ONOMATOMANIA
Karya: peacereva
Cinta akan membawa ke tempat di mana yang dicinta berada. Agak rumit bagiku
bila menyadari bahwa aku mencintai seseorang yang seperti dia.
Aku mencintai lelaki berkulit coklat, matanya bulat dan hitam besar—polos, rambutnya seperti brokoli bila sedikit saja ia biarkan panjang, hidungnya kurus dan tajam, kadang aku merasa bahwa bibir atasnya berlomba mancung dengan hidungnya, tapi begitulah adanya. Dia memang mempunyai bibir atas yang seperti itu. Dan yang paling menyolok adalah kenyataan bahwa dia lima tahun lebih muda dariku. Kurasa aku tidak perlu menjalani terapi hanya karena mencintai lelaki yang lebih muda. Aku tahu, cinta tak memandang itu semua. Menurutku perbedaannya terletak ketika kami dilahirkan saja, hanya masalah angka. Tuhan pasti bisa membuatnya lebih tua daripada aku jika Dia menghendaki. Yang ada di pikiranku adalah ketika aku sudah berada di perut Ibu, sementara itu Dzaky masih mengantri di alam lain. Menunggu giliran kapan ia akan dilahirkan.
Namun, masalahnya bukan itu. Yang menjadi semakin rumit adalah kenyataan
yang baru saja aku pahami. Bahwa, aku dan Dzaky begitu berbeda. Dua tahun lalu,
aku mengetahui bahwa dalam islam, mencintai berarti menyamakan tempat dengan
orang yang kita cinta. Ketika Anas bin Malik ditanya Rasulullah tentang apa
yang dipersiapkannya untuk hari kiamat, maka Anas menjawab bahwa bekalnya
adalah kecintaan terhadap Allah SWT. Dan Rasul-Nya. Lalu Rasul mengatakan bahwa
Anas bin Malik akan bersama dengan apa yang ia cintai. Dari situ aku mengerti,
bahwa cinta akan menghantarkan kita ke tempat yang sama.
Aku menghirup udara musim hujan yang lembab dari kursi halaman rumah. Aku
dan Dzaky tinggal di Lembang. Rumah kami dikelilingi hutan pinus yang terkadang
memperdengarkan suara serangga di antara tinggi-tinggi pohonnya. Sinar matahari
jarang menembus hutan ini. Tak ada istilah kulit terbakar kemerahan. Yang
sering terjadi adalah kabut yang membuat aku merasa bahwa aku tinggal di awan.
Aku menyandarkan punggung di kursi besi yang keras dan dingin. Langit pagi
ini tentu saja tidak terlalu terik. Dengan dua tangan, kugenggam cangkir kuning
ukuran besar berisi teh hangat aroma melati. Aku meletakannya di bawah dagu dan
membiarkan uapnya menghangatkan kemudian merambat menuju hidungku.
Aku bosan dengan aroma musim hujan dan pinus yang sudah terlalu biasa
merasuk rongga hidung. Dzaky pernah berjanji memberikan aku suasana yang lain. Agar
aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya musim semi yang indah, musim panas yang bergairah, musim
gugur yang khas, musim dingin dengan jalanan diselimuti salju tipis. Membuat langkah kita membekas pada alas bumi.
Dzaky bilang, ia terenyuh dengan segala deskripsiku tentang suasana
musim-musim dari setiap novel karyaku. Sangat mendetail, seolah-olah aku pernah
merasakan semua musim itu.
“Suatu saat kamu akan merasakan itu semua, aku janji,” itulah yang dia
ucapkan. Berjanji membawaku ke Eropa dan membiarkan aku
mengerti tentang rasa dari segala musim. Karena sejauh ini aku hanya
mengetahuinya dari buku atau cerita lain yang aku baca.
Aku ingin benar-benar merasakan empat musim dan kemudian menuliskannya sesuai
dengan yang aku rasakan. Bukan hanya khayalan seolah-olah aku pernah
merasakan itu semua.
Hingga kini, aku belum pernah merasakan keindahan empat musim di Eropa.
Kembali, hanya bualan yang aku tulis tentang mereka. Sekedar angan dari orang yang
bahkan tak pernah merasakan namun menuliskannya seakan aku adalah yang paling
tahu tentang musim itu.
Kenyataannya, Dzaky belum berhasil membawaku ke daratan Eropa. Padahal
kupikir uangnya sudahlah cukup untuk membawaku setidaknya ke London.
Aku kembali teringat, kecintaan dan kekaguman akan menghantarkan kita
ke tempat yang sama dengan orang yang dicintai. Jika begitu, kemanakah Dzaky akan membawaku?
Sebagai seorang suami, dia sangat sulit diterjemahkan. Seperti pagi ini, aku
dibiarkan hidup di belantara tanpa tahu menahu tentang apa yang ia kerjakan di luar sana.
Aku mencintai Dzaky, misalkan Dzaky berada di neraka maka aku akan berada di…
Itulah yang membuat aku bingung. Jika cinta menghantarkan ke tempat yang
sama, maka aku akan memaksanya menjelaskan kemana aku akan dibawa.
Aku melihat sekeliling. Rumah kami terbuat dari kayu-kayu kuat khas pegunungan.
Halamannya luas dan di sini kudapat melihat hutan pinus yang cukup
mencekam. Tapi kurasa di sini lebih baik ketimbang berada di dalam
rumah. Entah berapa fans lagi yang akan Dzaky bawa kesana dan mengatakan, “Aku harus menikahi wanita ini.”
Pulang dengan keadaan mabuk berat. Merangkul wanita yang sering ia sebut
sebagai “fans”. Sekarang aku harus tinggal bersama sepuluh wanita asing. Mereka
terperangkap di belantara ini. Jauh dari lingkungan luar dan segala berita tentang artis bernama ‘Dzaky’.
Aku berharap tidak ada lagi wanita yang masuk perangkapnya hanya karena
wajah Dzaky yang begitu sempurna. Miris memang, ketika seorang lelaki diidolakan
hanya karena ia tampan. Fisik. Fisik lagi. Membuat aku berpikir, bagaimana jika semua orang berwajah serupa? Tak ada
yang terlalu tampan juga terlalu cantik. Aku yakin pemilihan pasangan akan bukan dari fisik saja, tapi yang punya hati paling baiklah yang terpilih. Coba
bayangkan, ketika mendapat dua orang berwajah mirip tapi yang satu jahat dan
yang satu baik, sudah tentu yang baiklah yang akan dipilih.
“Kemana kamu akan membawa aku kelak?”
“Pertanyaan itu lagi?”
Aku menoleh, Dzaky berdiri dengan wajah menyesal. Dia mengusap wajahnya lalu mengangkat aku agar bangkit.
“Pertanyaan itu lagi, Hanah?” Mata besarnya seolah menelisik. Ia menghela
nafas keras-keras lalu memegang dua pundakku.
Aku mengangguk, “Kemana kamu akan membawaku kelak?”
Dia merengut, menarik pundakku lalu memeluknya erat. Aku tak membalas. Hanya
diam dan menunggu ia berbicara.
“Onomatomania. Kecenderungan mengulang
kata-kata tertentu yang mengganjal pikiran penderitanya.”
Rahangku yang semula kaku, kini mulai aku kendurkan. Membiarkan kepala ini
tenggelam diantara pelukannya. Bersender hangat di dadanya lalu memejamkan
mata.
“Kamu itu sakit, sayang. Kamu penderita onomatomania,” ucapnya
Aku menarik nafas pelan-pelan. Membayangkan nyawaku melompat-lompat dan
pergi dari dunia yang penuh kebusukan. Aku hanya merasa lelah. Cukup. Ini semua
sudah cukup meyakinkan aku bahwa orang-orang di dunia memang jahat. Padahal aku
hanya ingin mendapat kejelasan, kemana kelak dia akan membawaku? Jika sebagai
seorang suami ternyata lebih suka bersenang-senang dan bergaul dengan wanita
lain.
“Kamu tahu? Bahwa cinta akan membawa kita ke tempat yang sama?” tanyaku aku tanpa merubah posisi.
“Seratus. Seratus kali kamu mengatakan itu.”
“Dan, aku tidak percaya kamu menghitung itu semua.”
Aku tidak mengerti tentang onomatomania. Yang aku inginkan adalah
kejelasan, kemana dia akan membawaku kelak?
Cinta, beri tahu bahwa aku lelah menghadapi kebusukan dunia… Antarkan aku ke tempat di mana semua musim adalah satu. Sungai-sungai
mengalir di bawahnya dan semua manusia sama rata. Tidak ada
saling merendahkan. Aku ingin sekali pergi ke tempat itu. Mengakhiri segalanya dan menutup semua omongan. Aku bukan onomatomania. Aku tidak gangguan jiwa. Wanita muda ini hanya mengatakan apa
yang ia ingin ketahui. Meski pun terlalu sakit untuk mendengar setiap jawaban. Aku
hanya ingin mendapat kejelasan tentang kemana kelak aku akan dibawa.
“Kamu terlalu sulit diterjemahkan,” masih dalam keadaan terpejam aku berucap demikian.
“Setiap cinta memang sulit diterjemahkan.”
Aku mendorong pundaknya dan kembali menatap wajah Dzaky. “Kalau begitu, ajarkan aku caranya menerjemahkanmu. Tentang segala wanita
yang kamu cinta selain aku. Juga tentang kamu yang mudah melupakan segala
mimpi.”
Matanya melihat sekeliling dengan cepat. Sepertinya
dia tak mampu
menjawab.
“Kamu bilang, kelak anak kita akan diberi nama sama seperti orangtuanya. Jika lelaki namanya Dzaky junior dan jika wanita namanya Hanah
junior. Sekarang, anak dari wanita-wanita itu? Apa akan sama? Akan ada berapa Dzaky junior yang lain?”
Aku ingin pergi, aku ingin pergi….
Ke suatu tempat di mana ‘bahagia selamanya’ adalah hal yang nyata…
Dzaky lalu berjalan ke arah pintu belakang dan memeluk kekasihnya.
“Maaf,” ucapnya, melirikku sekilas.
Aku tersenyum dan mengernyitkan mataku berulang kali.
“Cntai dia, bawa dia menuju akhiratmu kelak,” balasku.
Dzaky kembali memeluk kekasihnya…
“Maaf, tapi aku terlanjur jatuh cinta pada… pintu ini.”
Dan dia memeluk pintu itu keras-keras. Tangan kokohnya
mencekram pintu besar itu sampai aku melihat urat-uratnya tegang. Matanya terpejam
lalu sekian menit kemudian di lepasnya pintu itu dari dinding. Dzaky membawanya dan membaringkannya di kasur.
Dia mencintai pintu itu, bukan aku.
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan