Sunday, December 22, 2013

MADRASAH ALIYAH [SHORT STORY]



Jika titik terendah dalam hidup itu benar-benar ada, mungkin sekarang aku sedang menjalaninya.

Sekarang, rasanya seperti dibawa berombang-ambing oleh alas yang aku jadikan tempat berbaring. Hingga akhirnya, tubuhku seakan dihisapnya. Jauh ... hingga aku merasa lebih rendah dari bumi sekalipun.


***




Aku merasa jadi orang yang paling dicurangi oleh dunia. Tiga tahun belajar di SMP rupanya tidak cukup. Semua prestasi, nilai yang nyaris sempurna dan peringkat satu yang aku tempati—tak sanggup membawaku ke jenjang yang lebih bagus. Meskipun aku tahu bagus atau tidak, tergantung perspektif kita. Tapi, menurutku ini sekolah yang tidak bagus!


Aku tidak pernah berpikir akan masuk ke sekolah ini. Sekolah yang dari luar tampak seperti penjara. Aku membayangkan siswa-siswa depresi berada di dalamnya. Mereka penuh tekanan, beban, karena pelajaran-pelajaran asing yang tak aku temui di SMP.

“Ngelanjutin kemana, Nai?”

Aku terpekur. Memandangi tangan Bu Ida yang sedang sibuk membuka lembar demi lembar ijazah yang menumpuk di mejanya. Sial, semua orang di sekolah menengah pertama ini pasti akan menanyakan hal itu. Seharusnya aku tidak perlu mengambil ijazah sendiri. Mungkin lebih baik aku meminta kakakku untuk mengambilnya. Kalau sudah seperti ini, aku bisa apa?

Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kenapa ijazahku tidak juga ditemukan oleh tangannya? Ini membuat aku terjebak semakin lama. Tapi, kalau pun ijazahku ditemukan dengan cepat, sudah pasti ia akan menanyakan hal yang sama, “Ngelanjutin kemana, Nai?” Ya! Seperti yang oranglain lakukan!

Tangannya berhenti bergerak. Dikesampingkannya ijazah yang ia temukan, di situ tertulis namaku. Naira Latifah. Berpisah dengan tumpukan yang lain, ke bagian meja yang bebas dari kertas atau pun taplak meja.

“Ini, ijazah punyamu.”

Bu ida lalu menumpukan sikunya di atas meja. Dengan tangan yang ditangkupkan dan dijadikan sandaran untuk dagunya yang sebelah kiri. Kepalanya miring, menyelidik.

“Nai? Ngelanjutin kemana?”

Matanya menatap ke arahku. Masih saja penuh selidik.

“Madrasah Aliyah, Bu.”

Ekspresi wajahnya berubah seketika. Seperti mengasihaniku, mungkin. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu. Tapi, setidaknya aku yakin bahwa aku adalah bahan pembicaraan di ruang guru akhir-akhir ini—mungkin dengan ekspresi penuh belas kasihan dan tidak menyangka. Hatiku seolah-olah terus berteriak, “Ya! Akulah si anak pintar yang selalu menyabet peringkat satu itu! Yang dengan malangnya harus menerima kenyataan bahwa nilai UN-ku di bawah rata-rata! Akulah siswa malang itu!”

Bu Ida menurunkan sikunya. Pandangannya tak lagi menyelidik. Bisa kulihat dia mengembuskan nafas pelan. Mengalihkan pandangan ke arah meja kerjanya.

“Semua sekolah itu sama, kok.”

Dengan mudahnya dia berkata seperti itu. Tanpa melihat ke arahku pula. Dia hanya mulai membereskan beberapa berkas yang berserakan di mejanya. Aku yang berdiri di samping hanya bisa tersenyum ketir. Mereka hanya bisa bertanya. Entah itu penasaran atau karena benar-benar peduli. Yang jelas, mereka tidak bisa membantuku sama sekali. Tidak!

“Emas di manapun akan tetap menjadi emas. Percaya itu, Nai.”

Dirapihkannya kertas-kertas—menyamakan panjangnnya dengan menghentak-hentakannya ke meja. Dia melirik lagi.

“Percaya ibu,” katanya, penuh keyakinan.

Matahari langsung menyorot wajahku ketika aku keluar dari ruang guru. Siswa-siswi mulai berdatangan. Kebanyakan dari mereka duduk di sisi lapangan. Berkelompok dan nampak bahagia. Itu membuat aku sakit, malu dan benar-benar merasa dipecundangi. Berada di antara mereka, rasanya seperti: “Hey! Itu si pintar yang punya nilai UN paling kecil!” dan aku seperti si kerdil yang berada di antara ketinggian gedung-gedung kota. Tersesat, kepala bergerak ke segala arah penuh kecanggungan. Melihat sekeliling layaknya gerakan orang yang ketakutan. Seketika mereka semua nampak kejam di mataku.

Sani, orang yang selalu menyontek pekerjaan rumahku bahkan bisa mendapatkan nilai yang tinggi. Juga Desi, dia siswi paling populer seantero sekolah. Orang-orang mengenalnya sebagai boneka. Dia cantik tapi dia tidak punya otak! Jangan tanya berapa nilai UN-nya. Nyaris sempurna! Entah keberuntungan macam apa yang tengah menimpanya. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu! Aku cuma ingin mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan. Nilai tinggi itu seharusnya milikku! Bukan mereka!

Rasanya seperti disambar petir waktu Mama pulang dari sekolahku selesai mengambil nilai UN. Aku menyambutnya dengan semarak di balik pintu. Dia juga tersenyum. Membuka sepatunya dan mulai berkata dengan santai, “Nilainya kecil.”

Tanganku kebas. Kata-kata hilang dari bibirku. Aku mematung tidak percaya. Pada awalnya aku tidak bisa merasakan apa-apa. Aku tidak tahu harus sedih atau bagaimana. Seolah mati rasa.

Hingga akhirnya aku menemukan diriku menangis begitu mudah. Patah hati melebihi cinta bertepuk sebelah tangan yang selalu aku rasakan. Yang ini terasa seolah-olah seluruh dunia mempermainkanku. Aku dipecundangi.

Mama berkata beberapa kali bahwa semuanya baik-baik saja. Tak masalah baginya kalau aku harus mendapatkan nilai kecil. Sungguh, dia tak apa. Tapi, bagaimana denganku? Apakah mudah untuk menerima kenyataan ini? Beban yang sungguh berat ada di atas kepalaku. Seiring dengan pertanyaan yang mengakar di dalamnya. Kenapa harus aku, sih?

 “Sesuatu yang didapat secara mudah, akan pergi secara mudah juga, sayang. Tidak perlu khawatir. Itu hukumnya.”

Itu kata-kata yang selalu Mama ucapkan. Yang paling bisa membuat aku merasa lebih tenang untuk beberapa saat. Lalu menangis lagi mengingat kenyataan.

Mama, mereka menyurangiku.
***
Aku menangis keras waktu Mama memberiku saran untuk melanjutkan ke madrasah saja. Setidaknya itu satu-satunya sekolah negeri yang mau menerima aku. Si siswi buangan yang tidak diterima di sekolah manapun.

“Aku nggak mau! Di sana ada pelajaran Bahasa Arab! Aku nggak bisa, Ma!”

“Iya, kan nanti belajar di sana.”

Kami berdua duduk di tepi ranjang. Aku dengan air mata yang terurai dan Mama dengan pembawaannya yang tenang. Aku menggeleng keras dan tegas. Tapi, akhirnya toh aku sekolah di sini juga.
***
Aku melewati hari dengan penuh rasa penasaran dan takut. Apa yang akan terjadi minggu depan, ya? Apakah aku akan disuruh menuliskan ayat di papan tulis tanpa melihat Al-Qur’an? Lalu, apalagi?

Aku khawatir. Aku bukanlah orang yang agamis. Tapi, aku masuk sekolah yang seperti ini. Pergi paling pagi lalu pulang paling sore. Ada rasa penyesalan di pagi hari. Ketika aku mendapati diriku berada di tengah-tengah mereka. Baju yang panjang, kerudung yang menjuntai, meja dan kursi kayu, lapangan dan suasana pagi yang menertawakanku. Aku hanya ingin satu: pulang!

“Kamu nggak sendirian kok. Semua orang di sekolah ini pasti ngerasain itu.”

Aku melirik ke arahnya. Prili Prisilia, teman sebangkuku itu sedang sibuk merapikan buku ke tasnya.

“Jadi, kamu mau pindah?” tanyanya.

“Aku nggak tau. Aku bingung.”

Seharusnya aku bisa bertahan. Ini baru beberapa minggu. Teman satu kelasku bahkan belum aku kenal seluruhnya. Namun, satu hal yang membuatku enggan sekolah di sini: Guru-gurunya. Sementara aku tahu benar bagaimana aku. Aku bukan orang yang agamis, sudah aku bilang.

“Kamu pasti bisa ngelewatin ini semua. Hadapi saja, ya? Jangan kabur,” candanya sambil terkekeh.

Kami pulang bersama. Jalan kaki dengan latar langit berwarna oranye. Berjalan hati-hati di sisi jalan penuh debu dan kendaraan yang melesat. Terkadang aku harus berjalan di depannya. Terkadang pula kami bisa berjalan beriringan.

“Besok hari jum’at ya?” tanyaku.

Prili hanya bergumam sambil mengangguk.

“Ahh!”

Baru aku ingat! Besok ada pelajaran Pak Haris. Pelajaran yang paling aku takuti. Namun harus aku jalani sebelum menikmati libur di hari sabtu dan minggu. Seakan-akan itu adalah tiket menuju kebebasan. Harga yang harus aku bayar sebelum memasuki hari yang paling indah sedunia: sabtu dan minggu.

Pak haris adalah guru Qur’an Hadist. Umurnya sudah tua sekali. Entah berapa tahun. Aku tidak berani menanyakannya. Tapi, itu terlihat jelas dari caranya berjalan dan uban-uban yang muncul di kepalanya. Aku heran, kenapa dia harus tetap mengajar? Seharusnya di diam saja di rumah dan menikmati masa tuanya! Tak perlu repot-repot bekerja seperti ini. Masalahnya, dia itu galak! Kalau dia tidak galak sih tidak masalah.

Aku mengusap wajahku dengan frustasi. Pak haris! Kita bertemu lagi, pak!

“Kenapa? Itu guru kesukaan kamu, kan?” goda Prili seraya mengerling ke arahku.

“Ahh! Iya, kesukaan aku banget!”

Prili tahu benar bagaimana perasaanku. Kami sebenarnya sama. Sama-sama tak suka pada guru ini. Tapi, beruntung, Prili lebih bisa mengatur kepanikannya. Dia terkesan santai, kurasa.

“Besok kita dites hafalan ayat. Ada lima ayat yang harus kita hafalin. Jangan lupa, ya!”

Aku kembali tercengang! Astagfirullah! Lima ayat dan aku belum menghafalkannya sama sekali.

“Lima ayat yang lumayan … panjang,” Prili menambahkan, seolah bisa membaca mimik wajahku.

“Mungkin dia lupa, ya, Pril! Dia lupa kalau tugas bukan cuma pelajaran dia doang!”

“Hus! Jangan ngomong gitu, ah! Hadapi saja, jangan dipersulit.”

Lalu kami berjalan menyusuri jalan setapak. Melewati hamparan tanaman liar di kiri dan kanan kami. Cahaya sore membuatnya berkilauan. Suasana yang tak asing bagiku. Waktu angin sore menggelitik ujung kerudungku. Langit merendahkan warnanya dan berangsur-angsur gelap. Pada saat itu, ada satu pertanyaan menggerayangi otakku. Bisakah besok aku melihat ini semua dan berhasil melewati hari yang terasa lambat di sekolah?

“Ini cuma sekolah, kok. Nggak lebih. Kejamnya masyarakat belum ada apa-apanya dibanding ini semua.”

Prili merangsek menyamakan langkahnya di sampingku. Tangannya menggandengku sambil berbisik seperti tadi.

Aku melihat ke samping. Dia tersenyum, tanpa beban. Langit dan hamparan tumbuhan liar yang tinggi itu menjadi latarnya. Membuatnya nampak seperti siluet.

Aku tersenyum. Menyadari bahwa aku memiliki teman yang begitu baik di tempat seperti ini.
Kami melanjutkan langkah kami dengan pelan. Sesuai dengan sisa tenaga yang kami punya.

Besok, semoga aku masih bisa melewati jalan ini lagi.
***
Pak Haris. Seorang guru yang membuatku penasaran. Tentang caranya bersandar di dinding masjid sambil memejamkan mata. Kepala dan badannya yang tambun, ia bebankan pada dinding itu. Uban tersembunyi di balik kopeahnya yang sederhana. Dia hanya memejamkan mata. Sempat membuatku ragu apakah dia benar-benar mendengarkan talaran para muridnya. Namun keraguanku segera terjawab, begitu aku melihat dia berkata sesuatu—masih dengan mata yang terpejam—membenarkan murid yang salah melafadzkan ayat.

Sulit ditebak. Dia bisa begitu santai seperti itu, namun tiba-tiba berubah menjadi guru yang tegas. Meskipun aku lebih suka memanggilnya galak!

Aku pernah melihat dia pulang naik motor yang seperti hampir runtuh karena badannya yang berisi. Mungkin juga karena motor itu terlalu tua dan rapuh. Dengan wajah yang sumringah dia mengendarainya. Sangat berbeda dengan Pak Haris yang aku temui di kelas. Terasa sangat dingin.

Aku baru menemui guru semacam ini. Penuh misteri. Tak bisa terjamah, seolah tak ada satu murid pun yang bisa dekat dengannya untuk sekedar mencari perhatian supaya dapat nilai yang bagus. Tidak! Tidak satupun! Bahkan si cantik Nela tak bisa melakukannya. Pak Haris dan kehidupannya yang sederhana, seolah tak tersentuh oleh perkembangan jaman yang menakutkan. Mungkin ia hidup dari jaman yang berbeda. Hebatnya, dia mampu bertahan dengan gaya yang seperti itu.

Hari ini pak haris menyuruh kepada seluruh siswa kelasku datang pukul 3 sore ke masjid untuk tes talaran ayat-ayat. Pak haris akan datang pukul 3 lebih lima belas menit. Jadi, bagi yang belum hafal ada kesempatan menghafal selama limabelas menit, begitu katanya.

Tak ada satu pun murid yang berani datang terlambat. Begitu pelajaran terakhir selesai. Kami langsung berbondong-bondong menuju masjid tak jauh dari gerbang sekolah.

Sepatu hitam dengan kaus kaki menyelip di dalamnya—berjajar rapi di depan masjid. Beberapa siswa serius menghafal di dalam masjid. Ya, aku tahu betul bagaimana rasanya. Pak Haris memberitahu kami tentang hafalan ini hanya satu hari menjelang tes. Entah apa maksudnya. Padahal, kalau dia memberitahu sejak awal, mungkin kami tak akan sesulit ini. Kami akan mempunyai lebih banyak waktu untuk menghafal. Dan lima belas menit yang beliau berikan tak akan terasa begitu cepat seperti ini.

Ketika teman-temanku sibuk merapalkan ayat, berkomat-kamit penuh konsentrasi—dia datang. Dengan langkahnya yang terasa seperti alarm ketegangan. Beberapa melirik dan menampakkan wajah panik. Namun lelaki itu hanya mulai duduk, bersandar pada dinding, membuka buku absen dan menunggu.

“Jangan ada yang pulang kalau semuanya belum beres.”

DEG! Pernyataan yang sontak membuat seisi masjid melihat ke arahnya. Meringis, tak berdaya.

Aku menjadi siswa pertama yang menyetorkan hafalanku. Duduk di hadapannya tetap terasa tegang meskipun ia memejamkan mata.

Kutarik nafas.

Alhamdulillah! Dia sama sekali tak menggerakkan bibirnya. Itu berarti tak ada kesalahan dalam hafalanku. Dia masih terpejam ketika aku membacakan ayat terakhir. Membuat aku ragu, apakah dia tidur?

“Arti dari Q.S an-nisa ayat 162 ya, Pak. Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mu'min, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu , dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar. 

Aku menyelesaikan hafalanku dengan sukses. Pak Haris juga mengangguk lalu membuka buku absennya. Aku kembali ke tempatku, menyemangati teman-teman agar segera menyetorkan hafalannya. Supaya kami bisa cepat pulang.

***

Waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Masih ada satu siswa lagi yang sedang dites. Itu berarti kami bisa segera pulang. Akhirnya!

“Semuanya ke sini, duduk mengelilingi bapak!”

Apalagi ini? Bukannya tes hafalan sudah selesai, ya? Lagipula ini sudah pukul lima sore, Pak!

Kami menurut. Beliau berada di tengah-tengah. Membuka kopeahnya dan memandangi wajah kami satu persatu.

“Bapak berada di sini, di sekolah ini bukan hanya untuk memberi kalian nilai. Tapi juga untuk membangun kepribadian!”

“Ilmu harus sampai ke sini. Ke hati kalian!” ia menepuk-nepuk dadanya dengan gusar.

Alisnya hampir bertaut, matanya memincing menelaah kami. Aku tak bisa menatapnya lama-lama. Itu terlalu menegangkan.

“Q.S An-nisa ayat 162. Menyinggung orang-orang yang mendirikan sholat. Kalian pasti tau karena kalian menyebutnya berulang-ulang dalam hafalan kalian. Bapak percaya itu, kok. Tapi, apa kalian paham dengan perintah ayat tersebut?”

Tak ada yang berani menjawab. Sudah pasti.

“Kalian sudah tau dari ayat tersebut bahwa sholat adalah wajib. Tapi, kalian tetap melewatkannya? Hanya demi tes HAFALAN INI!”

“Tak perlu ada yang menjawab! Bapak tau kalian nggak solat ashar kan? Kalian sibuk menghafal ayat-ayat ini. Tapi, kalian sama sekali enggak paham isinya! Bapak sengaja ngasih tau ini cuma sehari sebelum tes. Karena apa? Supaya kalian sibuk menghafal. Padahal, nggak apa-apa kalau kalian cuma hafal beberapa ayat saja. Toh, bapak juga memberitahunya baru kemarin, kan?”

“Bapak sengaja ambil waktu ashar ini. Sejak jam tiga. Tapi, nggak ada satu pun yang sholat.”

Bagaimana dia bisa tahu? Bukankah dia hanya memejamkan mata dari tadi?

“Hafalan kali ini bapak anggap gagal semua. Kalian cuma hafal di mulut! Bapak nggak perlu itu. Bapak perlu praktek. Simpan ilmu itu di hati kalian! Kaji lagi, apakah sudah sesuai akhlak dengan teori?”

Hancur. Rasanya perjuangan menghafalku sia-sia. Sudah kubilang, Pak Haris memang penuh misteri.

“Urusan aqidah kita mesti keras! Kalau dia salah, katakan salah! Membaca ayat Al-Quran itu tidak bisa dianggap sepele!” itu kata-katanya tempo hari yang masih aku ingat hingga sekarang. Lalu, hari ini kembali terjadi kejadian di luar perkiraan.

Tak ada yang berbicara. Semua menunduk. Mungkin malu, karena aku pun merasakannya. Seperti sedang ulangan tentang bab kejujuran dan kami mengerjakannya dengan tidak jujur. Ironi.

Langit di luar terlihat semakin gelap. Namun, seperti tak ada yang peduli. Kami hanya diam. Menunggu apalagi yang akan Pak Haris katakan.

Beliau merapikan bukunya, bangkit dan keluar dari masjid.

“Minggu depan, jam 3 sore di masjid. Masih lima ayat yang tadi.”


Hingga aku lihat punggungnya bergerak menjauh. Dia berjalan pelan menenteng buku dan kopeahnya. Hilang di antara suasana sore.


Beberapa siswa memasang wajah lelah. Mereka mengemas barang mereka dan mulai berjalan lemas ke luar masjid.

Apa ini mimpi?

Bahwa banyak hal yang aku pelajari di tempat ini. Sekolah yang mungkin direndahkan oleh banyak orang, Namun benar-benar luar biasa kalau kita bisa menjalaninya. Di sini. Di dalam sini!

Nilai kecil yang aku raih waktu UN tidak berarti apa-apa dibandingkan ini semua. Menyakitkan untuk pertama kali, tapi itu akan memberikan balasan yang setimpal. Karena nilai hanya akan menjadi nilai. Mereka cuma angka. Aku mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar itu, pendidikan.

Seseorang pernah berkata padaku, bahwa hidup yang sesungguhnya dimulai ketika kita beranjak dari zona nyaman. Mungkin itulah yang sedang aku jalani saat ini. Meniti jalan dan membiarkan Allah mendiktekan apa-apa saja yang harus aku tempuh.

Cibiran orang-orang yang merendahkan sekolahku tidak lagi bisa masuk seutuhnya ke telinga. Mereka tidak tahu bagaimana sebenarnya sekolah di sini, sama sekali tidak tahu. 

***

Mama, aku jatuh cinta. Pada sekolah ini dan segala yang ada di dalamnya. Kali ini aku bisa bernapas lega, karena mereka tidak pernah menyurangiku, Ma.

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan