judul : kisah romantis
kategori : kumpulan cerpen
page b/w : 205
kertas : HVS
harga : 50.000
page color : 0
deskripsi : Kisah-kisah cinta yang begitu inspiratif Ditulis dengan manis dan begitu memikat
Tentang Danita yang harus menerima karma atas semua orang pernah ia sakiti dimasa lalu, atau kisah penantian Stella terhadap sosok Hendra yang berujung kecewa. Semua kisah-kisah romantis yang begitu mengharukan.
merupakan Kumpulan cerita dari hasil audisi Antologi Kisah Romantis.
Snow Flower
Kata seorang guru yang pernah aku temui dulu, karma itu tidak ada, yang ada hanyalah timbal balik dari apa yang telah kita lakukan. Lalu apa bedanya? Bukankah keduanya sama-sama sebuah pembalasan dari Tuhan atas kelakuan kita sebelumnya? Karma dan timbal balik. Menurutku dua kata itu bersinonim. Karma adalah timbal balik. Timbal balik merupakan karma. Itu sama.
Dan yang terjadi padaku, entahlah, orang menganggap itu karma atau timbal balik. Yang pasti semua karena masa laluku. Tentang semua yang pernah aku lakukan. Tuhan membalasnya. Untuk semua air mata yang mengalir tak semestinya.
Hatiku, kini hanya hanya berusaha untuk menerima takdir itu. Sedang mencoba tepatnya. Aku harus mengulang kembali dari awal, dan melanjutkan hidup dalam waktu yang bersamaan. Tentu ini sulit, tapi harus kuhadapi. Mau bagaimana lagi? Lari dari kenyataan? Tidak mungkin!
Aku kira ini pilihan yang tepat. Perancis memang bukanlah tempat yang sepi. Paris menjadi salah satu kota teraktif di dunia. Tapi setidaknya aku bisa menjauh dari hiruk pikuk Jepang. Dan orang-orang itu. Sebenarnya jauh di lubuk hati aku ingin sekali kembali ke Indonesia, tanah kelahiranku, tapi itu jelas tidak mungkin.
Seperti saat ini. Berjalan di tepian sungai Seine menikmati Paris saat senja. Kulihat matahari mulai mengantuk dan hampir tertidur. tapi itu hanya sebuah kiasan. Semua orang tahu kalau di belahan bumi sana sedang siang hari dimana matahari bersemangat membagi suhu tubuhnya, dan di belahan bumi lain sang matahari baru terbangun dari tidur lelapnya. Sedangkan disini twilight. Bukan cerita Bella Swan yang bertemu seorang vampire, tapi hanya kisah seorang gadis bermandikan cahaya senja. Itu aku.
Indah. Kata itu yang pertama tergambar dalam pikiranku saat melihat musim semi kali ini. Kelopak sakura berjatuhan ketika tertiup angin seperti bunga-bunga salju di musin dingin. Ini mengingatkanku pada Jepang. Negara yang telah membesarkan aku. Dimana dari semua hal menarik yang dimiliki Jepang, hanya bunga sakuralah yang aku sukai.
Kulihat sepasang remaja SMA berjalan di tepian sungai saling berpegangan tangan. Si anak laki-laki membisikkan beberapa kalimat yang membuat si anak perempuan merona. Lalu ada sepasang suami istri 70 tahunan yang duduk di bangku menghadap sungai. Mereka saling melempar senyum dan sesekali mencium pipi pasangannya. Itu bukti bahwa musim semi memanglah sangat romantis. Dan aku juga ingin seperti itu.
Melihat keindahan ini, tiba-tiba semua kenangan berputar jelas di depan mataku bagai roll film hingga bahkan membuatku ingat setiap detail yang aku alami ketika itu.
Aku menatap tubuh-tubuh yang tergeletak disekitar tempatku berdiri sekarang. Beberapa lubang peluru bersarang pada mereka, membuat mereka tak berdaya. Tentu saja, mereka sudah mati. Diantara 20-an tubuh itu, disana, pria beruban dengan setelan jas warna pastel itu adalah pemilik salah satu perusahaan dagang Jepang. Dan wanita yang terlelap disambingnya adalah istrinya. Sedangkan yang lain, hanya pelayan dan para pembantu rumah tangga.
“Sudah tidak ada lagi?” tanya pria tinggi berjas hitam didepanku. Tangan kanannya memegang revolver hitam sedang tangannya yang lain membawa pemukul baseball yang kini sedikit berlumur darah
“Sepertinya sudah habis.” Jawabku memastikan. Mata kami masih awas menatap sekeliling, siapa tahu ada sesorang yang menyerang tiba-tiba.
“Ya, sudah habis. Yang terpenting adalah terget kita sudah selesai, yang lain aku tidak peduli.” Tatapan matanya terarah pada pria beruban di atas sofa. Sikap awasnya sudah hilang, pegangan tangannya pada pemukul itu sudah mengendur. Ini artinya semua sudah selesai. “Ayo kita pergi!” perlahan ia mulai melangkah meninggalkan ruangan.
Aku memasukkan kedua pistol milikku ke dalam saku jubah panjang yang kukenakan, kemudian mulai menyusulnya.
Kami adalah pelayan dari seorang mafia terkenal di Jepang. Tugas kami adalah, membunuh siapa-siapa saja yang memiliki masalah dengan pimpinan kami, tentu saja setelah mendapat perintah. Terdengar seperti pembunuh bayaran. Memang, kami dibayar untuk membunuh. Seperti malam ini, kami menghabisi Mr. Xing yang memiliki perselisihan tentang penyelundupan berlian dengan klan kami.
“Tunggu!!” aku menghentikan langkahku. Perhatianku tertuju pada sebuah lemari kayu di pojok ruangan tak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Kurasa benda itu tidak wajar, bergetar, seperti ada seseorang didalamnya.
“Danita ada apa?” aku memberi isyarat pada Lee untuk diam, lalu berjalan mengendap mendekat ke arah lemari itu diletakkan. Tebakanku tepat, lemari itu bergetar, getarannya juga menguat ketika aku semakin dekat dengan benda itu.
“Ada orang?” bisik Lee yang sudah berdiri dibelakangku, entah sejak kapan ia berada disana. Aku hanya mengangguk lalu memberi kode untuk bersiap. Perlahan kuulurkan tanganku menyentuh pegangan pintu lemari. Lee sudah bersiap dengan pistolnya.
1! 2! 3! BRAAKKKK!!!
Lemari itu terbuka. Dan aku terkesiap. Didepanku sekarang, seorang gadis 8 tahun terduduk di dalam lemari sembari memeluk kedua lutunya. Gadis itu menggigil ketakutan, sepertinya ia juga menahan nafas, dan menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis meski air matanya sudah mengalir dan membasahi piyama yang ia kenakan. Getaran tubuhnya semakin kuat saat kudekatkan wajahku. Ia semakin ketakutan, cengkraman dan gigitannya bahkan semakin kuat hingga sedikit melukai bibir mungilnya.
“Dia melihat semuanya.” Bisikku pada Lee.
“Kita selesaikan saja.” Jawab pria itu. Seketika aku menoleh ke arahnya. Nampaknya aku tidak senang dengan jawaban itu.
“Kau mau kita membunuhnya?”
Pria itu menatapku. Tepat pada kedua mataku. Ah, tidak, aku rasa dia menatap hatiku. “Kau mau membawanya? Apa kau ingin menjadikan dia monster seperti kita?” keningku berkerut, tetapi sesaat kemudian aku mengerti.
Aku teringat. Kejadian ini persis sekali dengan apa yang kulihat 17 tahun yang lalu. Seorang gadis kecil meringkuk ketakutan di bawah meja kerja ayahnya karena melihat beberapa pria dengan pakaian hitam-hitam membunuh ayah ibunya juga beberapa pelayan di rumah besarnya. Ia ingin menangis, tapi ia takut. Hingga seorang pria yang berbicara aneh menemukannya. Pria itu menakutkan, tapi matanya lembut, berbeda dengan pria berbaju hitam lainnya. Pria itu baik, mengajaknya naik pesawat dan pergi ke tempat yang jauh dimana orang-orang berbicara aneh. Lalu mempertemukannya dengan anak laki-laki tampan yang menjadi temannya sampai sekarang. Gadis kecil itu, adalah aku.
“Danita?!” sebuah sentuhan tangan di pundak membuatku tersadar. Aku melihat gadis itu, dia masih saja ketakutan. Sebenarnya jauh di lubuk hati aku sangat kasihan padanya, dia harus pergi saat usianya masih sangat muda. Tapi tidak ada pilihan lain.
“Setidaknya dia akan bahagia bersama ayah dan ibunya, di surga.” Ucap Lee.
Setelah beberapa saat bertarung dengan perasaan, akhirnya aku tersenyum. Kudekatkan wajahku padanya dan mengusap rambutnya perlahan. “Adik kecil, jangan takut.” Ucapku lembut, tapi ia masih saja menggigil. “Kakak akan pergi, kami tidak akan mengganggu. Maaf ya sudah membuat rumahmu berantakan. Ini, sebelum kakak pergi kau minum ini, nanti kau akan lebih baik.” Aku mengulurkan sebuah benda kecil berwarna kuning. Tubuhnya tidak bergetar sehebat tadi, tapi ia masih menatap tanganku dengan takut. Kuraih tangannya, lalu kuletakkan benda berbentuk mirip permen itu, dan kutuntun dia untuk memakannya. “Kau akan lebih baik.”
Gadis itu menelannya. Dia tidak menolak, rasanya juga pasti manis. Namun beberapa saat kemudian pandangan gadis itu mengabur, tubuhnya melemah. Hingga pada akhirnya, tubuh itu tergeletak tak berdaya di dalam lemari.
“Kita sudah selesai. Ayo pergi!” Lee meraih tanganku dan menarikku keluar. Kami harus meninggalkan tempat ini sebelum polisi datang.
Kurasakan beberapa bulir hangat mengalir melewati pipiku.
Hari ini langit Tokyo sangat cerah, tidak ada awan, atau bahkan hujan. Orang-orang menikmati pagi mereka dengan rona di pipi dan lengkungan bibir ke atas, bahkan ada yang tertawa riang. Tidak ada pekerjaan, aku, Lee, dan Alwin memutuskan untuk bersantai di sebuah coffee shop. Tempat ini menyediakan tempat duduk outdoor dimana pengunjung dapat bersantai sambil menikmati aliran sungai dan orang-orang yang berlalu lalang di area sungai di pusat kota Tokyo. Kami melihat dan menikmati aktifitas masyarakat yang sedang berjalan melintas, atau mereka yang juga menikmati pagi dengan secangkir kopi. Kami membaur. Sejenak hidup seperti manusia normal, melupakan siapa kami yang sebenarnya.
Alwin. Ah, ya…, akan kukenalkan dia. Pria tampan nan lembut itu juga seperti kami. Dia adalah kakak, teman, senior, guru, saudara, sekaligus rekan kerja kami. Dan yang paling penting adalah, dia juga berasal dari Indonesia. Kami bertiga dibawa, dibesarkan, lalu dididik oleh Mr. Joe Tatouma untuk menjadi monster. Monster pembunuh. Tapi, disaat kami berkumpul dalam kehangatan seperti ini, kami adalah manusia.
“Jadi, kau menghabisi anak itu?” tanya Alwin. Ia menuang beberapa sendok teh gula dan susu, lalu mengaduk campuran kopi miliknya.
“Ehm…..” aku mengangguk. “Tidak mungkin aku membawanya pada bos. Dia nanti akan menjadi seperti kita.” Ada sebesit penyesalan dalam hatiku. Aku menyesal tidak membiarkankannya hidup. Tapi tidak ada pilihan lain.
Alwin menghela nafas. Aku tahu dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hidup kami sudah terikat dengan Mr. Tatouma. “Dia pasti akan bahagia di surga.” Ucapnya singkat kemudian menyesap kopinya perlahan.
Aku terdiam, lalu tersenyum. “Ya, aku juga berharap seperti iu.”
Tiba-tiba aku tersadar sesuatu. Lee sudah tidak dikursinya. Keningku berkerut. Sejak kapan ia meninggalkan kami? Kuedarkan pandanganku ke sekitar, memeriksa setiap pria tinggi berambut agak pirang. Ah.. Itu dia! Berdiri di tepian pagar pembatas sungai. Ia menerawang jauh ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku beranjak dari kursiku lalu mendekat ke arahnya. Kulingkarkan lenganku untuk memeluknya dari belakang.
“Kau masih memikirkannya?” tanyaku, tapi ia tidak menjawab. “Dia pasti bahagia dengan orang tuanya di surga.” Kuulangi ucapannya waktu itu. Mungkin malam itu sebenarnya ia juga ragu untuk melakukannya.
Kueratkan pelukanku. Menutup mata, menikmati aroma khas tubuhnya yang sangat aku sukai. Ia terdengar menghela nafas, tapi aku yakin ia tersenyum sekarang.
Ah ya…..ada satu bagian yang belum diketahui banyak orang. Aku dan dia-Lee- adalah sepasang kekasih. Aku mencintainya dan juga sebaliknya, dia mencintaiku. Kami saling mencintai meski pada awalnya kami harus melewati masa-masa yang sangat sulit.
“Kalian kubawa kemari utnuk dididik menjadi petarung!! Bukan untuk dijodohkan!!” ucap Mr. Tatouma marah pada suatu hari ketika usiaku 15 tahun. Ia tidak suka dengan kami yang menjalin cinta. “ Bawa mereka ke belakang! Pukul 100 kali!!” perintahnya kemudian mesti ia tahu pasti tubuh kami sudah lebam, penuh dengan warna biru keunguan karena memar.
Tapi kami tidak menyerah, dan tetap saling mencintai meski kami tahu akan ada semakin banyak lebam di tubuh kami. Dan kami tidak peduli. Kerja keras, kegigihan kami, cinta kami, akhirnya terbalas ketika Mr. Tatouma akhirnya memberi ijin suatu hari.
“Aku tidak mengerti apa yang kalian pikirkan sebenarnya. Tapi baiklah, setelah melihat hasil kerja kalian yang memuaskan, dan juga sifat keras kepala kalian, aku ijinkan. Tapi aku harap, kalian tetap bekerja secara profesional.” Setelah menunggu sangat lama, hari itu datang juga.
Sejak saat itu kami menjadi partner yang hebat, baik dalam pekerjaan, maupun urusan cinta. Kami berusaha untuk tidak mencampurkan perkerjaan dengan masalah pribadi agar bisa menepati janji dengan Mr. Tatouma. Kalau tidak, siap saja dengan hal buruk yang akan terjadi. Masih jauh lebih baik jika ia membunuh kami berdua. Melainkan hanya akan ada 1 orang yang akan mati, dan itu akan sangat menyakitkan.
“I love you” bisikku lirih. Harus sedikit berjinjit untuk mencapai telinganya yang berada beberapa cm di atas kepalaku.
Aku berani bertaruh ia sedang tersenyum sekarang. Karena setelah itu ia mengucapkan 3 kata yang selalu memuat hatiku merona, “Love you too.”
Perjalanan hidup kami tidak semudah yang orang lain pikirkan. Banyak sekali hal yang harus kami lakukan untuk ditukar dengan waktu kebersamaan. Terdengar seperti penggadaian memang. Dan semua masih sangat teras sulit. Detik demi detik bersamanya begitu sangat berharga, walaupun hanya bisa melihat wajahnya saja, bagiku itu hal yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan lebih berharga daripada uang.
“Berapa lama kau pergi?” tanyaku ketika itu. Dia akan pergi menjalankan perintah. Seharusnya aku terbiasa dengan ini, tapi masih saja sulit. Aku tahu, ia akan pergi, dan ia selalu kembali. Tapi tetap saja hatiku merasa seolah ia akan pergi selamanya.
Kulipat baju-bajunya dan kumasukkan ke dalam kopor, dan beberapa senjata berbagai jenis beserta pelurunya. Aku juga menyertakan sikat gigi, sabun cuci muka, parfum, plester luka, antiseptik, dan vitamin. Meski ia selalu menolak membawa barang –barang yang kusebutkan terakhir tadi, aku selalu berhasil memaksanya.
“Satu minggu. Hanya satu minggu.” Ia tersenyum. Aku beranjak dari tempat tidurnya, mendekat padanya dan berinisiatif merapikan setelan jas hitam yang ia kenakan sekarang. Ia sangat tampan. “Tunggu aku!” bibirnya menyentuh lembut keningku. Aku bahagia.
Dan ketika ia pulang, bukan berarti ini sudah selesai. Bukan, melainkan awal. Dia pergi memang sebuah awal, dan ketika ia pulang itu adalah akhir, tapi bukan berarti sudah berakhri. Akan datang awal yang yang baru ketika ada akhir, dan akan menyusul awal-awal yang lain, begitu seterusnya. Kami seolah menjadi putri dan pangeran dengan sejuta kisah indah nan membahagiakan, tapi sedetik kemudian kami akan berubah lagi menjadi monster. Sosok kami yang sebenarnya.
“Dia memanipulasi pengiriman senjata ke Thailand, dan tidak melaporkan beberapa kedatangan barang pada kita. Dia juga bekerjasama dengan Mr. Alex Matsumoto melakukan transaksi dibelakang kita.” Kubacakan beberapa laporang dari lembaran-lembarang file yang ada ditanganku.
“Tidak!! Tidak!! Bukan aku! Aku hanya menerima ajakan itu. Bukan aku idenya!!!” orang itu meronta, mencoba membela diri. Tapi dua pelayan bertubuh besar memegangi lengan orang itu, lalu menghempaskannya hingga terduduk kembali di kursi pesakitan.
Saat ini kami sedang bekerja. Seperti inilah suasana yang kuhadapi sehari-hari. Di salah satu ruangan luas pada markas besar Tatouma inilah kami mengadakan pengadilan kami. Pria tinggi kurus berkarisma itu adalah Mr. Tatouma, ia duduk di kursi kebesarannya. Dan pria berjambang disampingnya adalah Iras Kurosaki, kaki tangan Mr. Tatouma. Aku, Lee, dan Alwin duduk di sebelah kanan kiri Mr. Tatouma. Sedang puluhan pelayan lain berdiri tersebar di seluruh ruangan, menyaksikan proses eksekusi.
Dan pria tambun di kursi pesakitan merupakan target. Awalnya ia adalah kawan, tapi sekarang menjadi lawan akibat penghianatannya. Tubuhnya sudah penuh dengan memar. Baju yang biasanya terlihat rapi kini kusut dan begitu kotor karena perlakuan kurang menyenangkan dari para pelayan kami.
“Aku mohon tuan! Tolong lepaska aku!! Aku bukan dalangnya! Tolong lepaskan aku!! Akan kulakukan apapun yang kau inginkan!!” orang itu berlari kemudian berlutut di bawah kaki Mr. Tatouma. Sementara si bos hanya tersenyum.
“Kau masih mau mengelak? Siapa orang yang malam itu bertemu denganku di pelabuhan lalu menyuruh orang untuk membunuhku?” kini Alwin angkat bicara tanpa menatap orang itu, matanya masih sibuk menata rubik yang ada di tangannya.
“APA!!!” orang itu nampak terkejut. “Bukan!! Bukan aku!! Aku hanya menjalankan perintah!!!!” dua pelayan besar kembali menyeretnya, tapi kali ini mereka menjatuhkannya ke lantai sampai orang itu meringis kesakitan.
“Dalam dunia kita ini, yang terpenting adalah kesetiaan.” Mr. Tatouma sudah berbicara. Berarti ini saatnya.
“Hallo?”
Aku menoleh ke arah suara berat itu. Pemiliknya sedang membawa sebuah ponsel yang menyala. Lalu terdengar suara yang memilukan. “AYAAAHHHH!!”
“TIDAK!!! JANGAN….JANGAN PUTRIKU!! JANGAN!”
“Ayaaaahhhhhhhhhhhh……………………..” teriakan itu masih terdengar hingga beberapa saat, lalu mulai melemah, lemah, dan akhirnya menghilang.
“Ana!! Anaaa!! Tidaakkk!!” orang itu kini marah. Ia meronta lebih hebat dibanding tadi. Dua pelayan sedikit kewalahan mengatasinya hingga harus memberinya sedikit pukulan. “KAU!” orang itu menunjuk Lee. “KAU BENAR-BENAR IBLIS! KALIAN IBLIS! MONSTER!! KAU AKAN MENDAPATKAN BALASANNYA!!”
Lee mengarahkan pistolnya.
“KAU AKAN MENDAPAT BALASANNYA!!!”
Wusshhhh…..
Seperti tidak terjadi apapun. Tapi orang itu sudah tergeletak. Senjata hebat, tidak perlu mengeluarkan suara memekakkan telinga seperti pistol-pistol murahal para polisi. Sekali menekan pelatuknya saja kau tidak akan menyadari kalau orang di depanmu sudah pergi ke surga.
Mr. Tatouma tersenyum. Ia puas.
Meski hatiku sudah sedingin gunungan es, sebenarnya aku takut. Bertanya-tanya apa yang akan terjadi padaku di hari esok. Aku tahu pekerjaan ini begitu menjijikkan, siapa yang ingin menjadi seekor monster? Tapi pilihannya hanya ada dua, dia, atau aku yang akan mati?
“Apa yang kau pikirkan?” Lee menyentuh lembut pipiku ditengah sibuk menyetir. Aku menggeleng pelang lalu tersenyum.
“Tidak ada. Hanya mengingat beberapa bumbu membuat ramen untuk makam malam nanti.” Ia tertawa. Garis-garis bibirnya melebar, dan lihat, pipnya merona. Entah bagian mana dari kalimatku yang lucu.
“Sejak kapan kau memasak, ha? Bukankah kau hanya tahu cara menggunakan senapan?!” ia mengacak rambutku sedangkan tawanya belum berhenti. Tapi sedetik kemudian mimik wajahnya berubah serius. Mata sipitnya memicing melihat ke arah spion di sebelah kirinya.
“Ada apa?” tanyaku khawatir setelah melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba.
“Ada yang mengikuti kita.” Jawabnya.
Ternyata benar. Aku melihat 2 buah mobil mengikuti kami. Nampak mencurigakan. Mereka juga semakin cepat ketika Lee menambah kecepatan mobil kami. Sekarang kami sedang saling kejar, seperti sebuah adegan dalam film dengan tema balapan. Dan Lee seketika bertranformasi menjadi seorang street driver.
Lee mengemudi dengan liar. Untung saja ia memilih jalan yang cukup sepi sehingga tidak menemukan banyak mobil yang menghalangi. Awalnya kupikir jika melewati jalanan lenggang kami akan mudah untuk kabur dari mereka, tapi ternyata aku salah. Keadaan ini membuat mereka leluasa menembakkan peluru ke arah kami.
“Dibelakang!” Lee memberi isyarat. Dengan sigap kuambil 3 buah pistol dari jok belakang dan kuserahkan salah satunya untuk Lee.
Kami beradu tembak tembak dengan 2 mobil berpenumpang 5 orang di dalamnya. Dari jendela sebelahku, kuarahkan pistol pada salah satu mobil dan memberondongi mereka dengan peluru. Sedang mobil satunya menjadi bagian Lee sembari fokus pada kemudi. Terjadi baku tembak di salah satu jalanan kota Tokyo siang itu. Beberapa pengemudi yang kebetulan melintas mendadak menghentikan mobil mereka menghindari peluru kami. Walau ada diantara mobil itu yang kacanya pecah terkena tembakan.
Lee menambah kecepatan. Di persimpangan depan, ia menikung tajam ke kanan tanpa mengurangi laju mobil hingga tanpa kami duga sebelumnya sebuah truk kontainer berhenti melintang di tengah menutupi seluruh badan perempatan. Jarak mobil kami dengan truk itu kurang dari 30 meter.
Aku merasa waktu berhenti saat itu juga. Jika mobil ini tak bisa berhenti, itu artinya kami akan menabrak. Semuanya tiba-tiba berjalan lambat ketika aku merasa Lee mnginjak rem hingga mobil sedikit miring 35 derajat ke kiri, berarti saat menabrak nanti aku akan lebih dulu menyentuh badan kontainer. Lalu waktu kembali berhenti. Pikiranku melayang pada semua hal yang sudah kami lalui selama ini. Apa ini akan menjadi akhir hidupku? Mungkinkah ini balasan dari Tuhan untuk menebus semuanya?
Tapi beberapa detik sebelum kami menabrak, Lee memutar setirnya hingga mobil berputar 180 derajat. Kini ia berada diposisiku, bagian yang mengarah pada kontainer. Lalu………
BBRAAAKKKK!!!!!
Terdengar dentuman keras dari dua logam besar yang bertabrakan. Lalu terdengar lagi dua dentuman yang sama persis. Setelah itu aku tidak ingat apapun yang terjadi beberapa detik yang lalu. Sekarang aku hanya merasa sakit di seluruh tubuh, dan tersadar bahwa kini sedang tergeletak di tengah jalan. Samar-samar aku melihat beberapa bagian dari 3 mobil itu terbakar, dan api juga merambat ke jalan dimana mengalir bahan bakar yang merembes dari tangki yang bocor.
Tunggu! Aku seperti melupakan sesuatu!
Lee!!
Dimana Lee?!!
Entah mendapat kekuatan darimana tiba-tiba aku bisa berdiri, berlari ke arah mobil kami yang kini hampir separuh bagiannya terbakar dan rusak di semua bagian. Dengan brutal kusingkap setiap serpihan logam itu untuk mencarinya. “Lee?” teriakku. Tapi tidak ada jawaban. “ Lee?!!” masih tidak ada jawaban. “LLLEEEE??!!!!” air mataku menetes.
Hampir saja aku putus asa ketika tidak menemukannya, hingga akhirnya melihat sebuah tangan-yang sangat kukenali milik siapa- menyembul dari kolong mobil. “LEE!!” pekikku senang. Aku berlari ke arahnya lalu menariknya keluar. Ia tak sadarkan diri. Dari keningnya mengalir beberapa tetes darah, walau tidak banyak tapi cukup membuatku khawatir.
“Lee?!” aku memeluknya di atas pangkuanku. “Lee kau bisa mendengarku?”
Hening.
“Lee bangunlah!!” kuguncankan tubuhnya, berharap dia aka tersadar. Ternyata tidak, dia masih terpejam. “LEE?!!” kucoba sekali lagi dengan lebih keras. Hasilnya tetap nihil. Kupeluk tubuhnya erat. Aku menangis. Meratap memeluk tubuhnya yang kini sudah tak berdaya.
“LLLLLLLLLLLLLLEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Musim semi kali ini menjadi musim semi paling kelabu dalam hidupku. Guguran kelopak sakura bagiku seperti ribuan bunga sajlu. Dingin. Menyakitkan.
Disana, di bangku berukuran sedang yang menghadap ke arah sungai, ia duduk menungguku. Aku melihat punggung lebarnya-yang dulu amat kokoh dan kuat- hanya tersandar di senderan bangku. Melihatnya dari belakang seperti ..........
Silakan pesan untuk membaca lebih lanjut
Kirim nama lengkap, alamat lengkap, nomor telpon, judul buku dan jumlah buku ke email admin@nulisbuku.com atau 085696122660
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan