Tuesday, December 18, 2012

IN THE REST OF THE NIGHT


IN THE REST OF THE NIGHT
OLEH: PEACE REVA

“Followers akun twitter korban kecelakaan itu sudah mencapai limaribu dalam tempo satu hari saja.”
“Jadi, kita harus mati dulu supaya kita terkenal?”
“Bukan kita, tapi mungkin dia…”
“Dia? Maksudmu?”
“Seseorang yang harus berkorban.”

***

          
  Tak perduli sudah berapa lama ia berhadapan dengan layar komputer dan berapa kesakitan yang bersarang di tubuhnya. Pintanya sederhana, ia hanya ingin menyelesaikan satu tulisan baru malam itu.

              Cheri membenarkan posisi kacamatanya. Kacamata yang telah meninggalkan bekas di pangkal hidungnya. Sebuah cekungan kecil bekas kacamata yang menyangga di tulang hidung. Terkadang ia sedih ketika melepas kacamata dan bercermin. Betapa kacamata ini telah meninggalkan jejak pada pemiliknya. Jejak kelelahan, kesakitan dan perjuangan. Seperti tanda lelah yang tak pernah ia ungkapkan namun tetap tercermin dari cekungan itu. Juga kesakitan pangkal hidung dari segala beban yang ditimpakan kepadanya. Dan kini, mungkin kacamata itu akan kembali meninggalkan jejak pada pemiliknya tak peduli seberapa cepat mata yang dibingkainya itu bergerak  ke arah keyboard dan layar komputer secara bergantian.

             Wajahnya bersinar di timpa cahaya. Ia tahu, berhadapan dengan layar Komputer di tempat gelap memang tidak baik.  Namun, ini seperti bioskop. Ia merasa seperti hiburan tersendiri. Lampu kamar dimatikan dan yang satu-satunya bersinar adalah layar komputer yang dengan gila-gilaan memancarkan sinarnya ke wajah. Sementara tangannya terus mengetikkan kata-kata  dengan tempo yang cepat lalu beberapa kali melambat dan tentu saja ia akan mengerutkan kening sambil mengerucutkan bibir. Itu pasti karena ia kehabisan ide untuk sebentar saja. Yakinlah, itu tak akan berlangsung lama. Ia akan kembali menulis dengan tempo yang amat cepat dan kau pasti tahu keyboardnya akan menghasilkan sebuah bunyi yang khas. Bunyi yang sangat Cheri suka akhir-akhir ini. Bunyi yang sedikit demi sedikit menggantikan bunyi lain yang ia suka, yang ia rindukan. Walaupun ia sudah lupa bagaimana persisnya suara langkah kaki itu. Namun ia ingat bahwa suara sepatu kulit akan berjalan pelan menaiki tangga dan dengan hati-hati membuka pintu kamarnya untuk sekedar mengucapkan ‘Selamat malam’. Cheri akan berpura-pura tidur jika mendengarnya. Karena ia tahu, Papanya akan sangat berharap ia tidur.

           Angin mengusap tengkuk Cheri. Ini sudah pukul satu malam, harusnya ia sudah tidur. Papa… seharusnya juga ia datang menemui Cheri dan Cheri mungkin akan tidur sejak empat jam yang lalu. Tapi kini tangannya malah sibuk merayap untuk menggapai secangkir kopi dingin di sampingnya. Semut-semut itu bergerak lebih cepat dan jatuh dari cangkir yang telah diangkat. Cheri tak peduli, ia masih saja menatap layar Komputer sambil menyesap kopi. Semut yang berlarian di dinding cangkirnya mungkin ia anggap sebagai hiasan.
       
           Tulisannya hampir selesai. Sapuan angin malam kembali menyapu tengkuknya dan lagi-lagi ia tak peduli. Ia hanya menatap layar komputernya lekat-lekat.
Ted : Kamu suka menulis?”

Sebuah email muncul di layar komputernya. Cheri membalas:

CheriBlosm: Ya. Darimana kautahu?

Ted : Dari blogmu. Kami mengadakan lomba cerpen. Akan dipilih 17 cerpen dan dibukukan. Berminat?” 

CheriBlosm: Tentu. Jujur, aku sangat tertarik pada dunia menulis. Boleh kutahu tema apa yang dilombakan?

Ted : ”Tentang cinta dan impian. Kirim cerpenmu ke email ini. Tanggal 7 Desember pengumumannya. Jangan lupa sertakan nomor
telepon. 

                 Dentingan jam dan angin malam masih setia menemani. Cheri mendesah pelan. Cerita yang dibuatnya harus selesai malam ini, meski kepala bagian belakangnya sudah amat nyeri. Ia meringis, tapi itu tak lagi berguna. Denyutan pelan namun menyeluruh di belakang kepalanya masih tetap terasa. Entah, ia merasa sedih atau apa. Yang ia tahu ia tak pernah merasa seburuk ini.

***

                Hilang. 5 hari yang lalu dengan jam yang selalu sama, Cheri masih duduk manis menatap layar Komputer. Namun kali ini kursi dengan roda-roda kecil itu kosong, terkadang bergerak pelan jika angin malam kembali berhembus. Lampu masih saja dimatikan, dan kembang di depan jendela telah hampir habis, menyisakkan batangnya yang kurus. Cahaya rembulan dari balik jendelalah yang menyinari kamar itu. Cahayanya lurus menyorot kursi, layar Komputer dan cangkir merah berisi kopi dingin yang hanya tersisa setengah. Semut-semut itu masih berjalan pelan mengitari cangkir. Beberapa bahkan berendam di dalamnya. Semut berukuran besar dengan kaki-kaki kurus terus berdatangan. Menaiki cangkir itu tanpa ada yang berusaha mencegahnya.

              Derap langkah sepatu kulit terdengar dari tangga hendak menuju kamar. Perlahan, pintu terbuka. Decitnya serupa ngilu yang sebentar lagi akan dirasakan siapapun yang membukanya. Sekejap, sinar dari ruangan luar terpancar menimpa ruangan gelap ini. Menyilaukan.

              “Cheri,” itu suara Papa. Tangan Papa merayap hendak mencari tombol lampu. Sial, dinding ini basah, lembab, sepertinya akan tumbuh lumut atau tanaman menjalar barang sebentar lagi.

              Semuanya masih seperti semula ketika lampu dinyalakan. Dinding lembab, pot bunga kecil di depan jendela, tempat tidur yang berantakan dan meja kerja yang sepi. Hanya ada Komputer dan secangkir kopi yang mungkin akan berganti menjadi secangkir semut.
Mata Papa bergerak cepat. Seharusnya mata itu bisa menemukan Cheri sedang tertidur pulas di selimuti selimut tebal di ranjang. Tapi, nyatanya tidak begitu. Cheri hilang. Mungkin kabur atau mati.

            Komputer berlayar cembung dinyalakan. Papa berharap dapat mencari informasi dari rongsokan itu. Papa ingat bahwa Cheri mempunyai sebuah blog. Benar saja, dia telah meninggalkan jejak dalam blog-nya.

-3 November-

Seperti ingin mati. Kelak, tulisan ini akan abadi dibaca orang banyak sementara aku sebagai penulisnya mungkin sudah melebur dengan tanah. Papa, jika boleh aku melihatmu… maka datanglah menuju aku lalu tinggalkan kilang minyak itu barang sebentar saja. Karena aku sangat rindu suara langkah sepatu kulitmu itu, Pa. Aku ingin sekali engkau melihat aku.
 Pa… anakmu ini tumbuh bersama huruf-huruf yang bercerita tentang kematian. Kelak aku akan menjadi seorang ibu. Lalu anak-anakku menyebutmu ‘kakek’. Tenanglah, jika aku yang bertemu dengan tanah lapang lebih dulu daripada engkau… maka berdo’alah untukku. karena maut sudah berlari untuk menemukan aku, sementara aku hanya akan menunggunya datang. Kelak… jika aku sudah benar-benar tak ada… maka tulisan ini akan tetap abadi… terngiang dan akan terus engkau baca kapan pun engkau ingin…”

-12 november-

“Aku akan sangat merindukan dunia. Aroma masakan, jalan-jalan, berlama-lama di depan Komputer dan semuanya.
Aku ikut lomba cerpen. Mungkin, aku akan pergi tapi cerpen itu tidak. Tunggulah…

              Papa melihat sekeliling kamar. Dia berjalan menuju pot di depan jendela. Kembang itu sudah rontok semua, menyisakkan batang-batang yang kurus tak terurus. Berarti sudah lama Cheri tak menyiramnya.

              Papa berjalan mundur pelan-pelan, seakan takut akan menabrak apapun yang ada di belakang. Ia memutar badan dan kembali duduk menghadap layar komputer yang masih menyala. Ditariknya laci keyboard. Lalu dia diam, memandang keyboard itu lama-lama. Kenapa harus ada darah? Ah, dia kembali teringat bahwa Cheri suka sekali mimisan. Apalagi akhir-akhir ini suhu udara sangatlah dingin. Terbayang, Cheri menulis cerita pendek sambil terus bercucuran darah dari hidungnya. Ia hanya mengusap dengan punggung tangannya sambil tidak peduli berapa banyak darah yang keluar. Darah segar itu mungkin menetes pelan-pelan dari hidungnya dan mengalir di keyboardnya. Namun, darah itu telah mengering, serupa kerak yang menempel di setiap tombol. Sungguh, ini sangat bau amis.

             Papa kembali mendorong laci keyboard dan mematikan komputer. Ia tahu, informasi terakhir adalah bahwa Cheri mengikuti lomba cerpen di internet. Papa lalu berjalan menuju ruang tamu yang sangat sepi. Dia duduk di sofa dan angin dengan genit kembali menciumi tengkuknya.

KRING-KRING-KRING

  Papa terlonjak dan memandangi telepon usang yang terus berdering. Yang benar saja? Jam satu malam seperti ini ada yang masih terjaga lalu meneleponnya?

“Halo…”

“Halo..”

“Ah! Ya Tuhan, akhirnya telepon ini diangkat juga. Ya, Saya Ted, saya hanya ingin memberitahukan bahwa Cheri menang lomba menulis cerita pendek. Naskahnya akan dibukukan. Jadi, kapan kiranya Cheri bisa bertemu dengan saya?” ucap seseorang di seberang sana, antusias.

“Tapi… Cheri. Dia hilang…”

***

                  Dunia kepenulisan begitu heboh. Berita tentang hilangnya Cheri beredar luas. Blog sebagai jejak terakhir tulisannya juga dikunjungi oleh ribuan orang. Mereka berkomentar bahwa Cheri telah memiliki firasat bahwa ia akan pergi. Membaca tulisan orang yang telah pergi, apalagi secara misterius memang sangat berbeda daripada membaca tulisan orang yang masih hidup. Tersebarlah berita bahwa Cheri si penulis itu telah hilang padahal ia baru saja memenangkan sebuah lomba menulis cerpen. Tentu saja, buku itu jadi sangat terkenal karena menyisakkan jejak pena terakhir Cheri. Buku itu laku keras. Barangkali orang-orang itu penasaran tentang apa yang ditulis Cheri dalam karya terakhirnya. Ada yang bilang bahwa Cheri pergi karena ia telah kehabisan nyawa. Ya… dia memang selalu memberikan nyawa pada setiap karya tulisnya sehingga karya itu terasa nyata. Mungkin kemarin adalah nyawa terakhir yang dapat Cheri berikan pada tulisannya. Sehingga setelah itu Cheri tak mampu lagi. Lalu ia pergi…

               Papa bertamu ke panitia penyelenggara lomba menulis untuk mengucapkan terimakasih. Terimakasih untuk apa? Entahlah
 Papa meminta izin untuk menumpang ke kamar mandi. Papa berjalan sendirian melewati lorong rumah yang sempit dan di sampingnya banyak pintu-pintu. Ada satu pintu terbuka. Tabung besar setinggi tubuhnya ada di ruangan itu. Papa melangkah dan  ketika dia berada tepat di hadapan tabung, dia merasa seperti menginjak sesuatu. Dilihatnya ke bawah dan memungutnya. Pecah! Kacamata itu pecah terinjak.

               “Ini kacamata Cheri,” lirih, dia berucap pada diri sendiri. Kacamata itu hancur terlindas sepatu kulit Papa. Kacanya pecah, tak akan mampu lagi membantu Cheri melihat dengan jelas. Juga penyangga itu tak akan lagi meninggalkan bekas di pangkal hidung. Tapi kenapa? Kenapa kacamata itu harus ada di lantai? Berarti Cheri pernah kesini. Benarkah?

             Tabung itu terisi penuh larutan yang pekat. “Ini asam sulfat yang sangat pekat.”
Papa kemudian melangkah mundur pelan-pelan. Sampai dia merasa punggungnya menabrak sesuatu.

“Apa yang anda lakukan di ruangan ini?”

“Ted? Maaf, saya tersesat.”

Mendengar jawaban Papa, Ted hanya memutar matanya, seperti sedang berfikir.

“Kalau boleh tahu, tabung itu untuk apa ya?” tanya Papa.

“Itu? Tabung untuk…”

“KEMBALIKAN ANAKKU!” dan seperti kesetanan, Papa berteriak di ruangan itu. Dia mungkin merasa lelah bertingkah seakan-akan dia tak tahu. Tabung itu
berisi asam sulfat. Papa sering melihat itu di tempat kerjanya di kilang minyak. Dan dia sangat tahu… asam sulfat sangat berbahaya.

“DIA SUDAH LARUT!”

“Larut? Jangan bilang… ah tidak… tidak…” Papa menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Dengar! Anakmu sudah larut di larutan asam sulfat. Semenjak beberapa hari yang lalu dan sekarang lihatlah tabung besar itu. Aku merendam Cheri di situ dan habislah dia.”

             Ted benar. Asam sulfat itu bening, tak sedikitpun menyisakan jasad Cheri di dalamnya. Dagingnya, tulangnya juga rambutnya telah larut.
Papa menggulingkan tabung berisi asam sulfat itu dan semua isinya mengalir di lantai. Sepatu ted dan sebagian kakinya terkena larutan itu. Kakinya langsung melepuh. Kulit-kulitnya seperti hangus tergerus, menyisakkan daging dan tulang-tulang yang telanjang.

“Bagaimana rasanya? Sakit? Cheri merasakan kesakitan lebih daripada ini!”

           Kemudian Papa pergi dari ruangan, sementara itu Ted terbaring di lantai sambil meraung-raung kesakitan. Ketika Papa melangkah, Ted menarik kaki Papa. Namun Papa mencoba melangkah lebih keras. Sampai kaki itu melempar Ted. Muka Ted menggesek ke lantai. Terbakar seperti zombie dengan muka tanpa kulit. Namun dia masih mampu berlari, menyusul Papa. Di lorong sempit itu Papa berlari menghindari kejaran Ted. Tangan Ted terus menggapai-gapai bahu Papa. Tangan yang penuh dengan daging yang melambai-lambai. Papa terus berlari sampai ia melihat istri Ted, Stephani berada tepat di hadapannya, hendak menghalangi. Papa tak peduli, ia terus berlari menabrak apapun yang ada di hadapannya.

***

          Malam itu kembang di depan jendela batangnya semakin kurus. Sudah tidak ada lagi yang menyiramnya tiap pagi. Kamar itu semakin lembab, tak ada lagi yang tiap malam sibuk dengan komputer. Juga sisa kopi ini tak akan ada lagi yang meminumnya. Papa duduk di sisi ranjang Cheri sambil memandangi kembang di depan jendela. Benar, seperti halnya kembang itu, semua orang akan gugur. Menemui tanah di mana dia ditanam. Tapi Papa rasa Cheri bukan gugur, dia dipetik. Serupa kuncup yang kemudian tangan jail memetiknya tanpa memberikan kesempatan untuk mekar. Itulah Cheri, dia dipetik bukan gugur.
Semilir angin malam kembali bergerak pelan-pelan menyayat punduk. Desirnya seolah menyampaikan pesan dari dia yang telah tiada.

Pa… mereka merendamku di larutan asam sulfat, rasanya sakit ketika menyadari tubuhku sedikit demi sedikit menghilang… larut dalam asam sulfat. Pa, dugaanku salah. Ternyata aku tak bersatu lagi dengan tanah. Tapi mereka melarutkan aku. Sampai tulangku habis. Aku seperti gula pasir yang dilarutkan dalam segelas air panas. Seperti itu, suara itu berbisik tepat di depan telinga Papa. Suara wanita yang mendesah kesakitan. Telinga Papa seolah ditiup. Entah oleh siapa.

Pa… mereka ingin buku mereka terkenal. Salah satu caranya melalui aku. Kepergian aku membuat buku itu semakin terkenal dan laris, kan? Itu memang tujuan mereka, Pa. Harus ada yang dikorbankan.” 

             Pada separuh malam biasanya kursi ini akan bergoyang. Keyboard akan bersuara ditekan-tekan pemiliknya. Di saat yang lain sudah tertidur lelap sementara dia sibuk bercerita pada aksara. Tapi itu dulu, karena separuh malam yang kini akan menjadi sangat sepi.
Sementara itu, di rumah lain penulis lain tengah berhadapan dengan layar komputer. Sampai sebuah email masuk: “kau suka menulis? kami mengadakan lomba cerpen. Akan dipilih 17 cerpen dan dibukukan. Berminat? ”


Bandung, 18 november 2012 00:41

1 comment:

  1. Aku suka cerita ini kak. Tapi masih belum bisa bayangin gimana rasanya mati karena direndam dalam asam sulfat :''(

    ReplyDelete

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan