Monday, October 1, 2012

Siang di Saona Island


Suhu yang hangat sepanjang tahun, pasir putih dan laut yang berwarna biru telah menarik aku memilih pantai ini sebagai tujuan berbulan madu. Mereka tidak bohong, kepulauan Karibia memang indah dan romantis. Seperti di Saona Island ini, ombaknya tenang dan angin tidak terlalu kencang.

Bersama Tisha, wanita yang baru enam bulan aku nikahi. Menikmati siang hari dengan menatap lautan dari bibir pantai. Duduk di pasir putih tanpa alas dan membiarkan kaki bertelanjang.

Senja di sini pasti akan sangat indah, namun aku bosan. Terlalu banyak orang memuja keindahan senja. Senang bahwa matahari akan tenggelam. Padahal kilauan air laut di tengah matahari terik ini tidak kalah indahnya.


“Langitnya sempurna.” Aku menengadah dan memincing melihat awan tipis, sementara bagian lainnya bergumpal seperti permen kapas.

“Kamu suka, Sha?”

“Suka, suka sekali.” Dia tersenyum, melihat sekeliling, “Tidak terlalu banyak orang. Itu yang paling aku suka.”

Aku mengikuti pandangan matanya. Di sini memang tidak terlalu banyak orang. Hanya beberapa pasangan orang asing lain dan beberapa keluarga serta anak mereka. Mataku terkunci menatap pohon kelapa di belakang sana. Batangnya seolah membungkuk.

Aku jadi teringat ketika dulu aku sering membawakan tas berat Tisha. Kami berjalan melewati kerumunan di lorong rumah sakit. Bahunya bungkuk dan dia terlihat sangat tidak nyaman berada di antara banyak orang. Sambil melirikku dan mengejapkan mata beberapa kali ketika ia berkata,Tasnya berat? Bahu kamu jadi bungkuk, Rajab.”
Nggak apa-apa. Aku pingin nemenin kamu, supaya kamu nggak sendirian jadi bungkuk di dunia.”

Lalu kami terus berjalan di lorong rumah sakit dengan aroma obat yang mulai tercium. Kulihat ia tak tenang, matanya berkedip dengan cepat beberapa kali. Itulah yang ia lakukan jika ia merasa tak nyaman. Ia menunduk, tak mau menatap sekitar. Meskipun mau, itu pasti tak akan lama. Langkahnya cepat, seakan-akan ingin mengakhiri ini semua.

“Rajab, kenapa?” Aku menoleh dan memandang Tisha yang tengah memperhatikanku. Aku kembali tersadar bahwa aku sedang berada di pantai.

“Semuanya kayak mimpi, ya. Kamu hebat, Rajab.”

“Hebat? Kenapa?”

“Karena kamu mau nikah sama orang kayak aku. Aku yang setengah anti-sosial. Yang lebih seneng sendirian.”

Angin laut mengusap wajahku sekilas. Kuperhatikan ia kembali berbicara,“Kamu tau nggak, apa yang dokter bilang? Katanya aku bungkuk bukan karena terlalu tinggi. Tapi karena aku rendah diri. Mungkin benar, aku juga ngerasa, kok.”

“Mereka bilang aku aneh, selalu sibuk sama dunia yang aku bangun sendiri. Tapi sekarang, aku bawa kamu masuk ke dunia aku. Jadi, aku nggak sendiri lagi.” Dia lurus menatap laut. Tidak ada angin yang bisa bermain dengan rambutnya. Jelas, karena ia memakai kerudung.

Kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi aku tak berhenti menatap mata Tisha dari samping. Bulu matanya yang lebat membuat ia semakin anggun ketika berkedip pelan.

Mata polos itu mulai berair. Perlahan menurunkan satu tetes kesedihan. Dia terpejam, benar-benar rapat. Kemudian ia hendak menghapus air mata itu dengan punggung tangannya.

“Jangan, jangan dihapus.”

Matanya terbuka, agak merah menatapku lekat-lekat.

“Biar aku yang hapus.”

Dengan jari-jariku, aku menghapus air matanya pelan. Mata besarnya menatapku ketika aku melakukan hal itu, membuat aku jadi malu.

“Kamu yang pertama ngelakuin itu buat aku.”

Dia menekuk lutut dan melingkarkan tangan di situ. Kepalanya tetap mengarah padaku.

“Kamu lelaki pertama.”

“Pacar-pacar kamu sebelumnya? Emangnya nggak pernah?”

Dia terkekeh, “Di islam itu nggak ada pacaran, Rajab. Kamu lelaki yang ngerti islam pasti tahu itu, kan?”
Aku menahan nafas, mengerti islam? Aku memang mengerti, tapi aku pernah pacaran sebelum ini.

“Aku nggak pernah pacaran sebelumnya. Kamu yang pertama,” ucapnya, matanya menerawang sambil tersenyum simpul.

“Kamu yang pertama ngeliat rambut aku, kamu lelaki pertama yang aku cinta. Kamu lelaki pertama yang pernah nyentuh aku.”

Aku kembali menahan nafas sampai dadaku terasa sakit. Aku adalah lelaki pertama yang mendapatkan itu semua?
“Karena kamu spesial. Cuma kamu lelaki yang aku kasih itu semua.”

Menjadi spesial memang menyenangkan. Tapi sekarang aku malu. Dia menjadikan aku lelaki pertama untuknya. Lelaki pertama yang dia cinta. Lelaki pertama yang ia biarkan melihat rambutnya yang sangat indah. Sedangkan aku, aku tak menjadikannya perempuan pertama. Dia bukan perempuan pertama yang aku lihat rambutnya. Dia juga bukan perempuan pertama yang aku genggam tangannya.

“Tapi, kamu cantik, Sha. Nggak ada lelaki lain yang mau jadi pacar kamu sebelumnya?”

“Apa semua yang punya wajah cantik harus pacaran? Jadi, mana istimewanya seorang istri kalau lelaki itu bukan yang pertama untuknya?”

“Kita hanya perlu menahan. Bersabar menunggu jodoh yang Allah berikan. Mungkin, ini sisi baik dari perilaku aku yang setengah anti-sosial. Para lelaki itu jadi mikir dua kali buat deketin aku,” sambungnya.

Aku termenung menatap pasir putih. Malu rasanya menatap wajah Tisha. Dulu aku terbuai pada banyak wanita cantik. Setiap ada kesempatan, maka aku jadikan mereka pacar.

“Suatu saat aku akan menjadi tua. Keriput, lemah, dan rambutku akan rontok,” suaranya yang halus kembali memasuki rongga telingaku.

Bisa kudengar ia menghela nafas, “Aku cuma ingin kamu temani aku melewati itu semua. Menjadi tua bersama-sama. Meski pun aku bukan wanita yang pertama buat kamu, tapi aku mau jadi wanita terakhir buat kamu.”

Aku menatap wajahnya. Dia, begitu sadar bahwa dia akan tua. Akan tidak cantik. Aku berjanji, suatu saat jika ada yang memisahkan, aku pastikan bahwa itu karena Allah. Bukan karena ke-egoisan yang membuat kami bercerai.

Dia bangkit dan aku mulai menyamakan langkah dengannya. Kami berjalan menyusuri pantai sambil berpegangan tangan. Aku menggenggam tangannya, erat. Tidak ingin ia pergi, karena ia begitu spesial. Orang spesial yang mampu membuat aku merasa spesial juga.

Aku lihat senyumnya mengembang. “Ini jadi sangat istimewa. Karena pertama kalinya aku lakukan. Jalan sepanjang pantai sambil berpegangan bersama satu yang aku cintai. Cuma sama kamu. Kamu yang pertama.”

Aku ikut tersenyum, memandang lurus ke depan dan merasa menjadi orang beruntung di dunia. Langit itu masih biru. Tempat ini, terlalu indah untuk menangis.

Kepulauan Karibia, laut biru, pasir putih, suhu yang hangat serta pohon kelapa yang membungkuk aku tatap lama-lama. Memotretnya dalam ingatanku. Bahwa mereka semua pernah menjadi saksi bisu. Di antara keindahan mereka, aku bersama denganya, Tisha. Dia jadikan aku yang pertama meskipun aku tak menjadikannya yang pertama.

Terimakasih… untuk menjadikan aku begitu spesial.
Terimakasih telah menjadikan aku yang pertama…

***

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan