Wednesday, December 18, 2013

NOVEMBER'S CASE





Ikuti aku, yuk?

Author :  Maya Partita
Genre : Thriller, romance, school life
Rated: PG
Leight : Chapter
Summary:
Aku pernah mendengar bahwa banyak sekali kasus pembunuhan tak terpecahkan yang terjadi pada bulan November. Bukan bermaksud apa-apa … aku hanya ingin membuktikan apakah itu benar?

“Mari membuat kasus ini tak terpecahkan.”

Atau setidaknya … buat mereka menyimpulkan sebuah kekeliruan ….

***






-Chapter 1-


PUNGGUNGNYA panas semacam disungut api. Bulir-bulir keringat menetes, merembes pada kemeja sekolah yang berwarna putih tipis. Dia berharap tak satu orang pun menyadari punggungnya yang basah. Ia beruntung, karena memang tak ada yang menyadari. Tak ada yang peduli. Tak ada yang rela meluangkan waktu hanya untuk memperhatikan.

“Monster! Nggak ada yang mau jadi temen kamu!”

Dia menunduk semakin dalam. Hanya bisa memandangi meja kayu penuh dengan coretan siswa-siswi yang pernah memakainya dahulu. Tangannya ia lipat di meja. Berusaha sekuat tenaga tak menghiraukan kata-kata kasar yang mengular mesra di seluruh tubuhnya.

 “Kamu bisa kan berhenti bertingkah sok polos kayak gitu? Hahaha!”

Kalau bisa, dia lebih memilih dijerumuskan dalam kobaran api yang nyata dan tewas di dalamnya. Daripada harus seperti ini.

“Boy! Pacar kamu lagi dibully tuh! Hahaha!”

“Ehh, sialan! Mana sudi punya pacar kayak begitu! Hahaha!”

Kata-kata yang mereka lontarkan adalah api tembus pandang. Yang membakar jiwa, tanpa ada yang bisa memadamkannya. Dia tidak mati, namun luka-luka itu membuat kematiannya terasa amat lambat. Sehingga rasa sakitnya terasa begitu lama dan jelas.

Membunuh pelan-pelan. Itu kata yang tepat.

Dilempari sampah dan kotoran pun rasanya lebih beruntung. Siapa pun masih bisa membersihkannya. Namun, bibir yang selalu mengucapkan sumpah serapah—siapa yang dapat membersihkannya? Air pun tak cukup.

“Sst! Nanti tuan putri nangis! Hahahahaha!”

Levie tahu benar bagaimana semua ini terasa. Jantungnya akan berdebar, punggungnya basah oleh keringat lalu langit-langit kelas akan terasa lebih tinggi dari semestinya. Teman-temannya tertawa. Levie tak bisa begitu mendengar jelas apa yang mereka lontarkan. Yang pasti, itu adalah kata-kata yang tidak pantas. Apalagi untuk diucapkan di sekolah.

Teman, bantu aku.

Teman? Tapi dia tidak punya teman!

Seluruh kelas memandangnya sebagai manusia aneh. Ups, mungkin bukan manusia. Melainkan seonggok daging dengan nyawa. Tanpa hati. Mereka lupa bahwa orang yang mereka permainkan adalah mempunyai hati, yang sudah pasti masih bisa merasakan sakit.

Namun, mereka tak peduli.

“Guys, masih inget wajah si Levie waktu bu Evi nyuruh dia ngerjain di depan?”

“TOLOL banget! HAHAHAHA!”

“Kalau gue jadi dia, mending bunuh diri aja deh sekalian! Hidup juga cuma bikin malu!”

“HAHAHA, kalau gue sih mendingan operasi plastik dulu. Baru deh bunuh diri! HAHAHA!”

“Lev! Kamu tuh harusnya banyak-banyak ngaca! Biar kamu tahu seberapa pentingnya kehadiran kamu di kelas ini! Mau tau? Biar aku kasih tau nih ya! Kamu tuh kayak huruf E terakhir di nama kamu! L-E-V-I-E, nggak dibaca! Nggak penting!”

Kelas semakin riuh. Gema tawa berdenging di telinga Levie. Dia benci pergantian jam. Seisi kelas pasti akan sibuk mengoceh tentang dirinya selagi guru tidak ada. Semua orang tertawa. Bahkan mungkin, ini jadi bagian paling favorit di antara sembilan jam waktu sekolah bagi mereka.

Levie hanya bisa duduk di bangkunya yang hanya ada satu kursi. Bukan dua kursi seperti yang lain. Tak ada yang mau jadi teman sebangkunya. Jadi, Levie hanya akan menelan kata-kata itu sendiri. Tanpa teman berbagi.

Levie diam. Bertingkah seolah-olah dia memang tidak mengerti sumpah serapah yang mereka ucapkan. Padahal dia mengerti. Ini bukan salahnya, memang. Apakah kesalahan kalau dia adalah seorang campuran Korea dan Belanda?

Dia bukan monster. Dia juga tidak perlu operasi plastik untuk memperbaiki penampilannya. Karena sejujurnya dialah wanita paling cantik dan bersinar di kelas ini. Hanya saja, teman-temannya tidak bisa menghargai perbedaan. Pernah dengar wanita cantik yang dibully habis-habisan hanya karena ia cantik? Itulah yang sedang ia alami di sini. Terlalu jelek kau akan dibully, terlalu cantik pun begitu. Masalahnya hanya karena mereka iri dan tak bisa melihat sesuatu yang berbeda dengan pribadi mereka. Aneh? Memang.

“Dia nggak ngerti bahasa Indonesia, kok! Tenang aja!”

Salah.

Sebenarnya dia mengerti. Sangat mengerti. Setiap kata-kata yang menusuk dadanya, sesungguhnya dia mengerti.

Tapi, anak-anak itu suka bertingkah seenak perut. Mereka tidak berpikir. Mereka hanya melihat refleksi diri Levie yang jarang berbicara, Levie yang selalu termenung beberapa detik ketika ditanya guru, Levie yang berbicara dengan kata-kata baku seperti kamus berjalan. Mereka hanya melihat itu. Tanpa tahu, bahwa sesungguhnya Levie mengerti apa yang mereka ucapkan.

Levie pandai bersandiwara. Dia menunduk dalam. Memandangi meja, buku paket dan berlagak seolah dia sedang membaca. Dia hanya membiarkan teman-temannya tertawa dan menganggapnya sebagai si dungu yang tak tahu apa-apa.

“Levie, kenapa kamu nggak ngomong-ngomong, sih?”

Levie mengangkat wajahnya. Dipandangnya lurus-lurus mata milik Natasha. Wanita itu menumpukan telapak tangannya ke meja Levie. Bertingkah seperti dialah penguasa.

Mata Levie yang polos itu berkedip pelan beberapa kali. Seperti sedang mencerna kata-kata yang Natasha ucapkan.

Kening levie ditutupi poni lurus kecoklatan. Menambah kesan seperti boneka. Semua orang di sekolah tahu bahwa ia adalah keturunan campuran. Jadi, tak masalah baginya mempunyai rambut berwarna kecoklatan. Toh, itu warna alami.

Bisa kaubayangkan? Seorang wanita dengan mata besar berwarna abu-abu. Mata besar namun tak memiliki lipatan seperti mata orang korea pada umumnya. Bulu mata yang lebat membingkainya. Sungguh, itu adalah mata yang sangat indah. Bening. Seolah-olah kaubisa mendapatkan sumber air di dalamnya. Pipinya yang putih kadang kemerahan dan akan terangkat indah kalau dia sedang tersenyum. Dia yang secantik boneka membuat banyak teman-teman sekelasnya iri. Itulah mengapa provokator di kelas ini terdiri dari 2 wanita—yang dulunya adalah yang paling cantik di kelas. Dan harus merasa turun jabatan begitu Levie datang sebagai murid baru.

Natasha dan Clianta yang dulu sering bersaing, kini bekerjasama untuk membuat Levie menderita. Jelas, mereka iri pada Levie yang benar-benar cantik seperti boneka hidup. Polos dan bersinar.

“Apa kamu dapat mengulangi perkataanmu? Aku kurang paham, Natasha.”

“Ah! Yang bener aja nih bocah! Ohhh, iya juga sih! kamu kan nggak ngerti bahasa Indonesia yang gaul!” Natasha berbicara uring-uringan sembari melipat tangannya di dada.

“Yaudah sih ya. Kasih tau aja arti yang tadi kamu omongin, Nat! Maklum dikit napa. Hahahaha. Puas lu dikerjain tuh bocah,” seloroh Clianta, merangkul pundak Natasha.

Dua sejoli ini berubah semakin mesra semenjak kedatangan Levie. Padahal dulu, kentara sekali mereka sering terlibat adu mulut dan adu jotos.

“Ehm. Mengapa kamu tidak pernah berbicara? Mengapa kamu diam saja, Levie?”

Mencemooh. Itulah yang terdengar dari nada bicara Natasha.

“Karena—“

 TBC

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan