Tristan memeluk aku sekilas dan aku bisa merasakan nafasnya di leherku. Dia berbisik, “Aku mencintai kamu, juga.”
“Kamu akan pulang larut malam lagi?” Dan bisa kudengar dengan jelas ada keengganan dari caranya bertanya.
Aku menggeleng, “Tidak. Hanya berkumpul bersama beberapa
teman wanita.” Kebohongan yang seharusnya tak perlu aku utarakan kepadanya. Karena
kami berdua sama-sama tahu kemana sebenarnya aku akan pergi.
“Jaga diri baik-baik.” Aku mendengar dia mengatakan itu ketika aku melangkah menuju pintu. Semacam aku tak memperdulikan ucapannya dan hanya terus berusaha keluar dari rumah ini.
Aku membuka pintu, melangkah keluar dengan sepatu hak tinggi ini. Aku benci ketika harus kembali menutup pintu dan melihat dia berdiri di sana, menatapku dan aku sadar bahwa ia hancur setiap aku meninggalkan rumah. Wajahnya sedih dan seakan-akan ingin mencegah setiap langkah yang aku buat semakin menjauhkan aku darinya. Namun cinta melemahkannya, dia tak bisa berbuat apapun. Dia hanya akan berdiri di balik pintu, memasang wajah malaikatnya dan membiarkan aku pergi bersenang-senang… dengan lelaki lain.
Aku mulai berjalan bersama pejalan kaki lainnya di London. Melewati
beberapa toko roti, café dan rumah-rumah dengan jendela kotak itu. Bisa kudengar
suara riuh kendaraan, manusia-manusia, dan suara sepatu hak tinggiku ini.
Dengan pikiran yang sama setiap harinya aku
melewati beberapa perempatan. Pikiran itu
tentang mengapa aku melakukan ini semua. Aku tumbuh sebagai wanita yang tidak pernah sakit hati karena aku tak membiarkan hatiku terbuka untuk itu. Hubunganku tak pernah dalam ataupun menjadi sesuatu yang serius. Aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Semuanya nampak sama dan membosankan. Untuk itulah aku tidak pernah puas hanya dengan mendapatkan satu pria. Lalu mengenai Tristan, aku tahu dia sangat mencintaiku. Dia boleh mengatakan itu semua & berkorban untukku namun itu tak ada artinya bagiku.
Aku yang dulu telah mati 5 tahun yang lalu, ketika aku masih bisa merasakan cinta lalu disia-siakan yang kemudian seseorang membiarkan semuanya seperti sebuah kematian bagi aku, jiwaku dan hatiku. Apa yang aku rasakan tak ada bedanya seperti saat seseorang menusuk aku di punggung, berulang-ulang. Aku hanya korban dari seseorang yang tak mengerti arti cinta. Aku wanita dengan hati yang rusak, seseorang telah melakukannya dan ia tak bisa memperbaikinya lagi. Dia mengajarkan aku semua ini, bagaimana cara membuat oranglain jatuh cinta lalu kurusak hatinya. Aku benar-benar paham bagaimana caranya karena dia telah melakukan itu padaku untuk yang pertama kalinya. Seperti sekarang ini, dia berhasil membuat aku menjadi seseorang yang sama sepertinya. Tak berperasaan.
Seseorang itu hanyalah lelaki dari masa lalu dan kuanggap dia sudah mati bersama Jeice yang dulu.
Aku tekankan lagi pada diriku sendiri bahwa aku hanyalah korban. Hanya korban...
Aku membuka pintu rumah Matt tanpa harus mengetuk ataupun menekan bel karena aku sudah menganggap rumah ini seperti milikku.
"Matt?"
Aku memijit pelipisku. Aku tahu dengan bermain-main dengan banyak lelaki seperti ini hanya akan merendahkan harga diriku. Aku hilang kendali. Hatiku boleh rusak namun aku tetap wanita, makhluk yang sudah menjadi pekerjaannya menggunakan hati daripada logika. Dan yang sekarang yang aku rasakan adalah hilang pegangan. Aku tidak tahu persisnya siapa yang benar-benar aku sayangi. Rasanya kosong.
Misalkan ketika hari ini aku katakan mencintainya namun esoknya aku lupa bahwa aku mencintainya. Cinta? Cinta yang seperti apa?
"Jeice! Kemarilah!" Aku terperanjat. Nafasku tak teratur untuk sesaat sebelum akhirnya kulangkahkan kakiku menuju meja makan.
"I love you," ucapku seraya duduk di hadapannya.
"Love you too," balasnya.
"Hmm, roti isi ini untukku?"
"Ya,"
Aku tersenyum menatap lelaki dengan mata berwarna hazel di hadapanku ini. Dia memakai kaos oblong, kalung rantai ukuran kecil berwarna perak melingkar di lehernya, dan bintik-bintik janggut yang belum sempat dicukur menghiasi dagunya. Dia lumayan, dan aku merasa sangat bangga bisa menjeratnya. Hahaha. Aku salut pada diriku sendiri karena bisa mendapatkan lelaki semacam ini.
"Oh ya, aku menemukan sesuatu," ucapnya seraya menggigit roti isi dengan tegas.
"Apa?"
"Lihatlah mata abu-abu pada dirimu. Sangat polos," jawabnya.
"Ya, aku tahu. Aku melihatnya setiap aku bercermin."
"Dan the point is... aku benar-benar tak menyangka bahwa seseorang dengan mata polos seperti itu bisa melakukan hal semacam ini." Dari caranya berbicara ia terdengar jelas menahan emosi.
"Maksudmu?"
"Aku tahu, Jeice. Aku tahu semuanya! Aku tahu bahwa aku bukanlah satu-satunya lelaki yang kaukatakan kepadanya bahwa kamu mencintainya."
Aku tercenung dan mencoba memahami semua yang ia katakan.
Darimana ia tahu ?
"Lihatkah kuku-ku yang panjang ini! Aku memanjangkannya agar bisa mencakarmu!" Kelakarnya.
Aku dapat mendengar engahan nafasku sendiri. Aku tidak tahu harus berkata apa. Manusia di hadapanku ini rasanya lebih mengerikan ketimbang monster.
Aku melihatnya bangkit dan menarik tanganku dengan kasar. Dia membawaku ke sebuah ruangan yang gelap.Dinyalakannya lampu gold yang temaram. Samar dapat kulihat dinding penuh dengan foto. Astaga, itu fotoku dengan banyak lelaki yang berbeda. Kertas-kertas foto itu kebanyakan robek, ada yang hangus sebagian, dan ada pula yang tertancap anak panah.
"Lihatlah ini semua!" teriaknya seraya memukul-mukul dinding.
Wanita jalang sepertiku ternyata bisa merasakan takut. Ternyata seperti inilah rasanya. Ini di luar teori! Seharusnya Matt lemah karena ia mencintaiku. Tapi yang kulihat sekarang adalah ia menjadi bringas dan penuh dendam.
"Maaf!" teriakku, rasanya seperti menghabiskan benyak energi untuk melakukan itu. Aku mengepalkan tangan di samping tubuhku, kupejamkan mata kuat-kuat, dan menangis sejadi-jadinya.
Aku kembali membuka mata dan melihat Matt yang wajahnya begitu frustasi.
"Kamu mencintai aku, kan? katakan itu, Matt! Katakan bahwa kamu mencintai aku dan tidak akan menyakitiku!" teriakku.
Dia meremas rambutnya. Kemudian membuka laci dengan terburu-buru. Dan ketika dia membalikkan badannya ke arahku, tangannya telah memegang pistol yang ia arahkan kepadaku.
"Benar, aku mencintai kamu. Sangat mencintai dan itu membuat aku hampir gila! Aku sulit mengendalikan diri, itu semua gara-gara kamu, Jeice!"
"Mengapa kamu menanggap kisah ini begitu serius? Kita masih muda! Nikmatilah!" Entah mengapa kata-kata gila itu spontan meluncur dari mulutku.
"Aku menganggap ini semua serius karena cinta bukan untuk main-main! Setiap hari kamu katakan bahwa kamu mencintaiku. Tapi, itu semua tak lebih dari omong kosong. Kata-kata itu hilang harganya karena kamu mengatakannya ke banyak lelaki!"
Aku melihat alisnya yang mengkerut, matanya yang lelah, penuh rasa penyesalan. Mungkin ia menyesal telah mencintai wanita semacam aku.
"Maaf," ucapku, nyaris berbisik.
Dengan nafas yang tak beraturan dan langkah yang gemetar aku mendekatinya.
"Simpan pistol ini, Matt."
Dia, lelaki tegap berotot yang lebih tinggi daripada aku ini membuatku harus mengangkat wajah untuk melihat sisa air mata yang tersisa di pelupuk matanya.
Aku memiringkan wajahku, menatapnya dalam. "Maaf."
Tangannya masih tegang memegang pistol. Kulihat tatapannya kosong. Lalu dia menggelengkan kepala.
"Pergi dari sini sekarang juga," ucapnya.
"Tapi, Matt.."
"Cepat pergi, Jeice! Sebelum aku kehilangan kendali dan benar-benar menembakmu. Cepat pergi! Cepat lari dan bersembunyilah! Jangan sampai aku menemukanmu, Jeice! Cepat lari, Jeice! Lari secepat mungkin!"
Yang terlintas di pikiranku adalah bahwa Matt ini benar-benar aneh. Dia seperti seorang psikopat aku rasa. Sekarang yang bisa aku simpulkan adalah dia begitu berhasrat ingin membunuhku namun ya... cinta itu bekerja di hatinya. Itu yang membuatnya lemah. Dia seperti sedang menahan luapan itu dan berusaha begitu keras agar aku jangan sampai menjadi korban.
Aku mundur perlahan kemudian keluar dari rumah itu secepat yang aku bisa. Suara letupan-letupan terdengar menyusul, juga suara gaduh langkah yang mengejarku. Itu pasti Matt dan jiwa psikopatnya.
Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah berlari secepat yang aku bisa.
Aku keluar dari rumah Matt dan berlari. Aww, sial! Sepatu sialan! Kakiku terkilir, aku terhuyung dan jalan kasar ini telah menggores lutut dan siku-ku.
"Aww," aku meringis dan melihat ke belakang. Astaga, si gila itu sudah keluar dari rumahnya dan berjalan mendekat.
Aku belum mau mati sekarang. Aku meraba-raba jalan, kulepas sepatu dan memaksakan diri untuk kembali berlari.
Entah sudah sejauh apa, aku tak berani melihat ke belakang. Aku kerahkan semua kemampuanku untuk menghindarinya. Syukurlah sekarang aku sudah memasuki area yang ramai. Aku dapat menelusup ke sebuah rombongan yang tengah berjalan. Bisa kupastikan ia tak melihatku. Dasar gangguan jiwa!
Baiklah, yang sekarang aku pikirkan adalah pulang untuk beristirahat dan mengobati luka-luka ini. Tristan langsung terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu mengapa, dari sekian lelaki aku pilih dia sebagai tempat pulang. Aku pikirkan itu sambil terus berjalan. Hmm, Tristan? Ya, dia lelaki yang lebih awal masuk ke hidupku daripada lelaki yang lainnya. Dialah yang paling lama bertahan menghadapi aku.
Kulihat rumah itu hanya tinggal beberapa meter lagi. Kupercepat langkah dan membuka pintu. Rumah ini sepi sekali.
"Jeice?" suara itu mendekat bersama pemiliknya.
"Kau terlihat buruk," ujarnya seraya menatapku dari atas hingga bawah.
"Sepatumu mana? Apa yang terjadi?" Aku hanya bisa mengangkat bahu. Sedang dalam mood tidak ingin membahas itu semua.
Baiklah, yang sekarang aku pikirkan adalah pulang untuk beristirahat dan mengobati luka-luka ini. Tristan langsung terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu mengapa, dari sekian lelaki aku pilih dia sebagai tempat pulang. Aku pikirkan itu sambil terus berjalan. Hmm, Tristan? Ya, dia lelaki yang lebih awal masuk ke hidupku daripada lelaki yang lainnya. Dialah yang paling lama bertahan menghadapi aku.
Kulihat rumah itu hanya tinggal beberapa meter lagi. Kupercepat langkah dan membuka pintu. Rumah ini sepi sekali.
"Jeice?" suara itu mendekat bersama pemiliknya.
"Kau terlihat buruk," ujarnya seraya menatapku dari atas hingga bawah.
"Sepatumu mana? Apa yang terjadi?" Aku hanya bisa mengangkat bahu. Sedang dalam mood tidak ingin membahas itu semua.
"Dan... hmm.. ini masih jam 10 pagi," ujarnya lagi.
"Ya? Memangnya kenapa kalau ini masih jam 10?" tanyaku.
"Kamu biasanya pulang larut malam."
"Ya, tapi tidak untuk kali ini."
Aku melihat wajahnya, khawatir dan bahagia tercampur di sana. Aku jadi sadar bahwa kemana pun hati kita pergi, sejauh apapun itu, pasti akan tetap menemukan tempat pulang. Mungkin ini yang disebut rumah bagiku. Mata yang ada di hadapan aku ini menyimpan begitu banyak pengorbanan. Dia tahu aku tidak setia namun ia tetap bertahan dengan bodohnya. Tiba-tiba saja aku bisa merasakan kesakitan yang ia alami ketika aku bersenang-senang dengan lelaki lain. Aku sangat merasa bersalah dan tidak bangga atas itu semua.
"Maaf," aku tidak tahu, namun telingaku mendengar ucapan aneh itu dari bibirku sendiri.
"Maaf untuk?" tanyanya.
"Untuk telah jahat kepadamu. Kamu terlalu baik untuk aku permainkan. Aku pulang, Tris. Aku pulang dari semua laki-laki itu. Seperti seorang anak kecil yang berlindung di punggung lelaki dewasa. Aku kembali padamu, meminta perlindunganmu dari seorang psikopat yang aku temui pagi tadi."
Tristan tersenyum dan membuka lengannya. Membiarkan aku merasa aman diantara pelukan.
"Tak akan aku biarkan seseorang menyakitimu, Jeice."
"Ya, aku tahu itu."
Detik ini aku merasa damai. Aku menyadari dengan amat sangat bahwa sebanyak apapun lelaki yang mengelilingi seorang wanita namun yang benar-benar ada di hati tetaplah hanya satu lelaki. Pada akhirnya hanya ada satu pria yang permanen sebagai pasangan hidup kita. Yang lainnya hanyalah pasangan untuk sementara.
Dia memeluk semakin erat, seolah-olah menyambut kedatangan aku ke hatinya. Wanita pemain hati ini sudah menyesal.
"Aku tidak akan membiarkan seorang pun menyakitimu, Jeice. Karena akulah yang akan melakukannya lebih dulu."
Nafasku tercekat. Tristan? Kamu bukan bagian dari psikopat itu kan, sayang?
Tanganku yang semula melingkar di pinggangnya kini perlahan jatuh. Bisa kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di punggungku. Semakin lama semakin terasa banyak membasahi punggungku. Tristan mendorong bahuku pelan dan menggenggamnya. Dia lurus-lurus menatapku. Namun pandangaku terasa kabur. Perih di lutut dan siku-ku terasa tak ada apa-apanya dibandingkan kesakitan di punggungku.
Aku mencoba menatap wajah Tristan sefokus mungkin. wajahnya dingin. Aku ambruk dan dia menahanku di tangannya.
Aku melihat langit-langit ruang tamu ini. Tristan melepaskan pisau yang menancap di punggungku. Sakit sekali.
"I love you," itu kata-kata yang biasa aku ucapkan kepadanya. Namun percayalah, yang terakhir ini benar-bebar dari hatiku.
"Kamu hebat Tris. Kamu berhasil membuat wanita sepertiku jatuh cinta."
"JEICE!" dia berteriak sambil memelukku. Mulai kudengar isak tangisnya.
Segala macam pelanggaran yang aku lakukan rasanya ikut melebur bersama kesakitan ini. Aku melihat semuanya memudar. Suara tangis Tristan sedikit demi sedikit tidak bisa aku dengar. Badan yang Tristan guncang-guncangkan ini terasa ringan... melepas jiwa yang selama ini ditanggungnya.
Aku ini hanya korban..
minggu, 19 mei 2013 11:43
masih senang menulis adegan berdarah-darah, hehe.
ReplyDeleteoke, saran ya teh? harusnya bahasa asing di italic, dan alurnya menurutku rada kecepetan. hm, dan soal puisinya, bagus kok, aku suka. tapi mungkin karna puisi itu, fokusnya jadi kebagi-bagi, hehehe.
gak bisa komentar banyak, keep writing ajalah.
see ya!
with love, Agnes
bagus rien, perpaduan antara romance sama psikis. unik :)
ReplyDeletecoba jadiin novel, pasti seru
baguus.. liat blog ini karena ngereview radiance. lagi suka novelnya hehe.
ReplyDeletekeep writing yah, udah seru ko yang itu.
follow blog aku juga yah
dilarestu.blogspot.com
awwww makasih semuanya udah luangin waktu untuk baca :D
ReplyDeletemakasih agnes,
oh iya ko, ini juga ceritanya kependekan sih ga dijelasin semuanya haha. sip deeh
dila, makasih udah baca. sipp.. aku follow, nice to know youu. salam kenal^^