Karya: Peacereva
Keluargaku pernah menyumbang satu bendera untuk kampung
ini. Tidak! Ini Bukan bendera untuk acara 17 Agustus atau pun penghargaan. Izinkan
aku menceritakan semuanya kali ini.
Aku masih sangat kecil ketika pamanku menjemputku di sekolah. Padahal itu bukan jam pulang. Motor tuanya berjalan perlahan melewati jalan desa . Kugenggam erat jaket itu agar aku tak terjatuh. Angin menamparku dan bermain dengan rambut hitamku. Guncangan semakin kurasakan ketika motor itu melewati jalan rusak yang berdebu. Kugenggam jaket itu lebih erat. Aku tak mengerti. Aku hanya membiarkan angin itu menamparku lagi. Kepalaku bergoyang mengikuti bentuk jalan yang bergelombang. Itu kebun warga, sawah, rumah bilik, pohon kelapa yang daunnya menjuntai, semuanya telah aku lewati.
Mungkin ia tak mendengar. Mungkin hanya jaket parasutnya yang menggelembung yang mendengar
bisikanku.
“Ah,” aku mendesah dan kembali menggenggam jaketnya lebih erat.
***
“Sabar ya, Orion,” Mama berbicara padaku seperti meminta belas kasihan. Ia berlutut menyamakan tinggi kepalanya dengan kepalaku.
“Sabar?” aku tahu kini wajahku membentuk guratan yang aneh. Aku memang bingung. Sabar? Tapi bersabar untuk apa? Dia menyentuh wajahku pelan. Senyum teduh muncul di bibirnya tapi ada satu yang membuatku mengernyit. Itu, sisa air mata di sudut matanya.
“Papa udah pulang. Dia sembuh, dia kembali ke pemiliknya. Dia nggak bakal ngerasain sakit lagi, Ion. ”
Tubuh kurusku diraihnya. Hangat. Kudengar suara tangis
yang teredam di pundakku. Badan Mama
mulai bergerak naik turun seiring nafasnya yang tersendat. Daguku bertengger di
pundaknya. Aku memeluknya dan berusaha membagi hangat yang aku punya.
“Ma, Papa kenapa?”
Tidak ada jawaban.
***
“Orion,” suara lelaki dewasa itu merasuki telingaku.
Aku di mana? Ini bukan desa. Semuanya memakai baju putih. Mereka bersinar dan berseri-seri. Tak ada yang bermuka masam. Mereka mungkin bahagia karena tinggal di tempat yang begitu indah. Semua yang ada di sekitarku seperti kapas atau mungkin awan? Langitnya putih dan tak terlihat ujungnya. Sedangkan alasnya terasa bersih dan gembur. Entahlah. Aku mendapati kakiku telanjang dan langkahku terasa ringan.
“Orion,” suara itu lagi.
Aku mencari di antara keramaian. Mereka lebih banyak dari pada yang aku pikirkan. Semuanya memakai baju putih dan banyak orang berwajah mirip di sini.
“Orion,” kini kurasa suara itu semakin dekat. Aku menggerakan kepalaku ke segala arah dengan cepat. Tanganku mencoba membelah kerumunan, mereka menepi sedikit demi sedikit dan tersenyum.
“Orion,” itu dia tepat di depanku!
Langkahku terasa lebih lebar dan cepat dari sebelumnya. Dan ketika kami berhadapan, aku hanya bisa tertegun memandangnya. Mata coklat itu masih bening bahkan lebih bening daripada terakhir aku melihatnya. Dia telah mewarisi mata coklat itu padaku. Dia yang membuat mataku berwarna coklat sama sepertinya.
Kepalaku sedikit mendongkak melihatnya yang dua jengkal
lebih tinggi daripada aku. Dia tersenyum.
Itu senyuman yang sudah bertahun-tahun tak aku lihat dari bibirnya. Hanya
sesekali aku lihat di album foto keluarga ketika aku rindu dan ketika aku
merasa takut melupakan wajah itu.
“Pa, boleh aku peluk Papa?”
“Boleh,” ia merentangkan tangannya dan menyambutku. Aku menyandarkan kepalaku tepat di bidang dadanya. Suara degup jantung itu dapat kudengar jelas. Denyutnya tak karuan. Begitu kencang kemudian secara tiba-tiba melambat . Tapi aku merasa damai ketika mendengar degup jantungnya. Berarti ia masih hidup.
Ia melepas pelukan itu dengan mendorong kedua pundakku pelan. Kulihat seseorang di sisinya.
“Itu siapa, Pa?”
Kulihat wajah mereka bergantian. Mereka benar-benar mirip! Seperti kembar.
“Ini amal Papa, Ion. Nanti kamu juga bakal punya kembaran kayak gini. Amal Papa selama hidup udah sebesar ini. Amal kamu juga bakal nolong kamu. Amal kamu udah sebesar apa, Ion?”
Aku menggeleng dan Papa tersenyum, “Jadi anak yang selalu taat sama Allah, ya. Berbuat baik kepada siapapun. Buatlah kembaranmu berguna. Buat dia tumbuh besar kayak kamu. Jangan biarkan dia jadi bayi selamanya. Karena seorang bayi tidak bisa membantu kamu.”
“Tumbuh besar? Itu berarti seseorang yang mati ketika bayi berarti amalnya masih sebesar bayi?”
“Bukan itu maksud Papa. Tapi, buatlah amal itu semakin besar dengan berbuat baik dan taat pada Allah.”
“Iya, Pa.” kupeluk lagi ia dan bersandar di dadanya. Jantung itu masih kudengar degupnya meski selalu tak beraturan.
“Iya, Pa. Orion janji,” ucapku lagi di tengah pelukan itu. Aku yakin dia masih hidup.
Deg deg… degdegdeg… deg…
Aku takut pergi dan melupakan semuanya. Aku masih ingin mendengar denyutan itu. Bertahun-tahun tak bertemu cukup membuat aku rindu. Aku masih ingin di sini, memeluknya dan merasakan kehadirannya.
Kuhirup aroma tubuhnya yang khas. Ini wangi pengharum
pakaian yang selalu Mama pakai. Semuanya masih sama, aroma floral pink. Dulu
kami sekeluarga selalu membelinya bersama di swalayan.
“Untuk kamu yang sering mengalami kegagalan, jangan pernah berhenti berusaha,” ucap Papa. Letupan-letupan kegagalan memang terjadi di hidupku. Sampai aku terkadang merasa lelah. Namun kuingat Papa yang selalu bekerja keras. Aku jadi malu, seharusnya aku juga punya kekuatan itu.
“Perjuangan Papa di dunia berakhir di 38 tahun. Sebentar kan? Di dunia ini udah jarang orang yang bisa menembus angka 100 tahun. Dunia itu sementara. ”
Kurasa sudut mataku mulai basah. Air mata itu mulai mengalir di pipiku dengan perlahan dan hening.
Kubuka mataku perlahan. Semuanya berbeda. Ini bukan negeri
awan! Ini kamarku yang lampunya belum menyala. Aku memincingkan mataku dan
menyadari bahwa ini sudah pukul lima sore. Ah, bagaimana bisa sore-sore begini
aku bermimpi? Aku meraba pipiku. Basah. Ternyata yang nyata disini hanyalah air
mata.
***
Sudah kubilang keluargaku pernah menyumbang satu bendera
untuk Desa ini. Itu memang benar. Seperti yang terjadi ketika aku masih terlalu
kecil untuk menerima semuanya. Seorang gadis berumur 6 tahun harus dihadapkan
pada kenyataan bahwa Papanya telah tiada. Itu bukan hal yang bagus untuk
kejiwaannya. Tapi itulah yang Allah berikan padaku.
Beberapa tahun silam seorang gadis berusia 6 tahun itu dijemput dari sekolahnya. Melihat semua orang berkerumun di rumahnya. Kenyataan memaksanya mengerti tentang kematian. Walau sulit akhirnya dia mengerti… gadis 6 tahun itu aku. Semakin besar aku semakin mengerti apa itu kematian. Sesuatu yang tidak bisa ditolak siapapun di dunia ini. Papa meninggal. Dia pergi menemui Pemiliknya.
Iya, keluargaku memang menyumbangkan bendera kuning untuk
desa ini. Kami yang membuat pak RT dan tokoh masyarakat lain memasang bendera
itu di setiap gang dan tiang listrik.
***
Aku berjalan di lorong rumah sakit yang sepi. Lantainya berwarna
coklat karena sudah tua. Lorong ini terasa lembab dan aku kedinginan. Dengan
kaki bergetar aku terus berjalan menyusuri lorong. Berharap ada jalan keluar
dan satu titik terang. Aku takut, lorong sempit ini gelap dan bau obat.
Aku melewati sebuah pintu besar bertulis “Ruang Hemodialisa”. Itu tempat Papa merasakan sakitnya jarum suntik. Di sana Papa cuci darah satu minggu dua kali. Aku ingat betul jadwalnya hari selasa dan kamis.
Jantungku berdenyut nyeri. Pandanganku mulai kabur karena
air yang menutupinya. Samar kudengar suara mesin besar itu berbunyi. Itu suara
yang pernah aku dengar dulu dan aku tahu Papa paling benci suara itu. Mesin
cuci darah.
Kakiku bergetar, kurasa aku tak mampu lagi menopang berat tubuhku. Seketika aku roboh. Aku memeluk lututku dan kurasakan nafasku bergetar hebat.
Papa… dia sakit…
Bertahun-tahun harus cuci darah…
Dia Papaku…
Memoriku kembali melayang dengan liar menuju beberapa tahun silam. Semuanya berputar jelas dalam otakku meski pun berwarna abu-abu.
Waktu itu Mama bilang Papa sakit. Sakit di atas sakit. Dia sudah sakit gagal ginjal tapi dia sakit lagi. Mama bilang otak Papa sudah terendam. Tidak bisa diselamatkan. Aku kurang mengerti apa itu maksudnya karena aku terlalu kecil untuk mengerti. Untuk bertanya sekarang-pun aku takut. Aku tidak ingin membuat Mama kembali mengingat semuanya. Menyakitkan.
Aku kembali mengingat ketika Papa menunjukan salah satu lengannya, entah kiri atau kanan. Aku terlalu kecil untuk ingat dan mengerti mana itu kiri dan mana itu kanan. Yang pasti Papa menyuruhku untuk menyentuh lengannya. Kusentuh pelan karena takut melukainya. Aku merasakan ada yang berbeda dari tangan itu. Rasanya seperti ada getaran yang seharusya berada di leher. Tapi getaran itu lebih hebat, seperti getaran listrik. Entahlah. Tapi Papa bilang di tangannya ada suatu benda khusus untuk membantunya. Dan yang paling kuingat saat operasi lengan itu, Papa tidak dibius sama sekali karena itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya. Dia meninggal muda. Papa… Itu Papaku…
Bagaimanapun dialah yang banyak mengambil andil atas
mukaku. Orang-orang
bilang mukaku sangat mirip Papa. Benarkah? Berarti ketika bercermin aku seakan-akan
melihat wajah Papa juga? Benarkah itu, Pa?
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk
Ebiet G. Ade – titip rindu untuk Ayah
Semuanya terasa semakin dingin. Aku masih terisak memeluk lututku erat-erat. Sampai terlihat dari ujung sana cahaya putih. Dia mendekat. Itu Papa.
Semuanya terasa semakin dingin. Aku masih terisak memeluk lututku erat-erat. Sampai terlihat dari ujung sana cahaya putih. Dia mendekat. Itu Papa.
“Papa sayang Orion.”
Lalu.. semuanya gelap.
***
Terkadang
aneh rasanya seorang anak desa sepertiku diberi nama Orion. Tapi Papa bilang
meskipun kita orang desa, kita tidak boleh bodoh. Dia juga bilang bahwa Orion
adalah rasi bintang yang terlihat di seluruh dunia. Orion juga sangat
bermanfaat untuk menentukan letak bintang yang lain. Ya, pastinya mereka
menginginkan aku menjadi anak yang berguna seperti halnya Orion.
Aku menghembuskan nafas setelah selesai membaca ayat suci AlQuran. Kupandangi kuburan dengan keramik hijau botol. Ini warna yang Papa pilih sendiri untuk kuburannya waktu itu.
“Pa, aku ingin tau rasanya tidur di tempat sempit dan gelap kayak Papa. Apa di sana ada binatang, Pa?
Suatu saat aku bakal ngerasa kayak gitu. Aku takut, Pa. ”
“Makasih selama ini Papa selalu datang di mimpi aku, ngasih aku nasehat untuk selalu taat sama Allah. Aku yakin meskipun di sana gelap, tapi aku udah minta sama Allah supaya kuburan Papa diberi cahaya. Aku percaya Allah nggak akan ngingkari janjinya. ”
Kurasakan Mama merangkul bahuku. Dengan lemas aku bernafas, kepalaku bergerak pelan.
“Ma…”
“Hmm?”
“Apa Papa denger apa yang aku ucapin, Ma?”
“Denger sayang. Papa pasti denger,” ucap Mama, agak bergetar.
“Aku takut Papa nggak denger semuanya, Ma.”
“Sayang,” ucap Mama, kurasa ia berusaha agar suaranya tak terdengar bergetar.
“Kamu percaya kalau Rasulullah ga mungkin berbohong?” tanya Mama.
“Aku percaya.”
“Rasulullah SAW. bilang kalau orang yang udah meninggal itu bisa mendengar percakapan kita dengan jelas
dari bawah sana. Tapi, Papa ga bisa membalas, dia nggak mampu untuk menjawab.”
“Seperti halnya waktu Mama sms kamu. Kamu bisa terima sms dari Mama tapi kamu nggak punya pulsa jadi nggak bisa ngebales. Mereka yang ada di bawah sana juga sama.”
Aku melepas pundakku dari rangkulan Mama. Kupandangi wajahnya dan dia kembali berbicara, “Ketika roh dicabut dari raga, roh itu naik ke langit bersama malaikat. Sampai tiba pada langit yang di sana ada Allah. Setelah bertemu Allah, roh itu dikembalikan ke jasadnya.”
Aku ingin mempunyai kisah cinta seperti Mama dan Papa. Mereka dipisahkan bukan karena ke-egoisan tapi karena Allah. Mereka juga seperti penguin yang hanya punya satu pasangan sejati di dunia. Dan seperti sungai di seluruh dunia ini, di mana pun mereka berada namun tujuannya tetap satu, menuju laut. Juga cinta sejati, kemana pun mereka berada tapi semua itu akan berujung pada cinta yang lebih abadi, yaitu cinta kepada Tuhan.
“Aku ingin kita berkumpul lagi di akhirat, Pa, Ma,” ujarku sambil memandangi kuburan Papa dan wajah Mama bergantian. Mama tersenyum.
“Insya Allah.”
Terkadang aku takut jika menyadari bahwa aku juga akan mati. Suatu saat aku akan tertidur di dalam sana. Hanya Allah yang membuat aku yakin bahwa aku akan dilindungi-Nya. Karena Dia-lah yang menciptakan aku juga hidupku.
Bila saat itu tiba dan aku akan tertidur untuk selamanya, biarkan aku tertidur di sampingmu… Pa…
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan