Author : yHyesun
Genre : friendship, school life
Rated: PG
Leight : oneshoot
Summary:
Genre : friendship, school life
Rated: PG
Leight : oneshoot
Summary:
Berawal dari permasalahan kecil, pertemanan antara Debby dan Ester pun diuji.
Ester bisa merasakan itu ... dari setiap pandangan yang berhasil membolongi punggungnya.
"Tapi, aku ingin menemani Debby."
***
TWO SPOON
Aku menggantung mantel musim dingin dan syal rajut abu-abu itu ke dalam lemari. Memandanginya beberapa saat untuk menyadari bahwa masih akan sangat lama aku memakainya kembali.
Musim dingin sudah berakhir dan sekarang aku bisa merasakan suhu yang hangat mulai menjalar ke tubuhku.
Tak ada yang istimewa dari musim semi. Aku bukan tipe penyuka bunga-bungaan. Selama tujuhbelas tahun pun tak ada bedanya. Aku termasuk orang yang sensitive terhadap suhu tinggi. Sedikit saja maka aku akan merasakan panas lebih dari yang orang lain rasakan. Aku tidak tahu itu normal atau tidak?
Rasanya sangat menyebalkan ketika oranglain bisa tidur nyenyak sedangkan aku harus berguling beberapa kali untuk mencari bagian ranjangku yang terasa dingin.
Ah, benar-benar merepotkan.
Kututup lemariku dan mengembuskan napas. Bukan apa-apa, hanya saja gejala kepanasan itu mulai bisa aku rasakan. Kulit kepalaku terasa lembab dan gatal-gatal. Sial!
Gatal sekali, hingga rasanya sepuluh jariku tak cukup untuk menggaruknya. Semakin aku menggaruk, justru semakin gatal yang aku rasa. Tak pernah terasa cukup, hingga akhirnya aku bisa merasakan kepalaku berdenyut-denyut.
Aku berjalan ke depan cermin sambil terus menggaruk-garuk. Apa mungkin ini akibat dari sampo baru itu? Ditambah aku yang tidak tahan panas. Bagus sekali! Kerjasama yang sempurna!
“Mamaa …!”
Kulangkahkan kaki kurusku ke kamar mama. Sepanjang jalan aku memanggilnya seraya terus menggaruk kulit kepalaku yang gatalnya bukan main.
“Astaga, Ester. Ada apa?”
Aku menatapnya nanar. Bisa kurasakan dahiku mengkerut dan bibirku melengkung ke bawah. Hampir saja menangis.
“Mamaaa! Aku tidak bisa menahannya lagi. Ini … gatal yang luar biasa gatal,” rengekku.
Aku mendekatkan kepalaku ke arahnya, mengisyaratkan supaya ia melihat apa yang terjadi di kepalaku.
Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kepalaku diserang hama? Lalu … apa kulit kepalaku memiliki lubang kecil-kecil di setiap sentinya? Di mana lubang itu selalu ramai oleh binatang kecil yang keluar masuk tiap detik. Dan kepalaku adalah lalu lintas paling ramai kala itu.
Oh! Membayangkannya saja membuat aku merinding! Apa mereka binatang semacam ulat sagu? Ahh … Tidaaaaak! Itu tidak boleh terjadi! Kepalaku adalah miliku. Tidak seekor binatang pun berhak tinggal di dalamnya. Kumohon, itu menjijikan!
“ASTAGA!”
Kulihat kaki mama langsung terlonjak begitu ia membuka lembar demi lembar alur belahan rambutku.
“Kenapa, Ma?”
Perlahan kuangkat kepalaku dan kembali melihat wajah mamah yang nampak prihatin.
“Kulit kepalamu … merah sekali, sayang. Kamu pasti menggaruknya berlebihan,” ucapnya, dengan air muka yang amat sangat menyedihkan.
“Oh, syukurlah.” Aku mengembuskan napas lega. Aku kira mama melihat lubang-lubang dan hama di kepalaku.
Ternyata hanya luka kemerahan saja. Ya, setidaknya itu tak separah yang aku pikirkan.
“Apa? syukurlah? Kulit kepalamu terluka! Kita harus segera mengobatinya. Oke… baiklah….” Mama menarik nafas dalam, sepertinya mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Demi Tuhan! Ini hanya luka kemerahan saja dan Mama menyikapinya terlalu berlebihan, seolah-olah kepalaku ini tertimpa bencana paling buruk sedunia.
“Hm, baik ... baiklah … tunggu sebentar. Mama telusuri lagi.”
Dengan segera ia menarik kepalaku lagi dan membuka lembaran itu lebih cepat dari sebelumnya. Entah apa yang ia cari namun sepertinya ia menemukannya dengan cepat pula.
“Waaaa!” pekiknya tiba-tiba. “Kepalamu … ada kutunya!”
Oh …
SIAL!
“JANGAN KHAWATIR, NAK!”
“Apa yang harus aku lakukan? Mamaa!”
Kami berdua mulai panik, ini kejadian yang sangat di luar nalar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tapi tangan mama langsung menyambar laci dan mengocok-ngocok isinya dengan cepat.
“Pakai ini, nak! Pakai ini!” serunya seraya mengacungkan benda itu tinggi-tinggi. Layaknya ilmuan yang baru saja berhasil menemukan penemuan baru. Tapi tunggu. Itu apa? Gunting?
“Aaaa! Mama!”
“Kita harus memotong rambutmu! Memulainya tumbuh dari awal dan menumpas kutu-kutu itu hingga akar!”
“Tapi aku tidak mau botak!”
“Tidak, sayang! Tidak sampai botak!” sambil menyebutkan kata-kata itu, mama menarik tubuhku yang tinggal selangkah lagi meninggalkan kamar.
Apa-apaan ini? Lebih baik aku gatal-gatal daripada harus punya kepala botak! Apa yang akan dikatakan teman-temanku kelak, hm? Aku pasti akan jadi bahan pembicaraan dan bully-an mereka.
Aaaa! Aku tidak mau!
“Sini, diam di sini. Jangan bergerak, nanti gunting ini malah memotong telingamu. Diam di sini, ya.”
Aku memandangnya dengan putus asa. Dia memang mama yang sangat perhatian. Sangat-sangat. Terlalu melindungiku juga. Jadi, aku hanya bisa pasrah dan mewajarkan semua perlakuannya terhadapku. Termasuk kali ini. Aku hanya duduk manis di depan cermin dan membiarkannya memotong rambutku. Helai demi helai rambutku mulai berjatuhan ke lantai. Ah, selamat tinggal rambut coklatku yang panjang!
“Ma.”
“Hm?” gumamnya seraya menggunting rambutku yang bagian belakang. Kulihat bayangannya di cermin, nampak begitu fokus.
“Apa tidak ada cara lain selain memotong rambut?”
Dia berhenti sejenak, matanya mengerling.
“Hm, dulu nenekmu memberikan obat penumpas kutu di rambut anaknya. Bibi Viona adalah yang mendapat porsi paling besar. Hingga lama kelamaan rambutnya rontok. Bibi Viona berpikir mereka akan tumbuh lagi. Namun dugaannya salah. Rambut-rambut itu tidak pernah tumbuh lagi hingga sekarang. Itulah mengapa nenek merubah metodenya. Dan dia mengajarkanku untuk memotong rambut jika kutu datang. Lalu selanjutnya secara manual kutu-kutu itu akan diambil dari rambut-rambut yang pendek. Supaya lebih mudah.”
“Jadi, Mama tidak akan memotong seluruh rambutku, kan?”
“Tentu tidak, sayang. Hanya memotongnya sedikit lebih pendek.”
Mama kembali memotong rambutku. Sementara aku sudah mulai tenang. Setidaknya aku tidak akan mendapatkan ramuan yang membuat rambutku mati seperti rambut Bibi Viona. Yah, aku bisa bernapas lebih lega dan bersyukur.
Kusandarkan punggungku pada kursi meja rias yang empuk ini. Mulai kurasakan mataku berat sekali. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga. Namun aku gagal. Hingga akhirnya aku merasakan kenyamanan super ketika mataku tertutup seutuhnya.
***
Aw! Leherku sakit sekali. Samar-samar aku membuka mata dan menepuk leherku pelan. Aku lihat sekelilingku. Oh, rupanya rambut di lantai itu sudah disapu.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidur dengan posisi duduk seperti ini. Yang jelas, matahari masih bersinar terik di balik jendela, sama seperti waktu mama menggunting helai rambutku yang pertama. Berarti kemungkinan besar aku hanya tertidur beberapa menit saja. Namun sialnya sakit leher ini seolah-olah aku telah menghabiskan seluruh hidupku untuk tidur di kursi ini.
Itu menyebalkan, koboy!
Aku menepuk leherku beberapa kali lagi. menggerak-gerakannya pelan untuk mendapatkan posisi yang rileks.
Ahh … melelahkan sekali.
Aku tegakkan kepalaku dan menatap nanar ke arah cermin.
“MAMAAAAAAAA!”
Siapa lelaki di depan cermin itu? Demi Tuhan! Ini benar-benar mengejutkan.
Aku mulai mengatur napasku yang tersenggal-senggal. Kedua tanganku memegang lengan kursi ini erat-erat. Dan dalam keadaan panik seperti ini, aku menggeleng-gelengkan kepalaku, tak percaya.
Namun, lelaki di cermin juga melalukan hal yang sama.
Jadi … lelaki itu?
AKU?
Kulihat kaki mama langsung terlonjak begitu ia membuka lembar demi lembar alur belahan rambutku.
“Kenapa, Ma?”
Perlahan kuangkat kepalaku dan kembali melihat wajah mamah yang nampak prihatin.
“Kulit kepalamu … merah sekali, sayang. Kamu pasti menggaruknya berlebihan,” ucapnya, dengan air muka yang amat sangat menyedihkan.
“Oh, syukurlah.” Aku mengembuskan napas lega. Aku kira mama melihat lubang-lubang dan hama di kepalaku.
Ternyata hanya luka kemerahan saja. Ya, setidaknya itu tak separah yang aku pikirkan.
“Apa? syukurlah? Kulit kepalamu terluka! Kita harus segera mengobatinya. Oke… baiklah….” Mama menarik nafas dalam, sepertinya mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Demi Tuhan! Ini hanya luka kemerahan saja dan Mama menyikapinya terlalu berlebihan, seolah-olah kepalaku ini tertimpa bencana paling buruk sedunia.
“Hm, baik ... baiklah … tunggu sebentar. Mama telusuri lagi.”
Dengan segera ia menarik kepalaku lagi dan membuka lembaran itu lebih cepat dari sebelumnya. Entah apa yang ia cari namun sepertinya ia menemukannya dengan cepat pula.
“Waaaa!” pekiknya tiba-tiba. “Kepalamu … ada kutunya!”
Oh …
SIAL!
“JANGAN KHAWATIR, NAK!”
“Apa yang harus aku lakukan? Mamaa!”
Kami berdua mulai panik, ini kejadian yang sangat di luar nalar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tapi tangan mama langsung menyambar laci dan mengocok-ngocok isinya dengan cepat.
“Pakai ini, nak! Pakai ini!” serunya seraya mengacungkan benda itu tinggi-tinggi. Layaknya ilmuan yang baru saja berhasil menemukan penemuan baru. Tapi tunggu. Itu apa? Gunting?
“Aaaa! Mama!”
“Kita harus memotong rambutmu! Memulainya tumbuh dari awal dan menumpas kutu-kutu itu hingga akar!”
“Tapi aku tidak mau botak!”
“Tidak, sayang! Tidak sampai botak!” sambil menyebutkan kata-kata itu, mama menarik tubuhku yang tinggal selangkah lagi meninggalkan kamar.
Apa-apaan ini? Lebih baik aku gatal-gatal daripada harus punya kepala botak! Apa yang akan dikatakan teman-temanku kelak, hm? Aku pasti akan jadi bahan pembicaraan dan bully-an mereka.
Aaaa! Aku tidak mau!
“Sini, diam di sini. Jangan bergerak, nanti gunting ini malah memotong telingamu. Diam di sini, ya.”
Aku memandangnya dengan putus asa. Dia memang mama yang sangat perhatian. Sangat-sangat. Terlalu melindungiku juga. Jadi, aku hanya bisa pasrah dan mewajarkan semua perlakuannya terhadapku. Termasuk kali ini. Aku hanya duduk manis di depan cermin dan membiarkannya memotong rambutku. Helai demi helai rambutku mulai berjatuhan ke lantai. Ah, selamat tinggal rambut coklatku yang panjang!
“Ma.”
“Hm?” gumamnya seraya menggunting rambutku yang bagian belakang. Kulihat bayangannya di cermin, nampak begitu fokus.
“Apa tidak ada cara lain selain memotong rambut?”
Dia berhenti sejenak, matanya mengerling.
“Hm, dulu nenekmu memberikan obat penumpas kutu di rambut anaknya. Bibi Viona adalah yang mendapat porsi paling besar. Hingga lama kelamaan rambutnya rontok. Bibi Viona berpikir mereka akan tumbuh lagi. Namun dugaannya salah. Rambut-rambut itu tidak pernah tumbuh lagi hingga sekarang. Itulah mengapa nenek merubah metodenya. Dan dia mengajarkanku untuk memotong rambut jika kutu datang. Lalu selanjutnya secara manual kutu-kutu itu akan diambil dari rambut-rambut yang pendek. Supaya lebih mudah.”
“Jadi, Mama tidak akan memotong seluruh rambutku, kan?”
“Tentu tidak, sayang. Hanya memotongnya sedikit lebih pendek.”
Mama kembali memotong rambutku. Sementara aku sudah mulai tenang. Setidaknya aku tidak akan mendapatkan ramuan yang membuat rambutku mati seperti rambut Bibi Viona. Yah, aku bisa bernapas lebih lega dan bersyukur.
Kusandarkan punggungku pada kursi meja rias yang empuk ini. Mulai kurasakan mataku berat sekali. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga. Namun aku gagal. Hingga akhirnya aku merasakan kenyamanan super ketika mataku tertutup seutuhnya.
***
Aw! Leherku sakit sekali. Samar-samar aku membuka mata dan menepuk leherku pelan. Aku lihat sekelilingku. Oh, rupanya rambut di lantai itu sudah disapu.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidur dengan posisi duduk seperti ini. Yang jelas, matahari masih bersinar terik di balik jendela, sama seperti waktu mama menggunting helai rambutku yang pertama. Berarti kemungkinan besar aku hanya tertidur beberapa menit saja. Namun sialnya sakit leher ini seolah-olah aku telah menghabiskan seluruh hidupku untuk tidur di kursi ini.
Itu menyebalkan, koboy!
Aku menepuk leherku beberapa kali lagi. menggerak-gerakannya pelan untuk mendapatkan posisi yang rileks.
Ahh … melelahkan sekali.
Aku tegakkan kepalaku dan menatap nanar ke arah cermin.
“MAMAAAAAAAA!”
Siapa lelaki di depan cermin itu? Demi Tuhan! Ini benar-benar mengejutkan.
Aku mulai mengatur napasku yang tersenggal-senggal. Kedua tanganku memegang lengan kursi ini erat-erat. Dan dalam keadaan panik seperti ini, aku menggeleng-gelengkan kepalaku, tak percaya.
Namun, lelaki di cermin juga melalukan hal yang sama.
Jadi … lelaki itu?
AKU?
“Aaaaaa MAMA! Katanya hanya memotong sedikit! Tapi … ini …? AAAAAA.”
***
Hari-hari selanjutnya mama habiskan dengan mencari kutu di kepalaku. Dia telah berhasil menangkap banyak. Dia tidak menyebutkan berapa, namun aku pikir itu lebih dari sepuluh.
Aku mengembuskan napas panjang. Duduk di ranjangku dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti di sekolah.
Mereka … mungkin akan memandangku dari ujung kaki hingga kepala. Menjadi pusat perhatian sepertinya adalah kenyataan yang harus aku terima kali ini.
Aaaargh! Rasanya aku ingin berteriak! Lalu bagaimana dengan nasib kisah cintaku? Apakah ada lelaki yang mau mendekatiku kalau ternyata aku sendiri lebih tampan dari mereka? Ya Tuhan ….
Aku meraih ponsel yang tergeletak di sisi bantal. Menekan tombol angka tujuh agak lama untuk menyambungkanku pada Debby.
“Halo? Debby!” Aku mengapit ponselku di antara bahu dan telinga selagi dua tanganku sibuk membuka lemari dan menyibak-nyibakan pakaian yang tergantung di sana.
“Ester? Ada apa?”
Setelah mengambil beberapa gantung baju, aku pun melangkah ke depan cermin untuk menimbang-nimbang mana baju yang cocok untukku.
“Mama memotong rambutku. Dan kautahu? Ini pendek sekali!”
Aku memperhatikan keseluruhan tubuhku dan kecocokannya dengan pakaian. Namun yang aku lihat adalah seorang lelaki dengan pakaian wanita.
Astaga … benar-benar tak bisa dipercaya.
“Pendek? Itu keren.”
Aku membanting tubuhku ke ranjang dan menatap langit-langit dengan putus asa.
“Keren? Ahh, Debby! Ini tidak sekeren yang kamu pikir. Ya Tuhan, aku tidak tahu harus melakukan apalagi? Aku … benar-benar hilang selera.”
“Memangnya seburuk apa, sih? jangan khawatir. Lagipula aku akan memotong rambutku juga.”
“Eh, untuk apa?”
“Rambutku sudah rusak parah. Ya … aku ingin mulai menumbuhkannya lebih sehat lagi dari awal. Tidak sampai botak, namun kukira ini akan jadi awal yang baru untuk kecantikanku. Kecantikan kita. Iya, kan?”
“Kamu benar.”
“Jangan khawatir untuk besok. Kamu bukan satu-satunya orang yang punya rambut pendek di sekolah. Karena aku akan menemanimu. Kita bisa melewati ini bersama-sama, oke? Ini tidak akan berlangsung lama, hanya sampai rambut kita kembali panjang maka semuanya akan berlangsung seperti semula.”
Aku menarik napas dalam, mendekatkan wajahku ke ponsel, “Terimakasih, Debby. Kita bisa melewati ini.”
***
Sudah lima menit aku menunggu Debby di depan gerbang sekolah. Entah sudah berapa siswa yang melihatku dengan tatapan penasaran. Ya, mungkin mereka bertanya-tanya dari mana bencong ini datang?
Aku terus menggenggam tali bahu ranselku dengan erat dan berharap Debby segera datang.
Aku melihat sosok yang aku kenal ketika aku mengedarkan pandangan. Itu Nadine, temanku dari kelas yang lain. Kami saling melempar senyum dan aku bisa merasakan bahwa ia memandangku sebagai wanita aneh kali ini. Apa dia ketakutan, hm?
“Ester!” aku berbalik dan melihat tangan Debby yang baru saja menepuk pundakku.
“Debby, akhirnyaa!”
Kami berjalan melewati gerbang bersama-sama. Aku cukup kaget ketika melihat rambut Debby yang tidak kalah pendeknya denganku. Ternyata apa yang ia katakan di telepon tadi malam adalah kenyataan. Dia benar-benar menemaniku berambut pendek di sekolah ini.
“Jangan pedulikan mereka,” bisiknya, seolah-olah mengerti bahwa aku merasa tidak nyaman dipandang banyak orang seperti itu. Seperti aku baru saja membunuh kepala sekolah!
“Tapi mereka memandangi kita,” ujarku, hanya bisa menunduk, memperhatikan langkah sepatuku sendiri.
“Aku tau itu.”
Dan ketika aku menegakkan leherku, aku dihadapkan pada kenyataan yang sulit. Dua koridor yang akan kami lewati sama-sama tak memberikan pilihan yang lebih baik. Mereka sama-sama disesaki oleh siswa.
Sungguh … kalau tak ada yang melihat, aku ingin sekali mengusap mukaku dengan frustasi. Tapi dengan kondisi seperti ini, rasanya satu gerakan kecil pun akan mereka perhatikan dengan detail.
Padahal aku ingin sekali berdecak lalu berlari sekencang yang aku bisa. Namun itu sangatlah …
mustahil.
“Jadi, kita pilih yang mana? Kiri atau kanan?” tanyaku seraya menunjuk dua lorong itu.
“Ahhh! Sama saja!” Debby mengibaskan tangannya.
Pada saat itu dia berjalan di depanku. Sama seperti apa yang sering kami lakukan. Aku selalu jadi pengikut dan dia adalah pemimpin untuk urusan berjalan. Dia selalu berada di depanku. Dan aku layaknya seekor anak ayam yang hanya tinggal mengikuti langkahnya saja tanpa perlu membelah keramaian seperti yang ia lakukan.
Nyatanya aku ini seorang pejalan kaki yang lambat.
Namun, kali ini Debby memintaku untuk jalan di sampingnya. Menghadapi tatapan yang membolongi punggung kami bersama-sama.
Dia menarik tanganku dan memegangnya seperti ibu yang sedang menuntun anaknya. Seperti yang ia lakukan dulu ketika menuntunku menyebrang jalan.
Aku melihat orang-orang yang menyingkir begitu kami melintas. Mereka dan mata yang menatap aneh.
Aku tidak benar-benar tahu. Aku tidak bisa membaca apa yang mereka pikirkan tentang kami. Tapi dari cara mereka menatap, aku yakin itu bukan sesuatu yang bagus.
Kami masih berjalan beriringan. Mencoba menegakkan leher dan menghiraukan mereka. Meskipun aku tahu itu sulit namun Debby mengajarkan aku untuk tidak begitu mempedulikannya.
Ya Tuhan. Ini … buruk sekali … jantungku berdenyut nyeri. Ujung koridor terasa bertambah panjangnya ketika aku melihatnya dari sini.
Aku mulai mengatur napasku dan mencoba melihat sekeliling. Aku ingin tahu manusia macam apa yang memandangi kami dengan tatapan aneh. Tapi aku terlalu takut. Aku benci keramaian. Aku tidak bisa memandang mereka lama-lama. Aku tahu benar bagaimana mataku ini terlihat. Nampak seperti orang yang sedang mendelik penuh amarah, bahkan di saat aku tidak sedang marah. Aku jadi ingin minta maaf pada semua orang yang telah mendapat tatapanku yang semacam itu. Sungguh, itu bukan maksudku. Aku memang punya tatapan yang seperti ini.
Lalu sekarang apalagi?
“Sebentar lagi kita sampai. Jangan khawatir.”
“Jadi, kita pilih yang mana? Kiri atau kanan?” tanyaku seraya menunjuk dua lorong itu.
“Ahhh! Sama saja!” Debby mengibaskan tangannya.
Pada saat itu dia berjalan di depanku. Sama seperti apa yang sering kami lakukan. Aku selalu jadi pengikut dan dia adalah pemimpin untuk urusan berjalan. Dia selalu berada di depanku. Dan aku layaknya seekor anak ayam yang hanya tinggal mengikuti langkahnya saja tanpa perlu membelah keramaian seperti yang ia lakukan.
Nyatanya aku ini seorang pejalan kaki yang lambat.
Namun, kali ini Debby memintaku untuk jalan di sampingnya. Menghadapi tatapan yang membolongi punggung kami bersama-sama.
Dia menarik tanganku dan memegangnya seperti ibu yang sedang menuntun anaknya. Seperti yang ia lakukan dulu ketika menuntunku menyebrang jalan.
Aku melihat orang-orang yang menyingkir begitu kami melintas. Mereka dan mata yang menatap aneh.
Aku tidak benar-benar tahu. Aku tidak bisa membaca apa yang mereka pikirkan tentang kami. Tapi dari cara mereka menatap, aku yakin itu bukan sesuatu yang bagus.
Kami masih berjalan beriringan. Mencoba menegakkan leher dan menghiraukan mereka. Meskipun aku tahu itu sulit namun Debby mengajarkan aku untuk tidak begitu mempedulikannya.
Ya Tuhan. Ini … buruk sekali … jantungku berdenyut nyeri. Ujung koridor terasa bertambah panjangnya ketika aku melihatnya dari sini.
Aku mulai mengatur napasku dan mencoba melihat sekeliling. Aku ingin tahu manusia macam apa yang memandangi kami dengan tatapan aneh. Tapi aku terlalu takut. Aku benci keramaian. Aku tidak bisa memandang mereka lama-lama. Aku tahu benar bagaimana mataku ini terlihat. Nampak seperti orang yang sedang mendelik penuh amarah, bahkan di saat aku tidak sedang marah. Aku jadi ingin minta maaf pada semua orang yang telah mendapat tatapanku yang semacam itu. Sungguh, itu bukan maksudku. Aku memang punya tatapan yang seperti ini.
Lalu sekarang apalagi?
“Sebentar lagi kita sampai. Jangan khawatir.”
***
Dia adalah wanita pemberontak, dominan dan suka sekali berbicara. Sementara aku, cenderung pasif, lebih suka mengikuti daripada memimpin, dan merupakan pendengar meskipun aku tidak tahu apa yang harus aku katakan setelah mendengar?
Ya, seperti itulah kira-kira. Sangat bertolak belakang.
Hari demi hari telah aku lalui. Aku tidak tahu apa yang salah dari semua ini jika saja pada hari itu Debby tidak meneleponku.
“Ester?”
“Ya? Debby? Ada apa? Suaramu … seperti sedang menangis?”
Malam itu aku sedang berbaring di ranjang setelah berhasil menyalakan kipas angin putar di meja belajarku. Sambil menikmati angin yang bertiup, aku sesekali menggaruk kepalaku.
“Kalau kamu mau menjauhiku, jauhilah. Tidak apa.”
“Debby? Kenapa?”
“Gara-gara aku, image kamu jadi buruk di mata orang-orang di sekolah. Mereka … anggap kita nggak normal,” ujar Debby, masih dengan nada yang betul-betul menyedihkan.
Tidak normal?
Tapi kenapa? Kenapa mesti aku dan Debby?
Astaga … aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi? Bukan! Sebenarnya mereka yang tidak tahu apa yang terjadi!
Dengan angin yang menerpa wajahku dari samping, aku masih terus mematung. Memandangi langit-langit berwarna putih gading itu dan lampu yang berada di tengahnya.
“Mereka bilang apa?”
“Nanti kamu sakit hati kalau kamu tau.”
“Aku harus tau. Kamu sendiri yang bilang kalau kita nggak boleh mendengar apa yang ingin kita dengar saja. Iya, kan?”
Samar-samar aku mendengar ia menarik nafas,”Baiklah,” dia berkata. “mereka bilang: jangan berteman dengan Debby. Debby itu … lesbi,” ucapnya semakin bergetar di akhir kalimat.
Bisa kudengar isakan dan beberapa kali ia menghirup ingusnya.
Kenyataan ini benar-benar menamparku. Aku memang bukan orang yang benar-benar baik dan patuh pada aturan. Tapi, aku kenal siapa aku. Aku tahu siapa diriku. Dan aku yakin sepenuhnya bahwa aku bukanlah wanita dengan orientasi seksual yang menyimpang. Aku masih bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk untuk diriku.
Mereka tidak tahu apa yang aku dan Debby lewati. Percakapan-percakapan tentang rencana kami yang akan menyambut suami di depan pintu dengan bikini. Lalu anak-anak lucu yang sudah kita persiapkan namanya sejak kini.
Mereka hanya melihat apa yang mereka lihat. Apa yang nampak di luar. Meskipun aku sendiri tidak begitu yakin tentang apa yang nampak. Pertemanan kami sama seperti pertemanan yang lain. Kami tidak pernah melakukan hal-hal yang lebih dari itu. Tapi … mengapa mereka tetap memandang kami seolah-olah kami melakukan hal yang menyeramkan?
Apa ini semua gara-gara … rambut?
“Hal yang tidak bisa aku terima: mereka melarang orang-orang untuk berteman
denganku. Aku ini bukan penyakit yang harus dihindari. Bukan ... bukan seperti
itu,” isaknya lagi. “kalau kamu mau menghindar. Menghindarlah.”
“Enggak.”
Mereka sudah membuat Debby menangis. Membuat aku merasakan hal yang sama juga. Sama-sama sakit.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dirasakan orangtuaku … mereka akan menjadi orang paling sedih jika mendengar kata-kata itu.
“Dari dulu memang tidak ada yang suka kita berteman. Aku hanya membuatmu semakin kesulitan. Semua teman-temanmu tidak suka aku dekat denganmu.”
Aku terpekur mendengar kata-katanya. Dari dulu memang tidak ada yang suka kita berteman ….
Ya Tuhan …
“Debby orang yang baik. Aku mau jadi teman Debby.”
Aku tidak pernah menyangka … bahwa berteman dengannya bisa sesulit ini.
“Tidak ada orang yang bisa mencegah itu. Aku ingin menemani Debby. Kita tidak akan pernah putus karena kita bukan pacar. Kita teman, dan … selamanya akan begitu.” Aku menghirup ingusku. Air mata yang menggenang di pelupuk mata telah meluncur .
“Selama kamu tetap Ester, aku sudah merasa senang. Aku mau kamu tetap Ester. Tetap jadi Ester yang aku kenal.”
“Aku dari dulu seperti ini. Tidak akan ada yang berubah.”
Iya … tidak akan ada yang berubah ….
“Enggak.”
Mereka sudah membuat Debby menangis. Membuat aku merasakan hal yang sama juga. Sama-sama sakit.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dirasakan orangtuaku … mereka akan menjadi orang paling sedih jika mendengar kata-kata itu.
“Dari dulu memang tidak ada yang suka kita berteman. Aku hanya membuatmu semakin kesulitan. Semua teman-temanmu tidak suka aku dekat denganmu.”
Aku terpekur mendengar kata-katanya. Dari dulu memang tidak ada yang suka kita berteman ….
Ya Tuhan …
“Debby orang yang baik. Aku mau jadi teman Debby.”
Aku tidak pernah menyangka … bahwa berteman dengannya bisa sesulit ini.
“Tidak ada orang yang bisa mencegah itu. Aku ingin menemani Debby. Kita tidak akan pernah putus karena kita bukan pacar. Kita teman, dan … selamanya akan begitu.” Aku menghirup ingusku. Air mata yang menggenang di pelupuk mata telah meluncur .
“Selama kamu tetap Ester, aku sudah merasa senang. Aku mau kamu tetap Ester. Tetap jadi Ester yang aku kenal.”
“Aku dari dulu seperti ini. Tidak akan ada yang berubah.”
Iya … tidak akan ada yang berubah ….
***
Malam itu adalah malam yang panas. Aku duduk di meja belajar dan menghidupkan kipas angin kecil yang kepalanya terus berputar-putar. Dengan pita kecil yang aku ikatkan di depannya yang terus berkibar.
Ahh. Ini sudah pukul sebelas malam. Berguling-guling di kasur telah aku lakukan berulang-ulang dan aku tidak juga mendapat bagian yang dingin. Aku sudah bilang ini memang merepotkan.
Aku mendekatkan wajahku ke kipas angin dengan mata yang terpejam.
Apa ini semua adalah hal yang salah? Apakah salah jika seorang sepertiku berteman dengan Debby?
“Kenapa kamu jadi seperti ini? Ini menyeramkan.”
Aku tidak mengerti, apa yang mereka maksud dengan ‘berubah’? Apa yang berubah dariku?
Berulangkali aku memaksa mereka untuk menjelaskan apa yang berubah? Namun mereka tidak pernah bisa memberikan alasan yang membuatku tergerak. Karena aku adalah aku. Aku tahu siapa diriku. Dan apa yang ada di dalam hatiku sama sekali tidak berubah. Aku … tetap seperti ini.
“Ayo kembali jadi Ester yang dulu!”
Aku benar-benar tidak mengerti.
Ester yang dulu? Yang mana? Lagi pula aku tahu Debby tidak seperti itu. Dia punya kekasih, namanya Tony, seorang lelaki pirang bermata biru yang sangat ia cintai. Apa itu tidak cukup membuktikan?
Begitu banyak hal-hal yang berlarian di kepalaku. Aku bingung. Tidak tahu harus seperti apa. Tapi, aku tidak bisa diam saja. Ini sudah menyinggung harga diriku.
“Ester? Di rumahku ada soup. Kalau kamu mau, aku akan membawanya besok ke sekolah,”kata Debby, di telepon.
Dia … adalah satu-satunya teman yang pernah melakukan hal itu. Di rumahku ada soup … lalu dengan polosnya dia menawariku.
Seumur hidup … aku tidak pernah menawari makanan yang ada di rumahku untuk dibawa ke sekolah. Tapi dia melakukannya.
“Ini Cuma soup. Selagi kita masih hidup, kita harus saling membantu.”
“Besok aku bawa soupnya, ya?
Ini adalah musim semi minggu ke tiga di bulan Mei. Aku dan Debby duduk bersebrangan. Seperti janjinya, dia membawa soup itu ke sekolah. Aku hanya bisa meliriknya tanpa mengatakan sesuatu apapun.
Entah datang dari mana manusia-manusia ini. Hingga kelasku terasa begitu penuh.
“Ester? Ini soupnya, kamu mau?”
Aku menoleh. Melihat wajah Debby dengan senyum merekah.
Beberapa detik aku mematung. Dan dia tetap tersenyum seolah-olah tak ada sesuatu yang salah dari semua ini. senyumnya mengembang dan matanya ikut tersenyum, seperti bunga-bunga yang mekar di musim semi.
Ya Tuhan, aku jadi merasa bersalah.
“Ester?”
Lihat, dia kembali bertanya … menawariku ….
Aku melihat sekitar secara sekilas. Orang-orang itu … terus memandangiku dan Debby.
Kembali aku mengarahkan pandangan ke arahnya. Dia mengacungkan sendoknya dan kini menatapku dengan wajah yang menyelidik, “ Ester? Kamu mau?”
Aku menggeleng pelan lalu kembali menghadapkan wajahku ke depan. Melipat tangan di atas meja dan menarik napas keras-keras. Aku harap mereka tak lagi memperhatikanku dan Debby, kerena jika iya … entah anggapan macam apalagi yang akan hinggap di pikiran mereka. Pikiran yang sempit itu.
“Ester? Kamu yakin nggak mau soup ini?”
Aku telak melihat ke kiri , ke arah di mana meja Debby berada.
“Sudah kubilang, aku nggak mau! Debby!”
Napasku menderu, tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Entah mengapa. Seolah-olah aku baru saja berlari dengan sangat kencang. Apa mungkin ini adalah wujud dari emosi yang menggunduk dan baru tertumpahkan? Aku tidak yakin.
Kedua mataku menangkap senyuman itu mulai memudar dari bibirnya. Sendok yang tadi hendak ia sodorkan pun kembali ia terik perlahan.
“Tidak apa-apa.” Debby mulai menarik mejanya mendekati dada. Seperti yang adikku lakukan kalau ia tidak mau makananya berceceran.
Dan … dengan sendok itu dia mulai melahap soupnya … sendirian.
“Kalau Ester tidak mau … tidak apa-apa. Aku bisa memakannya sendirian.”
“Padahal aku sudah membawa dua sendok. Untukku dan Ester.”
Aku kembali melihatnya melahap soup itu. Satu sendok yang ia genggam terlanjur basah oleh soup dan satu sendok yang lain masih benar-benar bersih, tak tersentuh.
Sendok di samping kotak makanannya …
Itu sendok untukku ….
Derap kaki beberapa orang bisa aku dengar mendekati meja Debby. Sayup-sayup terjadi percakapan antara Debby dan lelaki yang mengerubungi mejanya.
“Itu … kamu bawa dua sendok? Ayolaah beri kami. Kami kelaparan.”
“Hahaha. Tapi ini sendok untuk Ester.”
Sendok itu seharusnya aku genggam saat ini. lalu duduk di sampingnya dan melahap soup bersama-sama, karena aku pernah berjanji … aku ingin menemani Debby.
Dua sendok. Sendokku dan sendok Debby.
***
To Be Continue ...
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan