Friday, August 10, 2012

Another Evelyn


Another Evelyn

Oleh: Peacereva


Memasuki bulan Januari, Kota Munich berhasil membuatku hampir mati kedinginan. Tutupan salju terlihat setidaknya selama beberapa minggu musim dingin dengan suhu -2C. Mantel, topi, sarung tangan wol dan ear muff adalah perlengkapan musim dingin yang wajib aku pakai kemana pun kaki kurus ini melangkah. Terkadang menggosokkan tangan sambil mengembuskan uap belum cukup membuatku merasa hangat. Bagian  yang menjadi favoriteku adalah ketika aku dan keluarga duduk mengelilingi meja makan untuk menyantap semangkuk soup leberknödel  menggunakan sendok besar dan menyeruput kuah kaldunya selagi hangat. Aku suka ketika menghirup aroma hati sapi bersama dengan bawang, roti serta rempah-rempah yang tersaji di mangkuk milikku. Walaupun aku berkumpul bersama keluarga yang sama sekali tidak hangat.


Aku merapatkan mantelku dan menunduk memandangi jalan di Ludwigstrasse. Salju masih menyelimuti secara tipis tempat ini. Aku mungkin gila memilih berjalan sendirian di tengah musim dingin di saat yang lain memilih untuk menenggak beberapa gelas helles di rumah mereka atau duduk menghadap perapian dengan badan terselimuti kain tebal. Tapi dengan suhu sedingin ini aku malah memilih berjalan mengikuti alur Ludwigstrasse sambil sesekali membenarkan posisi ear muff ataupun melihat langkahku sendiri. Di sini dingin, bahkan lebih dingin dari apa yang kau pikirkan jika kau mengerti maksudku.

Aku tahu persis mulutku ini mengeluarkan sesuatu semacam uap ketika aku mengembuskan nafas juga ketika aku berbicara pada diriku sendiri seperti orang gila. Ya, aku memang gila dan aku benci itu. Entah mengapa aku merasa otakku mengalami suatu gangguan yang membuat diriku berpikir aneh. Aku pernah bertanya apakah orang gila sadar bahwa dirinya gila? Tapi kurasa tidak, tidak! Orang gila pasti menyangka dirinya waras. Itu berarti aku masih waras kalau menganggap diriku gila. Apapun itu, aku rasa memikirkannya hanya membuat kepalaku pusing.

 Aku adalah tipe orang yang sabar, setidaknya itulah yang aku tahu. Aku lebih suka menahan amarahku daripada harus mengungkapkannya. Kusimpan amarah itu satu persatu di dalam diriku sampai aku merasa penuh. Tapi Ibu bilang itu bukan sesuatu yang baik. Suatu saat aku harus mengeluarkan itu satu per satu. Orang-orang di sekitar pasti tidak mau jika aku mengeluarkannya  sekaligus, mereka bilang dunia akan hancur bila si baik hati Evelyn marah. Ah, yang benar saja! Aku rasa mereka berlebihan.

Menghirup udara musim dingin di tempat ini lebih baik daripada aku harus menghirup aroma pecundang bernama Helmer yang dari radius 5 mil sudah dapat kucium. Helmer adalah kakakku. Kakak tiri lebih tepatnya. Aku memiliki mata berwarna biru yang cukup umum di Eropa. Sementara  Ia memiliki mata keemasan atau dikenal sebagai mata amber. Mata amber yang paling aku benci diantara warna mata yang lain karena Helmer yang memilikinya. Dia lelaki paling pecundang yang pernah aku temui.

Sebenarnya keberadaanku di Ludwigstrasse ini bukanlah tanpa alasan. Aku menghindar dari kehadiran Helmer juga Ayahnya yang pelit itu. Tuan Carl adalah lelaki pelit berperut besar dan berambut abu-abu. Dia tipe orang yang akan mengajakmu pergi ke restorant paling murah sedunia dan juga menyembunyikan kaleng biscuit di lemarinya hingga musim panas berada di tahun selanjutnya. Aku benci mereka. Aku juga tak pernah memanggil si tua Carl dengan sebutan ‘Dad’, selama bertahun-tahun kurasa aku belum bisa memanggilnya dengan sebutan itu. Entah mengapa namun tenggorokanku serasa tercekat ketika aku memulai untuk memanggilnya demikian.

Helmer pernah membuatku hampir mati kedinginan. Malam itu seusai pesta di sekolahku dan umurku masih 12 tahun, Ibu bilang jangan pulang sendirian. Helmer akan menjemputku pukul 9 malam. Oke, aku menurut dan menunggu Helmer di bangku panjang depan bangunan sekolah. Dengan pakaian pesta yang ditutupi mantel aku tetap kedinginan. Orang-orang telah pulang namun aku masih menunggu Helmer di situ sampai pukul 12 malam. Entah apa yang ada di pikirannya waktu itu. Tapi dia memang sinting.

Helmer hanya berbeda satu tahun dariku namun ia sudah bisa mengendarai mobil. Ah, aku benci mengingat itu semua. Dia pengendara yang sangat buruk! Aku bahkan merasa lebih aman naik taksi dibanding harus berada di mobil yang dikendarainya.

Aku masih berjalan di Ludwigstrasse dan mengedarkan pandangan. Sudah sangat malam namun aku menikmati semuanya. Keadaan kota dengan pendar-pendar lampunya  begitu indah menurutku. Aku suka pergi dari rumah dan merasakan kebisingan kota. Mendengar suara kendaraan, jalanan yang besar juga bangunan kubus yang megah. Seakan-akan bukan aku saja yang punya masalah tapi kota ini juga. Langit berawan serta pohon terkadang kuajak bicara. Entah bahasa apa namun itu lebih baik ketimbang berada di rumah.

                                                                ***

Siang ini ketika pergantian jam pelajaran aku melihat Helmer di lorong bersama beberapa wanita. Bukan berarti dia populer atau disukai banyak wanita. Tapi itu semua karena ia tidak punya cukup banyak teman lelaki. Kupikir wanita itu hanya iba melihat Helmer si itik buruk rupa dengan kacamata besar, jerawat  dan cara berjalan yang aneh.

“Itu Helmer?” Natalie berbisik seraya menyenggolku dengan sikutnya. Aku tahu dagunya terangkat sedikit menunjuk Helmer yang berada di ujung lorong.

“Ya.”

“Kamu kenal dia? Dia itu sangat payah,” tanyanya lagi.

“Dia kakakku.”

“Astaga! Yang benar saja! Kalian bahkan sama sekali tidak mirip!

“Kakak tiri.”

“Ah! Pantas saja.”

Helmer memang sangat payah namun aku masih mengakuinya sebagai kakakku di depan orang banyak. Aku juga membelanya dan masih menyimpan rasa kasihan kepadanya apabila menyadari bahwa ia dipandang sebagai siswa aneh di sekolah. Helmer memang suka tertawa tanpa alasan lalu mulutnya terbuka dan gigi depannya itu ompong. Parahnya ia selalu memamerkannya kepada semua orang. Sudah kubilang dia itu sinting.

“Hei,” itu Leon. “Helmer itu kakakmu?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Tapi, kemarin dia bilang kamu itu bukan adiknya. Dia bilang di antara kalian hanyalah saudara biasa. Benarkah?”

Detik itu aku ingin segera menutup hidungku untuk menghindari aroma pecundang Helmer yang sudah merasuk hidungku. Sebenarnya apa yang ada di pikirannya? Apa dia malu punya adik semacam aku? Yang benar saja! Aku ini cantik, populer dan dua tahun berturut-turut memenangi ‘king&queen dance’ bersama si tampan Erich.

“Jadi, Helmer itu kakakmu atau sekedar saudara?”

Aku terdiam sesaat sambil menerawang. Oke, kuikuti apa yang Helmer mainkan.

“Baiklah. Sebenarnya ia hanya saudara biasa,” ucapku seraya mengibaskan tangan.

                                                                                ***

Aku sakit hati menerima kenyataan bahwa Helmer tidak mau mengakui aku sebagai adiknya. Dan jika sudah begitu pelarianku adalah musik yang menghentak. Lewat headphone aku mendengarkan musik disko yang menghentak. Aku merasa semua bebanku menguap beriringan dengan hentakan-hentakan itu. Aku merasa lepas dan bebas. Sambil melompat dan menari, pesta piyama baru saja dimulai di rumah Natalie. Natalie dan aku sudah merencanakan ini beberapa bulan yang lalu namun baru sekarang pesta piyama ini berhasil digelar. Natalie sama gilanya. Ia menyuruhku melepaskan headphone dan mendengarkan lagu lewat pemutar musik miliknya saja. Tentu dengan volume maksimal. Dia memainkan lagu yang sealiran dengan musik disko. Kami melompat dan menari tak beraturan kemudian tertawa sambil mengangkat tangan. Aku sangat menikmatinya.

“Satu botol helles untuk malam ini. Yeaah!” soraknya.

“Kau gila, hah? ”

“Ayolah Evelyn, sekali ini saja.”

Dingin-dingin begini memang pantas meneguk beberapa gelas helles untuk menghangatkan badan. Tapi aku tidak yakin karena aku belum pernah mencobanya.

“Minumlah!” dari nadanya Natalie terdengar seperti memaksaku meminum helles itu.

Kupandangi gelas itu sejenak dan mengulum bibirku. Suara teguk ludahku terdengar jelas di telingaku sendiri. Baiklah, akan kucoba.

Satu gelas kecil helles telah aku habiskan begitu juga dengan Natalie. Ia bahkan tertawa seperti orang gila.

“Ayo minum lagi!” “Hahaha.”

Kurasa pandanganku kabur dan semuanya menjadi aneh .

Dia payaaah! Dia hampir membunuhku dengan mobil jeleknya itu!”

“Dia sama sekali tidak bisa mengendarai mobil!”

“Dia itu hampir menabrak toko dan menganggap aku sebagai karung beras di mobil itu!”

“Padahal aku ini punya nyawa ya… HAHAHAHAHAHA…”

                                                                                ***

Sinar matahari menimpa wajahku lewat jendela. Aku memijit pelipisku sambil meringis. Tadi malam itu sangat indah tapi kepalaku jadi sangat sakit.

“Evelyn, kau sudah bangun?”

“Eh?”

Aku kembali meringis dan memandangi langit-langit kamar Natalie. Aku bangkit dengan susah payah dan mendapati Natalie sedang berias dengan handuk yang menggulung rambutnya.

“Untung saja kau tidak muntah semalam,” ucapnya.

 “Benarkah?”

“Tentu saja. Tadi malam kau meracau, Evelyn.”

“Hah?”

“Iya, kau bilang tentang mengendarai mobil dan toko dan karung beras.”

“Astaga. Seharusnya kau merekam itu semua! Hahaha!”

Mobil? Toko? Karung beras ? Itu semua pasti tentang Helmer. Dia selalu membuat aku kesal dengan caranya berkendara. Dia selalu membuat aku menunggu sampai aku bosan setengah mati. Sementara jika aku membuatnya menunggu, ia pasti sudah memenuhi ponselku dengan panggilannya. Benar-benar tidak adil! Dia licik! Dan aku tahu kenapa waktu itu dia membiarkan aku menunggu sampai  jam 12 malam. Ternyata ia asyik mengobrol dengan teman perempuannya  dan sengaja mengulur waktu. Kami memang jarang berbicara satu sama lain. Dia tidak pernah memperdulikan aku, dia juga lebih menghormati teman-temanku dibanding aku. Dia juga akan berbicara banyak kepada teman-temanku. Dia itu malu bersaudara dengan aku! Apabila aku bisa memilih, aku akan memilih Erich untuk jadi kakakku. Dia benar-benar lelaki sejati dan tampan!

Lalu aku mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu ketika Ibuku dan Carl baru saja menikah. Helmer bercerita kepadaku tentang pengalaman di sekolah barunya.

“Anak laki-laki itu langsung pergi ketakutan ketika Ibuku menghampiri mereka.”

DEG! Ibuku? Benar-benar aneh rasanya ketika Ibu yang telah melahirkanku kemudian diakui sebagai ‘Ibu’ dari orang yang baru saja aku kenal! Dia memanggil ibu sebagai ‘Ibuku’ . Jujur itu menyakitkan jika kau tahu rasanya. Ibuku  tak pernah melahirkan Helmer tapi kenapa Helmer mengaku-ngaku seperti itu? Iya, kuakui sekarang ibuku adalah ibu Helmer juga. Tapi bisakah ia cukup berkata ‘Ibu kita’ dan tidak berkata ‘Ibuku’ seolah-olah Ibu adalah miliknya seorang dan aku ini dianggap apa?

Waktu itu aku menangis, tangisan seorang anak kecil yang benar-benar sakit hati. Dari situlah aku mulai menahan setiap amarah dan itu terkumpul sampai sekarang. Aku belum pernah menampakkan  amarahku kepada Helmer selama ini.

***

Aku berjalan perlahan menapaki bebatuan di sisi sungai Isar. Berbalut mantel coklat dan topi rajut aku terus berjalan. Malam ini sepi sekali sampai aku bisa mendengar gesekan sepatuku dengan batuan ini. Kuanggap ini sebagai musik pengiring langkahku saja.

Drrtt drrrt drrrt

Ponselku bergetar dan kulihat layarnya:

Semuanya beres bos!

Aku tersenyum miring kemudian menengadahkan wajahku ke langit malam seakan-akan memberitahunya bahwa semuanya akan segera berakhir. Pohon, batu, tanah, dan air yang mengalir tenang sendainya mereka mengerti pasti mereka pun tersenyum. Aku memang gila berteman dengan benda mati tapi setidaknya mereka tidak akan menyebarkan rahasiaku seperti anak sekolahan lain.

Aku memeluk benda mati seperti aku memeluk angin. Hampa. Aku memang gila tapi aku tidak sinting seperti si payah Helmer.

Aku berjalan memasuki ruangan kecil yang gelap setelah sebelumnya melewati lorong-lorong sempit. Ruangan itu kosong tanpa satu benda pun kecuali lampu gantung yang menjuntai di tengah-tengah ruangan dengan satu kursi tepat di bawahnya.

Aku berjalan mendekati kursi itu dan memutarnya sesuka hatiku sampai orang yang duduk di sana merasa mual. Hahaha. Si payah Helmer itu nampak kesusahan. Tapi aku tidak peduli, itu urusannya. Kupakai masker karena aku tidak mau menghirup aroma pecundang darinya.

  Pisau lipat ini nampak berkilat-kilat diterpa sinar lampu. Tentu saja warnanya akan berubah barang sebentar lagi. Ini akan berwarna merah jika kau mengerti!

Kupandangi Helmer yang badannya terikat tali dengan kuat di kursi itu. Uh, malang sekali! Ku usap pipinya dengan pisau itu. Dia malah gemetaran.

“Hahaha, tidak usah takut begitu, KAK!” ucapku dengan penekanan di akhir kalimat.

“Oops! Kamu ini bukan kakakku! Aku lupa,” aku menggoreskan pisau itu mengitari pipinya sampai lehernya. Helmer reflex mengangkat lehernya menghindari pisau itu. Wajahnya bergetar, nafasnya juga.

“Hahaha,” entah mengapa semuanya menjadi sangat lucu di pikiranku. Pisau itu, leher itu dan darah itu. Benar-benar cantik.

“Kamu itu jahat, Helmer! Ayahmu juga jahat! Kamu itu tidak pernah memikirkan bagaimana rasanya jadi aku! Kamu itu selalu membuat aku menunggu sampai aku hampir mati kedinginan. ”

“Kamu ingin melihat aku marah, ya? Selama bertahun-tahun aku tidak pernah melawan tapi sekarang semuanya sudah berakhir. Aku lelah Helmer! Aku lelah! Aku ingin kamu tahu bahwa kamu telah salah memilih aku memulai permainan ini,” teriakku lagi.

“Kamu tau hah? Kamu itu payah! Hahaha! Dan kamu tau? Ketika aku berhadapan denganmu dan ibu bertanya sesuatu, aku hanya bisa mengangguk. Kamu tahu kenapa? Karena aku takut ibu mendengar suaraku yang bergetar! Oke, inilah balasan atas semua perbuatan ketidak adilanmu terhadap aku!” dan kurasa aku merasa tenang telah mengungkapkan itu semua.

Aku melihat Helmer menggelengkan kepalanya. Tapi aku hanya bisa tertawa dan berteriak, “KAU ITU SEPERTI BANCI! HAHAHA!”

Tanpa ragu kutusuk perut Helmer dan kembali menarik pisau itu. Sudah kubilang pisau ini akan berubah warna. Lihatlah! Cantik sekali warnanya. Merah darah. Kuangkat pisau itu mendekati lampu. Ah, rupanya dari sini terlihat lebih indah. Darahnya pun menetes dengan perlahan ke mukaku dan mengalir sepanjang pipiku. Rasa-rasanya darah si payah Helmer ini dingin dan lengket.

“Aaa tidaaaaaak!”

Suara siapa itu? Benar-benar merusak telingaku saja! Rupanya itu Carl. Dia pasti histeris melihat anaknya mati.
Kurasakan badanku ditarik ke dalam pelukan hangat, pasti ini ibu. Aku semakin bingung mengapa mereka tahu aku ada di tempat ini? Apakah langit, pohon, batu, air dan tanah itu cukup bernyali untuk memberitahu semuanya pada orangtuaku?

“Evelyn, kenapa? Ini bukan Evelyn yang selama ini ibu kenal. Evelyn itu baik. Evelyn! Evelyn!” ia kemudian mengguncang-guncang tubuhku.

Aku menatap manik matanya yang menyiratkan kekhawatiran. Lalu aku tersenyum. Entah bagaimana caranya aku bisa melakukan itu semua. Namun aku yakin senyuman ini menyeramkan seperti apa yang sering kulihat dalam mimpi-mimpi tiap malamku. Malam-malam yang gelap dan semua mimpi kelam tentang sebuah circus. Di mana semua orang memakai topeng. Ada badut berperut besar, bermuka putih serta rambut keriting yang berwarna-warni tapi ada juga yang memakai topi aneh.  Mereka melayang-layang di udara. Semuanya tertawa dengan mulut lebar. Gelak tawa mereka tak dapat aku hindari. Mereka terus berputar di kepalaku dan semakin besar memenuhi ruangan tenda berwarna putih dan merah. Mereka bilang hidup ini seperti circus. Tentang pertunjukan, akrobat, hiburan dan ketakutan.  

Aku tersenyum sambil memincingkan mataku dan berkata, “Aku hanya menampakkan sisi lain diriku, another Evelyn, Bu. HIHIHI.”

Aku tertawa dan menjambak rambutku sendiri. Lengkingan tawa itu semakin terdengar jelas. Aku memang gila. Sudah kubilang aku ini gila.

Jadi, setelah ini adakah orang yang ingin membuatku menumpuk amarah lagi?

Bandung 10-08-2012 




No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan