Love in London
Aku memandangi langit-langit
apartementku yang berwarna putih tulang. Merenung tentang kejadian yang baru
saja aku alami. Tadi siang, dia datang dan menarik
aku menelusup pelukannya. Namun aku tak membalas. Aku memposisikan tanganku di samping
tubuhku tanpa ingin sekalipun membalas pelukan itu. kepalaku terangkat
menyesuaikan pundaknya yang tinggi.
Aku merasa tak antusias dan agak bingung. Kenapa lelaki itu datang dan pergi begitu mudah? Dia kembali setelah 2 tahun meninggalkan aku dan menganggap semuanya baik-baik saja. Padahal ia tak pernah memberiku kejelasan tentang hubungan ini . Apakah dia tak berfikir bagaimana perasaanku ketika ia pergi tanpa pamit lalu kembali dan menganggap bahwa aku masih kekasihnya.
Aku menjulurkan tanganku ke
langit-langit dan merentangkan sepuluh jari seperti sedang mengukur
langit-langit apartement. Aku mendesah pelan ketika
mendengar ponselku
bergetar. Aku meraih
ponsel di meja kecil samping ranjang. Kulihat layar itu bertulis: New message : Darel .
Rupanya sebuah
pesan dari lelaki gila itu.
From: Darel
Lan, aku
akan selalu ada untuk kamu.
Aku mendengus membaca pesan itu. Selalu ada? Maksudnya apa?
Kemana saja ia selama 2 tahun ini saat aku benar-benar membutuhkannya?
Aku melempar ponselku , membiarkannya memantul
di ranjang. Lalu memiringkan posisi tidurku. Aku menekuk kaki , dua tanganku yang mengepal berada
di depan
bibirku seperti orang yang kedinginan. Tapi benar, nafasku mulai bergetar dan
pandanganku mulai kabur karena air yang menutupinya. Mataku mengatup dengan keras
dan cairan itu menetes secara vertical.
Dia jahat.. Darel benar-benar jahat! Isak tangisku mulai dapat
kudengar , suara nafasku tersendat-sendat . Aku masih belum bisa mempercayai kenyataan ini. Kenapa Darel datang
di saat aku sudah menemukan penggantinya. Aku takut bila aku harus memilih
diantara dua lelaki itu. Karena
aku sadar, bahwa di dalam hatiku masih ada Darel walaupun dia sudah
menyakitiku.
Kurasakan dua sudut bibirku mengarah ke bawah.
Membentuk lengkungan kesedihan yang sama sekali tidak cantik. Pipiku terasa
lengket ketika aku berusaha menghapus air mataku.
***
Pagi itu Edgar sudah datang ke
apartementku membawa sekantung belanjaan. Dia berjanji akan memasak untukku. Dia bilang
bahwa aku harus makan makanan yang sehat dan jangan terlalu sering makan mie
instan. Ya, tapi
mau bagaimana lagi, aku memang tak bisa memasak dan terkadang merasa terlalu
sibuk untuk berurusan dengan dapur. Beruntunglah aku mempunyai kekasih seperti Edgar
yang memang seorang chef hotel. Tunggu dulu… tadi aku bilang ‘kekasih’? Jadi ,
kekasihku sekarang ada dua ? Edgar dan Darel ? Ah , aku benci menyadari itu
semua. Aku belum siap memutuskan siapa yang akan menjadi kekasihku yang
sebenarnya.
“Lanna, kamu
pilih saus bawang putih dan mentega atau tomato piccata sauce?” ucapnya
setengah berteriak dari arah dapur.
Aku yang duduk di meja makan sambil membolak-balik
halaman majalah,
terhenti sebentar.
“Hmm” gumamku.
Pertanyaannya saja tak aku mengerti, bagaimana aku bisa memilih?
“Pilih
yang paling enak!” sahutku kemudian kembali memfokuskan perhatian pada majalah.
Samar terdengar suara bising dari dapur. Entahlah apa
yang dilakukan Edgar sampai bisa mengeluarkan suara gaduh seperti itu.
“Hati-hati,
Gar. Jangan
berusaha terlalu keras.” ujarku
dengan mata menatap baju-baju wanita di dalam majalah.
“Hahaha, suara
bising ini masih sangat wajar, lan. Tidak perlu khawatir.” timpalnya.
Aku tersenyum miring dan
menggelengkan kepala. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya di dapur dan sama sekali tidak ingin membantunya. Yang kurasakan adalah
bau masakannya yang mulai
aku cium.
“Hmm.. baunya enak! Kamu memasak apa?”
sahutku.
“Rahasia. Akan aku beritahu
bila semuanya sudah selesai.”
Aku mengangkat wajahku dan
memandang jendela yang berada di depan meja makan. Seberkas sinar matahari
pagi masuk
lewat jendela dan itu sangat indah. Apartemen ini memang pilihan yang tepat, jendelanya
menyuguhkan pemandangan kota
London yang indah. Ya.. walaupun tidak terlalu besar tapi aku merasa nyaman.
Tok … tok… tok…
Aku mengerjap dan tersenyum
melihat pemandangan itu. Dengan
senyum yang masih mengembang aku melangkah meninggalkan meja makan lalu membuka
pintu apartement.
Kuputar kenopnya
dan menarik pintu itu. Seketika kurasakan senyumku memudar. Lelaki itu…Darel… berani-beraninya dia datang ke apartementku
pagi-pagi begini . Merusak jadwalku dengan Edgar. Dengan refleks aku menutup
kembali pintu itu. Tapi Darel menahannya begitu kuat.
“Lanna, lan. Kumohon berikan aku kesempatan. Lan,” pintanya seraya
menahan pintu itu dan kepalanya merangsak masuk lewat celah. Akhirnya aku menyerah
karena takut kepalnya
terluka.
Pelan kubukakan pintu dan segera memunggunginya. Bisa
kurasakan ia mengikuti langkahku di belakang.
“Lan, kita
masih sepasang kekasih. Kau pasti ingat itu semua.”
Aku membalik badanku, menghadap ke
arahnya. Bisa kurasakan dahiku berkerut, “Semua itu? Semua itu yang mana?” tanyaku dengan nada sama sekali
tidak ramah.
“Semuanya,
tentang memori yang sudah kita buat. Bermain bersama, berlibur bersama, dan
semua yang membuat aku tersenyum bila mengingatnya.”
Aku memiringkan kepalaku ,
melangkah maju mendekatinya dan memincingkan mata.
“Tersenyum?
Tapi, aku kadang menangis bila mengingat itu semua. Aku tidak mau hidup dalam
memori masa lalu. Meskipun itu indah tapi di sinilah aku
sekarang. Kamu tahu? Seindah apapun
memori, itu semua tidak akan pernah terulang. Aku suka mengingat-ngingatnya
tapi itu bukan ide yang bagus bila semuanya berhubungan denganmu. ”
Aku kemudian kembali memutar
badanku dan melangkah menuju meja makan.
“Tapi ,
lan. Beri aku satu kesempatan lagi. Lan.. lan…” ia terus berbicara sepanjang
jalan.
Kuhempaskan badanku di kursi meja
makan dan menyibukkan diri
dengan majalah. Sementara itu dari sudut mataku , aku mengetahui bahwa ia duduk
di hadapanku dan menghalangi pemandangan indah di luar jendela.
“Lan… kita
bisa memulainya dari awal.”
Aku hanya terdiam dan membuka
halaman majalah dengan tempo yang cepat.
“Ini dia,
chicken cordon bleu.” suara
yang berbeda aku dengar memenuhi rongga telingaku. Aku mengangkat wajah dan
melihat Edgar datang dari dapur membawa nampan berisi satu piring besar
makanan. Kulihat wajahnya yang ceria berubah ketika menyadari kehadiran seorang
lelaki lain di meja makan. Langkahnya melambat dan dengan canggung ia meletakan
makanan itu di atas meja. Kulirik Darel yang duduk di hadapanku. Ia menatap Edgar dengan
tatapan kaget. Mulutnya sedikit menganga melihat lelaki itu menampilkan satu
piring besar makanan. Aku melihat Edgar dan Darel bergantian. Perasaanku saja atau memang mereka
terlihat aneh?
Edgar membalik tubuhnya dan
hendak kembali menuju dapur namun aku tahan. “Jangan.” ucapku. Ia menoleh pelan dan melihat
nanar wajahku.
“Kita makan
bersama.” ucapku
meyakinkan.
Edgar duduk menghadap ke tembok.
Seperti garis lurus yang membelah diantara garis pandang aku dan Darel. Aku
membuka piringku dan mulai mengambil masakan di piring besar itu.
“Enak.” ucapku sambil mengunyah, membuat suaraku
terdengar aneh. Aku
meneruskan ucapanku setelah makanan itu lenyap dari mulutku,. “Ini namanya… hmm apa
tadi kamu bilang… chicken.. hmm chicken.. aduh sulit sekali namanya.” keluhku , mencoba
mencairkan suasana.
“Chicken cordon
bleu.” ucap Edgar
, datar.
Kulihat Darel di
depanku. Dia membelah masakan itu dengan sendoknya dan dapat kulihat asap mengepul .
“Lihat
asap itu,
benar-benar cantik. Menandakan bahwa masakan ini masih hangat. Ayo cepat
dimakan, Rel.” ucapku.
Darel mengangkat
wajahnya dan mengangguk , “Tentu.”
Acara makan itu terasa canggung . Kurasa aku harus
mengenalkan
mereka berdua.
“Darel , ini Edgar. Dia chef .”
Kulihat bibir Darel mengatakan sesuatu yang lirih, “Edgario Ansel. Masih
tetap sama seperti dulu.” suaranya seperti sebuah bisikan.
“Maksud
kamu? Kamu kenal dia?”
“Ehh..
hmm… lupakan.”
“Aku pergi
dulu.” ucap Darel sambil bangkit dan
berjalan.
“Buru-buru
sekali?” tanyaku namun Darel tak menjawab.
Kuantar dia
sampai ambang pintu. Muka
oriental itu tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke telingaku.
“Tentukan
pilhanmu…” ucapannya
membuatku merasakan kesan
misterius dan agak
merinding. Dia kembali menarik wajahnya dan tersenyum lagi.
“Selamat
tinggal.” pamitnya.
Aku memajukan kakiku satu langkah
dan memandangi punggung Darel yang
semakin menjauh di lorong apartement.
***
“Kamu
kenal dia?” tanyaku sambil mengayunkan sendok ke piring besar.
“Dia Darel lee … lelaki keturunan
Tionghoa-Indonesia. Mata
sipitnya ia dapat dari itu. Menarik sekali bukan, menemukan seorang bermata sipit di
London?” ucap Edgar , sepertinya ia tahu banyak tentang Darel .
Aku menghentikan sejenak acara makanku dan menoleh ke
arahnya, “Kalian
saling kenal? Bagaimana bisa?”
Edgar
menggeleng lemas. “Semuanya
tidak usah dibahas.” ujarnya,
mata bening berwarna coklat
itu mengarah ke piring.
“Dia
pacarmu?” tanya Edgar
tiba-tiba.
“Itu..
dulu sebelum dia pergi.” ucapku.
Pikiranku melayang pada saat aku pertama kali bertemu
Edgar. Seperti lembar-lembar klise yang muncul di otakku. Aku sebenarnya suka takdir
ini. Takdir
yang mempertemukan kami di saat kami tengah sama-sama sakit hati karena kekasih
yang mendadak pergi. Kami membagi cerita dengan waktu yang lama sampai menjadi
cerita yang lengkap. Seiring waktu kami semakin dekat. Dia lelaki yang baik dan
selalu memberiku masakan terbaiknya, sampai akhirnya kami menjadi sepasang
kekasih.
Tapi sekarang aku malah merasa
terjebak. Aku masih menyayangi Darel tapi aku juga mencintai Edgar. Aku tidak mau Darel
kembali meninggalkanku seperti apa yang
ia lakukan dulu.
Aku kembali mengingat kata-kata Darel, ‘tentukan
pilihanmu...’ kata-kata yang sebenarnya
membuatku takut.
“Tapi ,
dia datang kesini untuk memperbaiki semuanya, lan. Dia ingin kamu kembali
menjadi kekasihnya.” ucapan Edgar membuatku kembali
menapaki bumi. Dia
menghancurkan lamunanku.
Kulihat Edgar menoleh
perlahan, mulut tipisnya mulai berbicara, “Jadi… lelaki yang selama ini kamu ceritakan adalah Darel? Dia lelaki
yang pergi itu? ”
Aku mengangguk, “Iya, dialah orangnya. Dia lelaki yang mengajakku
berjalan di musim gugur dan
mengajakku
menatap langit pagi, mengangkat
tangan ke langit dan bertingkah
seolah sedang mengenggam langit. Dia juga bilang bahwa di dunia ini ada
beberapa mimpi yang lebih baik tidak jadi kenyataan.” ucapku.
Edgar tersenyum dan mengangkat bahunya. “Selalu seperti
itu.”
Kurasa Edgar dan Darel sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik.
“Tapi, yang tidak aku mengerti adalah perkataannya bahwa
ada beberapa mimpi yang lebih baik tidak menjadi kenyataan. Kamu mengerti
maksudnya?” tanyaku.
“Suatu
saat kamu akan mengerti tanpa aku harus menjelaskannya.” Ucap Edgar seraya bangkit
membereskan piring-piring kotor.
Aku terdiam dan membiarkan Edgar mengangkat piring
kotorku.
***
bersambung
baca selanjutnya disini
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan