Friday, July 13, 2012

love in london (part1)



Love in London
Aku memandangi langit-langit apartementku yang berwarna putih tulang. Merenung tentang kejadian yang baru saja aku alami. Tadi siang,  dia datang dan menarik aku menelusup pelukannya. Namun aku tak membalas. Aku memposisikan tanganku di samping tubuhku tanpa ingin sekalipun membalas pelukan itu. kepalaku terangkat menyesuaikan pundaknya yang tinggi.

 Aku merasa tak antusias dan agak bingung. Kenapa lelaki itu datang dan pergi begitu mudah? Dia kembali setelah 2 tahun meninggalkan aku dan menganggap semuanya baik-baik saja. Padahal ia tak pernah memberiku kejelasan tentang hubungan ini . Apakah dia tak berfikir bagaimana perasaanku ketika ia pergi tanpa pamit lalu kembali dan menganggap bahwa aku masih kekasihnya.
Aku menjulurkan tanganku ke langit-langit dan merentangkan sepuluh jari seperti sedang mengukur langit-langit apartement. Aku mendesah pelan ketika mendengar ponselku bergetar. Aku meraih ponsel di meja kecil samping ranjang. Kulihat layar itu bertulis: New message : Darel . Rupanya sebuah pesan dari lelaki gila itu.
From: Darel
Lan, aku akan selalu ada untuk kamu.
Aku mendengus membaca pesan itu. Selalu ada? Maksudnya apa? Kemana saja ia selama 2 tahun ini saat aku benar-benar membutuhkannya?
Aku melempar ponselku , membiarkannya memantul di ranjang. Lalu memiringkan posisi tidurku. Aku menekuk kaki , dua tanganku yang mengepal berada di depan bibirku seperti orang yang kedinginan. Tapi benar, nafasku mulai bergetar dan pandanganku mulai kabur karena air yang menutupinya. Mataku mengatup dengan keras dan cairan itu menetes secara vertical.
Dia jahat.. Darel  benar-benar jahat! Isak tangisku mulai dapat kudengar , suara nafasku tersendat-sendat . Aku masih belum bisa mempercayai kenyataan ini. Kenapa Darel datang di saat aku sudah menemukan penggantinya. Aku takut bila aku harus memilih diantara dua lelaki itu. Karena aku sadar, bahwa di dalam hatiku masih ada Darel walaupun dia sudah menyakitiku.
Kurasakan dua sudut bibirku mengarah ke bawah. Membentuk lengkungan kesedihan yang sama sekali tidak cantik. Pipiku terasa lengket ketika aku berusaha menghapus air mataku.
                                                            ***
Pagi itu Edgar sudah datang ke apartementku membawa sekantung belanjaan. Dia berjanji akan memasak untukku. Dia bilang bahwa aku harus makan makanan yang sehat dan jangan terlalu sering makan mie instan. Ya, tapi mau bagaimana lagi, aku memang tak bisa memasak dan terkadang merasa terlalu sibuk untuk berurusan dengan dapur. Beruntunglah aku mempunyai kekasih seperti Edgar yang memang seorang chef hotel. Tunggu dulu… tadi aku bilang ‘kekasih’? Jadi , kekasihku sekarang ada dua ? Edgar dan Darel ? Ah , aku benci menyadari itu semua. Aku belum siap memutuskan siapa yang akan menjadi kekasihku yang sebenarnya.
“Lanna, kamu pilih saus bawang putih dan mentega atau tomato piccata sauce?” ucapnya setengah berteriak dari arah dapur.
Aku yang duduk di meja makan sambil membolak-balik halaman majalah, terhenti sebentar.
Hmm” gumamku. Pertanyaannya saja tak aku mengerti, bagaimana aku bisa memilih?
Pilih yang paling enak!” sahutku kemudian kembali memfokuskan perhatian pada majalah.
Samar terdengar suara bising dari dapur. Entahlah apa yang dilakukan Edgar sampai bisa mengeluarkan suara gaduh seperti itu.
Hati-hati, Gar. Jangan berusaha terlalu keras.” ujarku dengan mata menatap baju-baju wanita di dalam majalah.
Hahaha, suara bising ini masih sangat wajar, lan. Tidak perlu khawatir.” timpalnya.
Aku tersenyum miring dan menggelengkan kepala. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya di dapur dan sama sekali  tidak ingin membantunya. Yang kurasakan adalah bau masakannya yang mulai aku cium.
Hmm..  baunya enak! Kamu memasak apa?” sahutku.
Rahasia. Akan aku beritahu bila semuanya sudah selesai.”
Aku mengangkat wajahku dan memandang jendela yang berada di depan meja makan. Seberkas sinar matahari pagi masuk lewat jendela dan itu sangat indah. Apartemen ini memang pilihan yang tepat, jendelanya menyuguhkan pemandangan kota London yang indah. Ya.. walaupun tidak terlalu besar tapi aku merasa nyaman.
Tok … tok… tok…
Aku mengerjap dan tersenyum melihat pemandangan itu. Dengan senyum yang masih mengembang aku melangkah meninggalkan meja makan lalu membuka pintu apartement.
            Kuputar kenopnya dan menarik pintu itu. Seketika kurasakan senyumku memudar. Lelaki itu…Darel…  berani-beraninya dia datang ke apartementku pagi-pagi begini . Merusak jadwalku dengan Edgar. Dengan refleks aku menutup kembali pintu itu. Tapi Darel menahannya begitu kuat.
“Lanna, lan. Kumohon berikan aku kesempatan. Lan,pintanya seraya menahan pintu itu dan kepalanya merangsak masuk lewat celah. Akhirnya aku menyerah karena takut kepalnya terluka.
Pelan kubukakan pintu dan segera memunggunginya. Bisa kurasakan ia mengikuti langkahku di belakang.
Lan, kita masih sepasang kekasih. Kau pasti ingat itu semua.”
Aku membalik badanku, menghadap ke arahnya. Bisa kurasakan dahiku berkerut, “Semua itu? Semua itu yang mana?” tanyaku dengan nada sama sekali tidak ramah.
Semuanya, tentang memori yang sudah kita buat. Bermain bersama, berlibur bersama, dan semua yang membuat aku tersenyum bila mengingatnya.”
Aku memiringkan kepalaku , melangkah maju mendekatinya dan memincingkan mata.
Tersenyum? Tapi, aku kadang menangis bila mengingat itu semua. Aku tidak mau hidup dalam memori masa lalu. Meskipun itu indah tapi di sinilah aku sekarang.  Kamu tahu? Seindah apapun memori, itu semua tidak akan pernah terulang. Aku suka mengingat-ngingatnya tapi itu bukan ide yang bagus bila semuanya berhubungan denganmu. ”
Aku kemudian kembali memutar badanku dan melangkah menuju meja makan.
Tapi , lan. Beri aku satu kesempatan lagi. Lan.. lan…” ia terus berbicara sepanjang jalan.
Kuhempaskan badanku di kursi meja makan dan menyibukkan diri dengan majalah. Sementara itu dari sudut mataku , aku mengetahui bahwa ia duduk di hadapanku dan menghalangi pemandangan indah di luar jendela.
Lan… kita bisa memulainya dari awal.”  
Aku hanya terdiam dan membuka halaman majalah dengan tempo yang cepat.
Ini dia, chicken cordon bleu.” suara yang berbeda aku dengar memenuhi rongga telingaku. Aku mengangkat wajah dan melihat Edgar datang dari dapur membawa nampan berisi satu piring besar makanan. Kulihat wajahnya yang ceria berubah ketika menyadari kehadiran seorang lelaki lain di meja makan. Langkahnya melambat dan dengan canggung ia meletakan makanan itu di atas meja. Kulirik Darel  yang duduk di hadapanku. Ia menatap Edgar dengan tatapan kaget. Mulutnya sedikit menganga melihat lelaki itu menampilkan satu piring besar makanan. Aku melihat Edgar dan Darel  bergantian. Perasaanku saja atau memang mereka terlihat aneh?
Edgar membalik tubuhnya dan hendak kembali menuju dapur namun aku tahan. “Jangan.” ucapku. Ia menoleh pelan dan melihat nanar wajahku.
 “Kita makan bersama.” ucapku meyakinkan.
Edgar duduk menghadap ke tembok. Seperti garis lurus yang membelah diantara garis pandang aku dan Darel. Aku membuka piringku dan mulai mengambil masakan di piring besar itu.
“Enak.” ucapku sambil mengunyah, membuat suaraku terdengar aneh. Aku meneruskan ucapanku setelah makanan itu lenyap dari mulutku,. “Ini namanya… hmm apa tadi kamu bilang… chicken.. hmm chicken.. aduh sulit sekali namanya.” keluhku , mencoba mencairkan suasana.
Chicken cordon bleu.” ucap Edgar , datar.
Kulihat Darel  di depanku. Dia membelah masakan itu dengan sendoknya dan dapat kulihat asap mengepul .
Lihat asap itu, benar-benar cantik. Menandakan bahwa masakan ini masih hangat. Ayo cepat dimakan, Rel.” ucapku.
Darel mengangkat wajahnya dan mengangguk , “Tentu.”
Acara makan itu terasa canggung . Kurasa aku harus mengenalkan mereka berdua.
“Darel , ini Edgar. Dia chef .”
Kulihat bibir Darel  mengatakan sesuatu yang lirih, “Edgario Ansel. Masih tetap sama seperti dulu.” suaranya seperti sebuah bisikan.
Maksud kamu? Kamu kenal dia?”
Ehh.. hmm… lupakan.”
Aku pergi dulu.” ucap Darel  sambil bangkit dan berjalan.
“Buru-buru sekali?” tanyaku namun Darel tak menjawab.
 Kuantar dia sampai ambang pintu. Muka oriental itu tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke telingaku.
Tentukan pilhanmu…” ucapannya membuatku merasakan kesan misterius dan agak merinding. Dia kembali menarik wajahnya dan tersenyum lagi.
Selamat tinggal.” pamitnya.
Aku memajukan kakiku satu langkah dan memandangi punggung Darel  yang semakin menjauh di lorong apartement.
                                                                        ***
Kamu kenal dia?” tanyaku sambil mengayunkan sendok ke piring besar.
Dia Darel lee … lelaki keturunan Tionghoa-Indonesia. Mata sipitnya ia dapat dari itu. Menarik sekali bukan, menemukan seorang bermata sipit di London?” ucap Edgar , sepertinya ia tahu banyak tentang Darel .
Aku menghentikan sejenak acara makanku dan menoleh ke arahnya, “Kalian saling kenal? Bagaimana bisa?”
Edgar menggeleng lemas. “Semuanya tidak usah dibahas.” ujarnya, mata bening berwarna coklat  itu mengarah ke piring.
Dia pacarmu?” tanya Edgar tiba-tiba.
Itu.. dulu sebelum dia pergi.” ucapku.
Pikiranku melayang pada saat aku pertama kali bertemu Edgar. Seperti lembar-lembar klise yang muncul di otakku. Aku sebenarnya suka takdir ini. Takdir yang mempertemukan kami di saat kami tengah sama-sama sakit hati karena kekasih yang mendadak pergi. Kami membagi cerita dengan waktu yang lama sampai menjadi cerita yang lengkap. Seiring waktu kami semakin dekat. Dia lelaki yang baik dan selalu memberiku masakan terbaiknya, sampai akhirnya kami menjadi sepasang kekasih.
Tapi sekarang aku malah merasa terjebak. Aku masih menyayangi Darel  tapi aku juga mencintai Edgar. Aku tidak mau Darel  kembali meninggalkanku seperti apa yang ia lakukan dulu.
Aku kembali mengingat kata-kata Darel,  tentukan pilihanmu...kata-kata yang sebenarnya membuatku takut.
Tapi , dia datang kesini untuk memperbaiki semuanya, lan. Dia ingin kamu kembali menjadi kekasihnya.” ucapan Edgar membuatku kembali menapaki bumi. Dia menghancurkan lamunanku.
Kulihat Edgar menoleh perlahan, mulut tipisnya mulai berbicara, “Jadi… lelaki yang selama ini kamu ceritakan adalah Darel? Dia lelaki yang pergi itu? ”
Aku mengangguk, “Iya, dialah orangnya. Dia lelaki yang mengajakku berjalan di musim gugur dan mengajakku menatap langit pagi, mengangkat tangan ke langit dan bertingkah seolah sedang mengenggam langit. Dia juga bilang bahwa di dunia ini ada beberapa mimpi yang lebih baik tidak jadi kenyataan.” ucapku.
Edgar tersenyum dan mengangkat bahunya. “Selalu seperti itu.”
Kurasa Edgar dan Darel  sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik.
“Tapi, yang tidak aku mengerti adalah perkataannya bahwa ada beberapa mimpi yang lebih baik tidak menjadi kenyataan. Kamu mengerti maksudnya?” tanyaku.
Suatu saat kamu akan mengerti tanpa aku harus menjelaskannya.” Ucap Edgar seraya bangkit membereskan piring-piring kotor.
Aku terdiam dan membiarkan Edgar mengangkat piring kotorku.
***
bersambung 
 baca selanjutnya disini

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan