Ikuti aku, yuk?
Author : Maya Partita
Genre : Thriller, romance, school life
Rated: PG
Leight : Chapter
Summary:
Aku pernah mendengar bahwa banyak sekali kasus pembunuhan tak terpecahkan yang terjadi pada bulan November. Bukan bermaksud apa-apa … aku hanya ingin membuktikan apakah itu benar?
“Mari membuat kasus ini tak terpecahkan.”
Atau setidaknya … buat mereka menyimpulkan sebuah kekeliruan ….
***
-Chapter 1-
PUNGGUNGNYA panas semacam disungut api. Bulir-bulir keringat
menetes, merembes pada kemeja sekolah yang berwarna putih tipis. Dia berharap
tak satu orang pun menyadari punggungnya yang basah. Ia beruntung, karena
memang tak ada yang menyadari. Tak ada yang peduli. Tak ada yang rela
meluangkan waktu hanya untuk memperhatikan.
“Monster! Nggak ada
yang mau jadi temen kamu!”
Dia menunduk semakin dalam. Hanya bisa memandangi meja kayu
penuh dengan coretan siswa-siswi yang pernah memakainya dahulu. Tangannya ia lipat
di meja. Berusaha sekuat tenaga tak menghiraukan kata-kata kasar yang mengular
mesra di seluruh tubuhnya.
“Kamu bisa kan berhenti bertingkah sok polos
kayak gitu? Hahaha!”
Kalau bisa, dia lebih memilih dijerumuskan dalam kobaran api
yang nyata dan tewas di dalamnya. Daripada harus seperti ini.
“Boy! Pacar kamu lagi
dibully tuh! Hahaha!”
“Ehh, sialan! Mana
sudi punya pacar kayak begitu! Hahaha!”
Kata-kata yang mereka lontarkan adalah api tembus pandang.
Yang membakar jiwa, tanpa ada yang bisa memadamkannya. Dia tidak mati, namun
luka-luka itu membuat kematiannya terasa amat lambat. Sehingga rasa sakitnya
terasa begitu lama dan jelas.
Membunuh pelan-pelan. Itu kata yang tepat.
Dilempari sampah dan kotoran pun rasanya lebih beruntung.
Siapa pun masih bisa membersihkannya. Namun, bibir yang selalu mengucapkan
sumpah serapah—siapa yang dapat membersihkannya? Air pun tak cukup.
“Sst! Nanti tuan putri
nangis! Hahahahaha!”
Levie tahu benar bagaimana semua ini terasa. Jantungnya akan
berdebar, punggungnya basah oleh keringat lalu langit-langit kelas akan terasa
lebih tinggi dari semestinya. Teman-temannya tertawa. Levie tak bisa begitu
mendengar jelas apa yang mereka lontarkan. Yang pasti, itu adalah kata-kata
yang tidak pantas. Apalagi untuk diucapkan di sekolah.
Teman, bantu aku.
Teman? Tapi dia tidak punya teman!
Seluruh kelas memandangnya sebagai manusia aneh. Ups,
mungkin bukan manusia. Melainkan seonggok daging dengan nyawa. Tanpa hati.
Mereka lupa bahwa orang yang mereka permainkan adalah mempunyai hati, yang
sudah pasti masih bisa merasakan sakit.
Namun, mereka tak peduli.
“Guys, masih inget
wajah si Levie waktu bu Evi nyuruh dia ngerjain di depan?”
“TOLOL banget!
HAHAHAHA!”
“Kalau gue jadi dia,
mending bunuh diri aja deh sekalian! Hidup juga cuma bikin malu!”
“HAHAHA, kalau gue sih
mendingan operasi plastik dulu. Baru deh bunuh diri! HAHAHA!”
“Lev! Kamu tuh harusnya banyak-banyak ngaca! Biar kamu tahu
seberapa pentingnya kehadiran kamu di kelas ini! Mau tau? Biar aku kasih tau
nih ya! Kamu tuh kayak huruf E terakhir di nama kamu! L-E-V-I-E, nggak dibaca!
Nggak penting!”
Kelas semakin riuh. Gema tawa berdenging di telinga Levie.
Dia benci pergantian jam. Seisi kelas pasti akan sibuk mengoceh tentang dirinya
selagi guru tidak ada. Semua orang tertawa. Bahkan mungkin, ini jadi bagian
paling favorit di antara sembilan jam waktu sekolah bagi mereka.
Levie hanya bisa duduk di bangkunya yang hanya ada satu
kursi. Bukan dua kursi seperti yang lain. Tak ada yang mau jadi teman
sebangkunya. Jadi, Levie hanya akan menelan kata-kata itu sendiri. Tanpa teman
berbagi.
Levie diam. Bertingkah seolah-olah dia memang tidak mengerti
sumpah serapah yang mereka ucapkan. Padahal dia mengerti. Ini bukan salahnya,
memang. Apakah kesalahan kalau dia adalah seorang campuran Korea dan Belanda?
Dia bukan monster. Dia juga tidak perlu operasi plastik
untuk memperbaiki penampilannya. Karena sejujurnya dialah wanita paling cantik
dan bersinar di kelas ini. Hanya saja, teman-temannya tidak bisa menghargai
perbedaan. Pernah dengar wanita cantik yang dibully
habis-habisan hanya karena ia cantik? Itulah yang sedang ia alami di sini.
Terlalu jelek kau akan dibully,
terlalu cantik pun begitu. Masalahnya hanya karena mereka iri dan tak bisa
melihat sesuatu yang berbeda dengan pribadi mereka. Aneh? Memang.
“Dia nggak ngerti
bahasa Indonesia, kok! Tenang aja!”
Salah.
Sebenarnya dia mengerti. Sangat mengerti. Setiap kata-kata
yang menusuk dadanya, sesungguhnya dia mengerti.
Tapi, anak-anak itu suka bertingkah seenak perut. Mereka
tidak berpikir. Mereka hanya melihat refleksi diri Levie yang jarang berbicara,
Levie yang selalu termenung beberapa detik ketika ditanya guru, Levie yang
berbicara dengan kata-kata baku seperti kamus berjalan. Mereka hanya melihat
itu. Tanpa tahu, bahwa sesungguhnya Levie mengerti apa yang mereka ucapkan.
Levie pandai bersandiwara. Dia menunduk dalam. Memandangi
meja, buku paket dan berlagak seolah dia sedang membaca. Dia hanya membiarkan
teman-temannya tertawa dan menganggapnya sebagai si dungu yang tak tahu
apa-apa.
“Levie, kenapa kamu nggak ngomong-ngomong, sih?”
Levie mengangkat wajahnya. Dipandangnya lurus-lurus mata
milik Natasha. Wanita itu menumpukan telapak tangannya ke meja Levie.
Bertingkah seperti dialah penguasa.
Mata Levie yang polos itu berkedip pelan beberapa kali.
Seperti sedang mencerna kata-kata yang Natasha ucapkan.
Kening levie ditutupi poni lurus kecoklatan. Menambah kesan
seperti boneka. Semua orang di sekolah tahu bahwa ia adalah keturunan campuran.
Jadi, tak masalah baginya mempunyai rambut berwarna kecoklatan. Toh, itu warna
alami.
Bisa kaubayangkan? Seorang wanita dengan mata besar berwarna
abu-abu. Mata besar namun tak memiliki lipatan seperti mata orang korea pada
umumnya. Bulu mata yang lebat membingkainya. Sungguh, itu adalah mata yang sangat
indah. Bening. Seolah-olah kaubisa mendapatkan sumber air di dalamnya. Pipinya
yang putih kadang kemerahan dan akan terangkat indah kalau dia sedang
tersenyum. Dia yang secantik boneka membuat banyak teman-teman sekelasnya iri.
Itulah mengapa provokator di kelas ini terdiri dari 2 wanita—yang dulunya
adalah yang paling cantik di kelas. Dan harus merasa turun jabatan begitu Levie
datang sebagai murid baru.
Natasha dan Clianta yang dulu sering bersaing, kini
bekerjasama untuk membuat Levie menderita. Jelas, mereka iri pada Levie yang
benar-benar cantik seperti boneka hidup. Polos dan bersinar.
“Apa kamu dapat mengulangi perkataanmu? Aku kurang paham,
Natasha.”
“Ah! Yang bener aja nih bocah! Ohhh, iya juga sih! kamu kan
nggak ngerti bahasa Indonesia yang gaul!” Natasha berbicara uring-uringan
sembari melipat tangannya di dada.
“Yaudah sih ya. Kasih tau aja arti yang tadi kamu omongin,
Nat! Maklum dikit napa. Hahahaha. Puas lu dikerjain tuh bocah,” seloroh
Clianta, merangkul pundak Natasha.
Dua sejoli ini berubah semakin mesra semenjak kedatangan
Levie. Padahal dulu, kentara sekali mereka sering terlibat adu mulut dan adu
jotos.
“Ehm. Mengapa kamu tidak pernah berbicara? Mengapa kamu diam
saja, Levie?”
Mencemooh. Itulah yang terdengar dari nada bicara Natasha.
“Karena—“
TBC
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan