diterima oleh Briggite.

Kau ini masih saja seperti itu! Dasar gangguan jiwa! Aku tidak membawa lari Paula! Kaudengar itu, hah?” 
jawab Briggite, kalap.

Dasar tukang bohong! Kembalikan dia padaku!”

Sudah kubilang, AKU TIDAK MEMBAWA LARI PAULA! Apa itu kurang jelas?”

Mana mungkin aku percaya pada wanita sepertimu,” balas Neil.

Terserah. Sekarang kita harus mencari dia kemana? Dia benar-benar hilang?”

Entah mengapa setelah Briggite mengatakan itu, Neil merasa bukan Briggite-lah orangnya. Tapi kemudian ia berpikir, dasar tukang akting!

Hallo, kaumasih di situ? Sudah lapor polisi?”

Briggite cukup cerdas untuk tidak melakukan penculikan terhadap anaknya sendiri. Apalagi ini Briggite sendiri yang menanyakan tentang polisi. Jika Briggite orangnya, sudah pasti ia mengajak Paula pergi bersamanya waktu itu. Namun Briggite malah membiarkan Paula tinggal bersama Neil.

Belum. Baiklah, aku percaya bukan kamu orangnya,” jawab Neil, datar.

                                                            ***

Kepopuleran Alex membantu semua ini. Lewat akun jejaring sosialnya ia mengumumkan bahwa adiknya hilang.

Teman, adikku baru saja hilang. Namanya Paula. Ayahku menjadi kacau sejak ia menghilang. Bantulah aku dan keluargaku. Jika kalian menemukan Paula, segeralah hubungi nomor ponsel yang nanti aku sediakan. Ciri-cirinya amat mudah, dia memiliki wajah yang sangat mirip denganku. Aku tekankan lagi, sangat mirip. Umurnya 12 tahun dan kemungkinan besar ia masih mengenakan baju piyama,” begitu tulisnya di akun jejaring sosial. Para penggemarnya sangat antusias, banyak yang sengaja menyebar ke berbagi tempat untuk sekedar mencari gadis kecil yang wajahnya sangat mirip dengan idola mereka. Mengasyikkan bukan? Dan bila mereka menemukan Paula, sudah tentu kesempatan untuk bertemu Alex secara langsung akan terbuka lebar. Juga kemungkinan akan diingat karena menjadi ‘pahlawan’ bagi idolanya.

Beberapa hari kemudian banyak penggemar Alex yang mengaku melihat Paula. Mereka bilang di akun jejaring sosial, “Ajaib! Benar-benar mirip. Aku seperti melihat Alex dalam bentuk gadis kecil,” namun mereka juga mengatakan bahwa gadis itu tidak mengakui bahwa dirinya Paula, “Gadis kecil itu tertawa dan mengatakan bahwa dia bukan Paula, benar-benar tak bisa dipercaya,” kata-kata itu juga yang sering dikatakan penggemar Alex. Mereka bertemu dengan ‘Paula’ di tempat yang berbeda. Ada yang bertemu di toko lukisan, di toko musik, di taman, di toko boneka dan yang paling parah, di kuburan.

Tapi ada satu penggemar yang tetap menelepon dan mengatakan bahwa ia mengetahui keberadaan Paula. Walau tak tahu apakah itu benar-benar Paula atau ‘Paula’. Penggemar itu mengatakan bahwa beberapa menit yang lalu ia baru saja melihat Paula di sebuah toko boneka. Neil, Briggite dan Alex segera melesat ke lokasi sebelum ‘Paula’ pergi. Neil membuka pintu toko boneka itu dan melihat sosok gadis kecil sedang memunggunginya sambil memainkan sebuah boneka.

“Paula!” gadis itu menoleh dan ternyata benar! Itu Paula Doris! Ia tersenyum miring. Entah sejak kapan senyumnya jadi seperti itu. Matanya yang semula terlihat begitu polos kini terlihat sayu. Rambut pirangnya berantakan.

“Paulaa,” teriak Neil seraya berlari menghampiri Paula lalu memeluknya erat.

Kemana saja, sayang?”

Aku, tidak kemana-mana lil doris,”

Seketika pelukan Neil mengendur, ‘lil doris’? Darimana Paula mengetahui panggilan masa kecilnya itu? Padahal tak ada satu orang pun yang ia biarkan mengetahui masa lalunya. Ia tak pernah menceritakkan itu pada siapapun, termasuk pada Paula.

“Paula, tatap mataku!” pinta Neil seraya memegang kedua pundak Paula.

Dengan matanya yang sayu, Paula menurut dan bibir kecilnya kembali berbicara, “Akhirnya kau datang juga, kak,”

Aku ini ayahmu bukan kakakmu.
 Neil melihat Alex dan Briggite yang ada di belakangnya. Mereka juga mengerutkan kening.

Bagaimana ini?”

                                                            ***

Neil membawa Paula dan Briggite kembali ke rumah. Sekarang pertengkaran itu tak lagi terjadi, entah sampai kapan.

Malam itu rumah terasa hening dan damai. Alunan nada-nada klasik terdengar sangat indah dari ruang tengah. Neil melangkah dan memastikan siapa yang memainkan grand pianonya, meskipun ia yakin Alex yang memainkannya. Karena hanya dialah orang yang bisa bermain piano di rumah ini.

Gadis itu menoleh ketika menyadari ada seseorang yang memperhatikannya, dia tersenyum pada Neil dan kembali memainkan grand piano. Neil hanya bisa tersenyum getir. Sejak kapan? Sejak kapan Paula bisa memainkan piano? Seketika bulu kuduknya berdiri. Ia rasa ini bukanlah Paula. Karena ia ingat betul Paula selalu berkata, “Papa, aku tidak bisa bermain piano. Jangan memaksaku memainkannya,” itulah yang sering 
Neil dengar ketika ia hendak mengajarkan Paula bermain piano.

Jadi, sejak kapan Paula bisa bermain piano? Sepanjang hari Paula selalu ada dalam pengawasannya, tak pernah sedikit pun ia melihat Paula menyentuh tuts itu selama beberapa tahun sebelumnya.

Nada indah itu malah terdengar menakutkan ditambah tawa Paula yang khas ke-kanak-kanakkan. Tak bisa dipercaya! Paula bahkan memainkan piano itu dengan mata terpejam.

Tangan Neil terasa dingin, kakinya bergetar. Ia sungguh tak percaya pada apa yang ada di hadapannya. Paula mengehentikan permainan pianonya dan melangkah menuju lukisan di atas perapian.

Lukisan gadis pengantar impian.” celotehnya sambil memandangi lukisan itu.

Lil doris, kau tahu? Mataku tidak sekecil itu dan tanganku tidak sebesar itu. lain kali kauharus melukisnya dengan benar, ya?”

DEG! Semuanya terasa semakin jelas. Hal yang Neil takuti ternyata terjadi. Ia sudah mengetahui ini sejak pertemuan pertamanya di toko boneka namun ia mengelak. Padahal Johana telah menampakkan semuanya.
Ya, Johana adalah sosok gadis ‘pengantar impian’ yang ada dalam lukisan itu sekaligus adik kandung Neil. Tapi ia sudah mati.

Ingatan itu kembali terburai dalam otaknya. Kembali ke masa di saat ia berusia 19 tahun dan Johana masih berusia 12 tahun. Neil begitu berambisi menjadi dokter bedah namun kemampuannya tak sampai. Padahal ia sangat menginginkannya. Hal itulah yang membuat akal sehatnya terganggu. Pada suatu malam ia menjadikan Johana sebagai bahan prakteknya. Ia yakin bahwa ia pantas dan layak menjadi dokter bedah. Johana akhirnya ia bedah. Hal pertama adalah bedah jantung, dan setelah bedah jantung, ia membelah Johana menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama dari kepala hingga perut dan bagian kedua dari pinggang hingga kaki. Setelah melakukan itu semua ia merasa puas dan impiannya menjadi dokter seolah-olah telah terlaksana. Hingga akhirnya ia menyebut Johana sebagai ‘gadis pengantar impian.’

Setelah melakukan pembedahan, Neil melukis Johana untuk mengenang jasanya. Lukisan itu hingga sekarang berada di atas perapian dan ia namakan lukisan gadis  pengantar impian. Johana juga merupakan gadis yang pintar bermain piano dan sering memanggil Neil dengan sebutan lil doris.

Kini Neil terdiam menatap Paula yang bukan lagi Paula. Sesuatu merasukinya membuat ia bertingkah aneh.
Semua hal berputar di kepala Neil. Tentang Johana, alasannya menikah dengan seorang dokter bedah juga alasan mengapa ia melarang Paula mendekatinya setelah selesai bertengkar. Alasannya tak lain dan tak bukan karena ia takut, ia takut melakukan hal yang sama pada Paula seperti apa yang ia lakukan pada Johana.

Lil doris, mengapa kautega melakukan ini padaku?” tanya Paula tiba-tiba.
Neil merasa amat lemas dan begitu berdosa. Ia membayangkan bahwa di depannya kini berdiri Johana yang sudah lama mati, bukan Paula.

Lil doris, apa kautahu rasanya ketika dadamu di tusuk dan jantungmu dapat terlihat? Dan apa kautahu rasanya ketika perutmu terbelah dan ususmu terburai? Lalu badanmu menjadi dua bagian layaknya seekor kecoak? Apa kautahu bahwa nyawa itu sangat berharga bagiku? Aku masih terlalu kecil untuk merasakan semua sakit itu, Lil doris! Aku masih 12 tahun,” kata-kata itu meluncur dari bibir Paula yang biasanya meluncurkan kata-kata yang polos.

“Briggite! Briggite! Kemarilah istriku! Aku takut!”

Lalu semuanya gelap…

Bandung 23-08-2012 16:32

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan