Thursday, July 5, 2012

bolehkah... (part 2)


Hari terus bergulir. Disaat matahari masih menggeliat manja, kuputuskan untuk pergi menyusulnya ke lokasi syuting.
Matahari yang mulai meninggi menemaniku dan motorku melewati jalanan yang lengang. Panasnya mulai terasa membakar kulitku yang tipis. Aku terkadang berfikir, kenapa orang-orang begitu sering membicarakan matahari? Terkadang mengeluh kepadanya dan memakinya. Sementara mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi disana… di matahari. 
Aku kembali tersadar  ketika motorku melewati sebuah polisi tidur dengan keras. Tujuanku sudah dekat
rupanya.
 Kini aku berada di lokasi syuting. Aku ingin melihat Dika berakting di depan kamera. Tapi aku sengaja tidak memberitahunya terlebih dulu. ku anggap ini adalah sebuah kejutan untuknya. Tak bisa ku bayangkan bagaimana tingkahnya ketika melihat aku tiba-tiba berada disini. Semoga saja ia senang.
Mataku mencari-cari sosok kurus itu. Rupanya ia tengah berdiri dan seorang penata rias tengah melap dahinya dengan tisu. Matanya focus memperhatikan arahan sang sutradara yang dengan semangat menjelaskan apa yang harus Dika lakukan.
Aku tahu , ia pasti lelah. Sengaja aku bawa permen-permen kenyal kesukaannya. Walaupun tak akan membuatnya kenyang namun aku harap dia senang. Karena kutahu, ia sangat-sangat menyukai permen ini.
Aku melihatnya lagi, ia berkacak pinggang seraya terus memperhatikan apa yang sutradara ucapkan kepadanya. Sesekali ia mengangguk. Aku tersenyum melihat baju yang ia kenakan, bagus juga. Membuatnya tidak terlalu kurus.
Aku masih berdiri di kejauhan , memperhatikan keadaan di sekelilingku. Para kru sibuk memindahkan barang-barang. Ada yang berteriak memberi komando. Ada juga yang menyiapkan peralatan, entah apa.
Aku terus menunggu sampai tiba saatnya ia beraksi di depan kamera. Di adegan itu Dika berjalan di depan sebuah rumah dan menghampiri seorang wanita yang membelakinginya. Tiba-tiba semua itu berlangsung cepat. Dengan mata kepalaku , aku melihat Dika memeluknya dari belakang. Kepalanya bertengger di pundak wanita itu, tangannya melingkar di pinggang wanita itu dan wajahnya mulai menelusup ke leher wanita itu.
Aku merasa sesuatu di dadaku di berdenyut aneh melihat apa yang ada di hadapanku sekarang. Beginikah rasanya cemburu…
Aku kembali mengarahkan pandanganku ke arah Dika. Aneh sekali ketika melihat suamiku melakukan hal kepada wanita lain yang bahkan tak pernah ia lakukan bersamaku. Seperti rasa cemburu atau ketakutan…
Aku masih melihatnya dari kejauhan. Sekarang bagiannya telah selesai. Kulihat ia melangkah ke sebuah tampat berpayung besar dengan tempat duduk yang nyaman. Ada aktor dan aktris yang sering aku lihat di televisi. Kulihat Dika berbaur dengan mereka , mereka terlihat akrab. Namun ada hal ganjil. Setelah si actor pergi, Dika dan aktris cantik itu berbicara lebih akrab dan dekat. Saling menertawakan satu sama lain . Entah apa yang mereka bicarakan namun kelihatannya asyik sekali .  Akupun memberanikan diri menghampiri mereka berdua.
“Maaf mbak, minta foto barengnya jangan sekarang ya.” Ucap perempuan itu ketika aku berada tepat didepan mereka.
Aku melihat Dika bangkit dari duduknya.
“Kamu?” Ujar Dika kedengarannya tak percaya.
“Ini istri aku , Sar.” Kali ini ia berbicara pada aktris sombong itu.
Aku tak mempedulikan wanita itu. Aku masih mematung di depan Dika. Mencerna kata-kata yang baru saja ia ucapkan. “Ini istri aku, Sar.”   Aku merasa terharu. Tak kusangka ia mau mengakui aku sebagai istrinya…
“Rifa.” Ucapnya disertai senyuman.
“Aku pulang malam lagi. Nggak apa-apa ya?” Tanyanya.
“Aku… aku  kesini cuma mau kasih kamu ini aja kok,” Ujarku seraya menyodorkan satu bungkus permen kesukaannya.
Ia menerimanya dengan mata yang berbinar, “Makasih ya, Fa.”
Aku menatap matanya agak lama. melihatnya yang sedang menata karir. Aku tersenyum. Bisa kurasakan ada yang lain dari senyumku ini, sekarang rasanya berbeda dari senyum-senyum lain yang pernah aku berikan padanya. Di dalamnya aku merasakan rasa bahagia dan harapan. Aku juga merasakan alasan itu muncul. Alasan kami untuk terus bersama.
                                                            ****
Jam sebelas malam Dika belum juga pulang. Aku merasa khawatir sesuatu terjadi pada dirinya namun pikiran itu hilang ketika ku dengar suara mobilnya di depan rumah. Aku berfikir untuk membukakan pagar, tapi kuurungkan. Biarlah dia membukanya sendiri dan menyangka aku sudah tidur.
Aku mendengar suara langkah kaki menuju kamar. Itu pasti dia. Segera aku menghadapkan tubuhku ke tembok. Memejamkan mata seolah aku sedang tertidur. Bisa ku dengar suara ranjang yang diduduki. Mungkin dia duduk di tepi ranjang. 
Selanjutnya aku mendengar ia mengeluarkan suaranya yang khas.
“Aku senang kamu datang, Fa. Makasih ya.” Ujarnya. Aku tahu ia mungkin berfikir sedang berbicara pada orang tidur dan apapun bisa ia ungkapkan disini tanpa perlu tahu jawaban dariku.
“Maaf ya, tadi sarah bikin kamu kesel. Iya kan? Dia emang kayak gitu orangnya, suka bercanda tapi sebenernya dia baik kok.” Ujarnya lagi.
“Dia baik, dia selalu jadi tempat curhat aku ,Fa. ”
“Hmm.. aku ngerasa kayak orang gila deh ngomong sama orang tidur kayak kamu. Tapi nggak apa-apalah dari pada sama sekali nggak aku ungkapin.”
“Good night. Sesuai kebiasaan kita , aku tidur di ruang tamu lagi ya, Fa.”
  Aku bisa merasakan dia pergi dari ruangan ini. Kata-kata terakhirnya membuat mataku terbuka. Aku merasa benar-benar kejam. Seringkali aku menyuruhnya tidur di ruang tamu. Dia pasti kedinginan, badannya juga pasti sakit-sakit. Maaf Dika. Maaf…

bersambung...

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan