AUTHOR: Tersugakan
Genre : Thriller
Cast: Yoseob, Gikwang.
Ini Fanfict (ff) YOSEOB, GIKWANG BEAST.
***
Minggu ke tiga bulan Oktober di pinggiran Kota Osetil terasa
semakin dingin. Hujan deras dan gerimis bergantian datang tiap malam. Sesering
itu pula listrik padam. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin
ini resiko tinggal di pinggiran. Antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh,
dibatasi oleh
kebun jagung dan ilalang tinggi. Listrik padam ketika hujan bukanlah suatu perkara yang aneh di sini, aku rasa. Itu belum seberapa, semuanya semakin lengkap ketika sinyal di ponsel ikut lenyap. Rasanya … sempurna.
kebun jagung dan ilalang tinggi. Listrik padam ketika hujan bukanlah suatu perkara yang aneh di sini, aku rasa. Itu belum seberapa, semuanya semakin lengkap ketika sinyal di ponsel ikut lenyap. Rasanya … sempurna.
Kalau aku boleh memilih, aku pasti tidak akan tinggal di
sini. Akan lebih menyenangkan berada di tengah kota dan berkumpul bersama
orangtua dan saudara-saudaraku. Mungkin aku akan hidup lebih mudah daripada ini
semua. Ya, kalau bukan gara-gara lelaki ini mungkin sekarang aku sedang
menonton tv di depan sofa sambil mengemil keripik kentang.
Aku sedang berjalan melewati ruang tengah ketika dia
memanggilku.
“Apa?”
Lelaki bernama Yoseob itu menurunkan kakinya dari sofa dan merapikan
rambutnya yang sedikit berantakan.
“Ikut aku ke ruang musik.” Sebelum bangkit, dia
sempat-sempatnya mencomot kacang yang berserakan di meja dan memakannya sambil
berjalan.
Aku berdiri di belakangnya dan melihat jejak kulit kacang
yang ia lemparkan dengan bebas dari mulutnya. Astaga, kalau aku tidak
mencintainya mungkin aku sudah kabur dari rumah ini dan membakar seluruh isinya
yang selalu saja berantakan meskipun aku sudah membersihkannya berkali-kali.
“Duduk,” ujarnya, menunjuk kursi panjang di depan piano.
“Ada lagu baru, aku yakin kamu akan sangat menyukainya.
Silahkan menikmati, Black Paradise.”
Tangan Yoseob menyentuh piano itu perlahan lalu bergerak dengan lancar
memainkan sebuah lagu.
Ini hanya sebuah alunan lagu, tapi, aku bisa merasakan
kesedihan di tiap alunannya. Jujur, ini indah sekali. Aku sampai tidak bisa
berkata apapun selain melihat tangannya yang dengan lincah menekan tuts hitam
putih itu. Aku … ingin sekali punya kekuatan seperti itu. Sungguh.
Aku melihat Yoseob memainkannya dengan mata tertutup. Dia
nampaknya sudah hapal sekali letak tuts-tuts itu berada. Sambil memejamkan mata
pun ia bisa, mungkin tuts-tuts itu sudah terbayang di pikirannya, ya? Atau bagaimana?
Yang pasti dia terlihat sangat mempesona dengan rambut berantakan seperti itu.
Terlihat apa adanya.
“Wanita berambut merah
Menunggu aku menggenggam tangannya
Langit hitam
Desingan peluru
Wanita berambut merah,
Tersenyum sambil menangis
Pusaran awan hitam di atas kepalanya
membesar
Aku ingin menolongnya
Black paradise … black paradise.”
Perlahan aku
menyandarkan kepalaku di pundaknya sambil memikirkan bagaimana kami bisa ada di
sini. Yoseob, aku dan Gikwang mempunya pendapat yang serupa tentang sekolah
tingkat akhir. Sama-sama melelahkan dan penuh aturan. Ketika itu aku merasa
bahwa aku melakukan apa yang bukan menjadi impianku. Pergi pukul tujuh pagi dan
kembali ke rumah pukul sepuluh malam. Tunggu dulu! Aku bukan pergi ke bar atau
tempat hina seperti itu! Aku benar-benar pulang dari sekolah pukul sepuluh
malam! Apa yang aku lakukan di sana? Seseorang pernah berpikir mungkin di sana
aku membangun rumah atau apa? Yang jelas tidak! Di sana kami semua belajar
seperti sebuah mesin. Itu menyakitkan kalau kau ingin tahu. Aku beruntung bisa
bertemu dengan Yoseob dan Gikwang di sekolah. Mereka mempunyai pikiran yang
serupa. Semacam gelombang otak yang sama. Hingga akhirnya masa-masa penuh
tekanan itu berakhir dan kami bisa menentukan jalan yang sesungguhnya ingin
kami tempuh. Kami yakin dengan pilihan ini, seni!
Yoseob dan aku terlibat dalam hubungan yang lebih serius
dari sekedar sahabat. Dia menjadi teman hidupku sejak beberapa bulan yang lalu.
Dia yang membawa aku ke sini. Dia bilang bahwa di sini aku akan merasakan
kehidupan di bumi yang asli. Cocok sekali untuk seniman seperti dia. Seharusnya
bagi aku juga. Namun, entah mengapa kemampuan bermain pianoku tidak berkembang
di tempat yang bahkan sedamai ini.
“Yoseob, apa aku memang tidak punya bakat?”
Dia berhenti bermain, bisa kudengar ia menghela nafas dengan
berat.
“Ghelda.”
“Hm? Kamu tidak bisa menjawab apapun, kan? Mungkin aku hanya
ditakdirkan sebagai orang yang bisa bermain piano untuk diriku sendiri, bukan
untuk orang lain.”
“B-b-bukan begitu. Ada waktunya, semua ada waktunya.”
“Seobi, kamu mengajakku tinggal di sini untuk apa? Untuk
kedamaian? Tapi nyatanya meskipun di tempat seperti ini, kemampuanku tidak
berubah. Kamu tahu bagaimana rasanya itu? Rasanya seperti sampah, tidak
berguna.”
Tidak ada yang terlontar darinya. Yang aku rasakan adalah
tangannya yang merangkul pundakku hangat.
“Jika aku tidak mahir di bidang akademis, aku seharusnya
pandai di bidang seperti ini. Seperti kamu,” ucapku lagi.
Aku membuka mata dan melirik jam dinding. Jam sepuluh malam
dan hujan terdengar cukup keras di luar sana.
“Kita harus pindah ke depan perapian. Biasanya jam sepuluh
malam listrik akan padam, Ghel,” ujarnya sambil mengangkat ke dua pundakku.
Pada langkah ke lima, hal yang diprediksi ternyata terjadi.
Lampu padam. Aku tidak bisa melihat apapun. Tapi untung saja aku hapal alur
menuju perapian. Kami berjalan hati-hati sambil berpegangan tangan. Sebenarnya
ini bukan masalah bagiku, tapi bagi Yoseob. Dia benar-benar takut kegelapan.
“Akhirnya,” ujarku seraya menghela nafas lega ketika aku dan
Yoseob sudah duduk di depan perapian. Namun sial! Tidak ada api sama sekali di
situ!
“Aku ambil korek dulu ya,” sudah pasti aku yang berbicara,
karena Yoseob tak mungkin melakukan itu.
Sebelum aku bangkit, dia menahan tanganku erat. “Jangan
lama-lama,” bisiknya.
“Tenang, aku hanya mengambil korek,”
Aku mulai berjalan ke dapur. Meraba-raba sekitar. Total aku
tidak bisa melihat apapun. Bahkan antara memejamkan mata atau membuka mata pun terasa tak ada bedanya. Malah aku merasa lebih
terang ketika menutup mata. Tapi aku tidak menyerah dan terus meraba-raba
sekitar. Bisa kurasakan aku meraba dinding yang dingin, kabel telepon, lukisan
hasil karya Gikwang, lemari kaca, tirai, hingga aku yakin bahwa aku telah
memasuki area dapur. Aku membuka laci dan mengocok isinya. Kurasakan tanganku menyentuh
sesuatu yang dingin di dalam laci. Segera aku memasukannya ke saku mantelku.
Aku menyalakan korek berulang-ulang sepanjang jalan. Tiap
beberapa langkah korek itu padam ditiup angin yang memang sangat besar. Dengan penuh
perjuangan akhirnya aku bisa kembali menemui Yoseob yang dari belakang masih
tampak duduk kaku menghadap perapian. Aku duduk di sampingnya dengan keadaan
yang masih sangat gelap. Ketika aku menyalakan korek, wajah datar Yoseob tepat
berada di hadapanku. Dia menatapku dingin. Api oranye itu bergerak-gerak ditiup
angin hingga akhirnya padam lagi.
Secara tiba-tiba tubuhku berguncang karena dipeluk olehnya.
Kepalaku bertengger di pundaknya. Bisa aku dengar deru nafasnya yang nampak
tidak stabil.
“Aku takut gelap, Ghel. Kenapa kamu lama?”
Aku lalu membalas pelukannya, tanganku menggenggam erat
mantelnya bagian punggung. Lalu aku mengusap punggungnya, layaknya ibu yang
menenangkan anak.
“Aku tadi lama soalnya aku cari ini dulu, sayang.”
Aku memeluknya lebih erat lagi. hingga perut kami saling
menempel satu sama lain untuk kira-kira sepuluh detik. Aku kembali melonggarkan
pelukan ini dengan perasaan basah di mantelku yang merembes hingga perutku.
Aku melepaskan kedua tanganku dari memeluk Yoseob dan hendak
meraba apa sebenarnya yang membuat perutku basah. BRUUK! Lampu menyala
bersamaan dengan itu tubuh Yoseob mendarat di lantai dengan keras. Aku melihat
bagian perut mantelku dan perut mantel Yoseob secara bergantian. Merah. Lalu
pandanganku naik memandang wajahnya. Matanya terbelalak, semacam ekspresi kaget
dan kesakitan.
***
“Kamu sudah sukses tapi mengapa masih tinggal di sini? Aku
rasa sekarang saatnya kembali ke kota dan menikmati kesuksesanmu sebagai pianis
di sana.” Gikwang malam ini datang ke pinggiran kota Osetil untuk yang pertama kalinya
setelah enam bulan kematian Yoseob.
Kami duduk berhadapan sambil melahap steak yang justru ia bawa sendiri beserta buah-buahan segar. Dia
nampaknya sangat mengerti bahwa aku tidak akan mempunyai makanan untuk
dihidangkan. Karena memang aku jarang memasak untuk makan malam.
“Aku ingin sekali pindah dari rumah ini. Secepatnya,”
jawabku.
“Kamu kuat? Tinggal di rumah penuh kenangan dengan orang
mati seperti ini?”
Aku hentikan gerakan memotong steak dan memandang mata Gikwang lurus-lurus.
“Maksudmu?”
“Maksudku, ya … apa tidak ada gangguan dari arwahnya? Arwah Yoseob.”
“Untuk apa dia menggangguku? Toh kamu sendiri tahu bahwa aku
satu-satunya orang yang dia cintai di dunia ini, kan?”
Gikwang tampak santai melahap steak-nya. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Tapi, dia
makan begitu lahap.
“Ya, kita bersahabat! Kita sama-sama tahu kalian saling
mencintai. Tidak ada alasan baginya untuk menghantuimu, kan? Ah, yang benar
saja. Hahahaha.”
“Jadi, kamu datang kemari hanya untuk menertawai aku saja?”
Aku melihat gerak-geriknya. Dari caranya memegang sendok dan ekspresi bodohnya
itu. Benar-benar memuakkan.
“Tentu tidak. Aku kemari hanya ingin merayakan kesuksesanmu
sebagai pianis. Aku juga minta maaf karena baru sempat menemuimu sekarang. Enam
bulan kemarin aku sibuk sekali mengikuti pameran lukisan di berbagai Negara.
Benar-benar tidak ada waktu luang.”
Baiklah. Jujur, aku lega mendengar itu. Berarti Gikwang
tidak melihat aku membunuh Yoseob enam bulan yang lalu, kan? Jelas, dia sangat
sibuk dan tidak ada waktu untuk menguntitku.
“Sekali lagi, selamat atas keberhasilanmu menjadi pianis!
Berkat lagu andalanmu itu, Black Paradise!”
“Terimakasih.”
Dia hanya menganggukkan kepala dan membuka apel yang ia
bawa. Entah sampai kapan ia akan berada di sini. Padahal sekarang sudah pukul
sepuluh malam. Aku takut listrik padam lagi terlebih malam ini hujan turun.
“Bolehkah aku menginap di sini barang beberapa hari saja?”
“Eh?”
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Semoga saja Gikwang
tak dapat melihat rasa keberatan dari sorot mataku ini. Kugigit bibirku sebelum
akhirnya mengangguk.
“Aku sedang menyelesaikan lukisanku. Aku pikir tempat
sedamai ini akan membantuku untuk menyelesaikannya lebih cepat,”kata Gikwang.
Aku mendorong piring steak-ku
pelan. Kedua sikuku menumpu ke meja lalu condong menghadap ke arahnya.
“Lukisan, ya?”
“Ya. Eh, kenapa tidak kamu habiskan?”
“Oh, steak ini? Aku tidak sedang berselera,” jawabku.
Gikwang tampaknya tidak begitu peduli dengan jawabanku. Ia
hanya melap bibirnya dengan serbet dan mengajakku ke depan perapian. Dia
memintaku menemaninya melukis.
Gikwang sama sekali tak berbicara sepatah kata pun ketika ia
melukis. Ia hanya serius menggores kanvasnya itu. Menoleh ke arahku pun tidak.
Aku hanya bisa memandang punggungnya yang bergerak sesekali. Aku membuang nafas
dan berpikir apa memang semua seniman bekerja di waktu malam seperti ini?
Aku
mengedipkan mataku dengan cepat untuk menahan kantuk. Tapi aku tidak kuat,
hingga akhirnya aku terlelap di sofa yang menghadap ke arah punggungnya.
***
Aku menggeliat dan mendapati pundakku sakit sekali pagi itu.
Ah, ini pasti gara-gara aku tidur dengan posisi duduk semalaman. Bahkan Gikwang
tidak memindahkan aku ke ranjang. Dasar lelaki apatis.
Aku mengusap mataku dan mengerjapkannya hingga aku dapat
melihat sekitar dengan jelas. Pandanganku langsung menuju ke arah hasil lukisan
Gikwang. Astaga!
Wanita dengan gaun putih kusam duduk di tanah dan membiarkan
bagian bawah gaunnya itu mengembang seperti dia sedang duduk di sebuah gundukan.
Wajahnya seolah menatapku dengan tatapan paling menyedihkan sedunia. Matanya seakan-akan
membiarkan aku tenggelam dalam kepolosannya, dia seperti seorang gadis yang
tidak tahu apa-apa. Matanya berlinang namun bibirnya tersenyum miris. Entah
senyum refleksi dari rasa senang atau sebaliknya. Aku tidak tahu pasti. Karena
hampir mendekati dua-duanya. Di sekitarnya berserakan puing-puing berwarna
abu-abu yang kupikir adalah sisa pesawat tempur yang menjadi serpihan, juga ada
tubuh manusia yang sudah terkoyak. Pusaran awan hitam berada di langit yang
berwarna merah kotor. Merah, semerah rambut wanita itu.
Black paradise?
Aku mematung, bibirku terasa amat sangat gendut hingga aku
tidak bisa berkata ataupun menjerit mengeluarkan semua kengerian yang
sepertinya harus aku simpan rapat di dalam tubuhku sendiri. Aku berusaha
menelan ketakutanku sendiri, sampai aku pening dan tidak tahu harus bagaimana
lagi. Rasanya sepeti ada sesuatu-mungkin kembang api-yang meledak di dalam
tubuhku sendiri. Menahan memang bukan sesuatu yang bagus untuk kali ini.
“Elise Black.”
Aku mendongkak melihat sumber suara. Rasanya jantungku
hampir copot melihat seorang bertubuh tegap berdiri di pojok kiriku sambil
menggenggam secangkir sesuatu yang mengepul.
“Gikwang, Astaga,” pekikku seraya mengatur nafas yang berderu.
“Aku mencari moccachino tapi aku hanya menemukan kopi pait
ini. Kamu tidak keberatan aku mengambil stok kopimu?” tanya Gikwang. “Dan maaf
sepertinya aku mengejutkanmu,” lanjutnya.
“Silahkan. Tadi kamu bilang apa? Elise black?”
Dia menarik kursi kayu dan duduk di sampingku. Meletakan
kopi di meja mungkin untuk membiarkannya tidak terlalu panas.
“Elise Black. Nama wanita dalam lukisan itu.”
“Apakah dia nyata?”
“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang jelas dia
nyata di dalam khayalanku yang fiksi. Dia hanya seorang korban dari perang
dunia ke dua. Kalau dia bisa memilih, aku yakin dia tidak akan keberatan bila lahir di masa-masa yang damai. Seperti
sekarang.”
“Kenapa kamu melukisnya?”
“Karena aku ingin melukisnya. Sesederhana itu. Kamu bisa
lihat langit merah dan pusaran awan hitam di atas kepalanya? Kalau kamu bisa
berimajinasi, mungkin kamu akan mendengar desingan peluru, deru perawat yang
hilir mudik di atasmu, darah yang tersembur dari tubuh orang di sekitar,
ledakan di timur dan barat. Itu semua mengajarkan aku atas pentingnya
perdamaian. Nyawa dan kehidupan tidak bisa diganti dengan uang ataupun
populeritas. Kamu mungkin bisa memiliki fisik seseorang yang kamu cintai, namun
nyawanya? Apakah berarti sebuah jasad tanpa nyawa?”
Aku menggeleng sambil terus menatap manik matanya. Dia
benar.
“Elise Black, wanita berambut merah ini hanya korban dari
kebiadaban dan hilangnya kemanusiaan. Kamu bisa lihat matanya yang menangis?
Bibirnya yang tersenyum? Apa maknanya? Aku sendiri tidak tahu. Mungkin dia
tersenyum melihat apa yang ia lihat di hadapannya. Sebuah kehidupan yang damai
di sini.”
Alis Gikwang saling bertautan, seperti sedang berpikir dan
menelusup apa yang tersirat di wajah wanita yang ia lukis sendiri. Walau kami
berdua sama-sama tahu, dia hanya fiksi.
“Elise Black. Dia berteriak memanggil nama seorang lelaki
yang berlari mencarinya. Lelaki yang hilang fokus dari suaranya karena keadaan
di sana terlalu bising.”
Gikwang maju dan meraba lukisannya. Diusapnya rambut merah
itu dan bergumam, “Elise yang malang.”
Aku melihatnya seperti sebuah kengerian, bahkan di saat cuaca yang bagus seperti ini.
Gikwang membuka gulungan kanvas dan memperlihatkan isinya
kepadaku tanpa aku minta.
“Elise Black,” tunjuknya.
Ada tiga buah lukisan berwajah wanita yang sama. Rambut
merah, senyum yang aneh dan wajah yang pucat. Tengkukku meremang sekejap. Aku
mendongkak dan memandang wajah Gikwang.
“Bagus,” ucapku.
Gikwang dengan sigap membingkai lukisan karyanya dan
menempelnya di dinding yang masih bebas dari lukisannya. Kenyataannya memang
dinding rumah ini penuh dengan hasil karyanya. Karena aku, Gikwang dan Yoseob pernah
tinggal bertiga. Sudah pasti rumah ini penuh dengan hasil seni, seperti patung
dan lukisan karya kami.
Aku berdiri tegak di hadapan lukisan itu, memandanginya
dengan seksama dan tak habis pikir mengapa lukisan ini terlihat begitu
menyeramkan juga menyedihkan sekaligus. Dari sekian banyak lukisan yang
terpampang, hanya lukisan ini yang menurutku paling misterius. Lukisan Gikwang
lainnya terlihat begitu tenang, contohnya seperti lukisan air laut, pantai,
perkotaan, langit, gedung-gedung tua pun nampak tak terlalu menyeramkan dibanding
ini.
“Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Elise? Mengapa kamu
memakai gaun?” gumamku.
***
Tak ada yang aku kerjakan hari ini selain membersihkan
rumah. Jadwal konserku masih beberapa minggu lagi jadi aku masih bisa sedikit
bersantai dan sesekali mengasah kemampuan pianoku yang tak sehebat Yoseob.
Aku sedang duduk dengan Gikwang ketika jam menunjukan pukul
sepuluh malam dan listrik padam seperti biasa.
“Astaga,” pekik Gikwang.
Aku pikir dia bergerak dengan spontan dan mencari sesuatu hingga
aku mendengar gesekan jaket parasutnya dengan sofa.
“Untung aku menyimpan ponsel di sakuku,” ujarnya lagi.
Cahaya ponselnya cukup menerangi kami. Sampai aku melihat
sesuatu berkilatan di dinding depanku. Itu … lukisan Elise Black.
Aku rasa Gikwang tak sadar akan kilatan di lukisannya itu.
Kalaupun iya, dia tidak akan ketakutan seperti aku. Jelas, karena itu hasil
karyanya.
Sayup-sayup aku mendengar suara dentingan piano dari ruang musik.
Sial. Itu Black Paradise.
“Ghelda, kamu dengar itu?” tanya Gikwang, santai dengan
kepala bersandar ke sofa.
“Hmm, ya,” jawabku.
“Wanita berambut merah
Menunggu
aku menggenggam tangannya
Langit hitam
Desingan peluru
Wanita berambut merah,
Tersenyum sambil menangis
Pusaran awan hitam di atas kepalanya
membesar
Aku ingin menolongnya
Black paradise … black paradise.
Berlari sebelum mereka menemukanmu
Bersembunyilah
Wanita berambut merah
Surga hitam ini akan berakhir
Menangis, tersedu, menggantung..
Aku bisa mencium kedamaian akan datang
Black paradise.”
Aku melihatnya, kusadari mulutku sedikit menganga melihat ia
bersenandung seperti itu.
“Gikwang, kamu tidak takut?”
“Untuk apa aku takut terhadap apa yang aku ciptakan sendiri?
Takut dengan hasil karyaku? Itu tidak akan pernah terjadi,” jawabnya.
Kepalanya masih mengarah langit-langit tanpa sedikit pun
menoleh ke arahku.
“Ghelda, kamu tahu? Kamu salah bunuh orang. Kalau kamu ingin
mengakui Black Paradise sebagai
lagumu, seharusnya kamu membunuh aku bukan Yoseob. Karena akulah
penciptanyanya.”
Tanpa menunggu jawabannku, dia terus berkata, “Dari awal aku
tahu bahwa kamulah yang membunuh Yoseob agar kamu bisa mengakui lagu itu, kan? Tapi,
ada dua fakta yang kamu lupakan. Coba ingat kembali apakah Yoseob pernah
berkata bahwa itu lagu dia?”
Ingatanku kembali mundur ke enam bulan yang lalu, masih
terasa jelas di benakku. Ketika itu di malam yang hujan Yoseob berkata, “ada lagu baru, aku yakin kamu akan sangat
menyukainya. Silahkan menikmati, Black Paradise.”
Astaga! Yoseob memang tidak pernah bilang bahwa ini adalah
lagu ciptaannya. Dia hanya bilang bahwa ada lagu baru. Seketika aku rasakan
keringat dingin membasahi tubuhku. Aku tidak tahu ekspresi macam apa yang
nampak di wajahku? Kebingungankah?
“Fakta yang ke dua, aku hanya memberi tahu lagu ini pada Yoseob
seorang. Hanya dia! Jadi, sudah pasti kamu mengetahui lagu ini dari dia, bukan?
Karena tidak mungkin dari oranglain! Aku tidak habis pikir, bahkan kamu tidak
mengubah liriknya sama sekali.”
Perlahan kepalanya bergerak, kini dia benar-benar menatapku.
“Semuanya sudah jelas. Kamu pembunuh Yoseob. Kamu memplagiat
karyaku. Bisakah kamu berpikir sedikit saja? Dengar lagu Black Paradise dan lukisan Elise black. Bukankah mereka merupakan
karya yang sama? Wanita berambut merah dalam lagu itu adalah wanita yang sama
dalam lukisan.”
Matanya membesar, jelas bentuk sebuah kekecewaan dan
kemarahan yang bercampur. Aku hanya bisa termangu. Mengutuk diri sendiri.
Betapa aku begitu bodoh!
“Elise, seharusnya
lagu itu untukmu,” dengan suara yang amat sangat pelan Gikwang berkata.
Seharusnya sebelum membunuh Yoseob, aku mempertimbangkan
semuanya dengan matang. Mungkin sekarang aku tidak akan tertangkap basah. Kalau
sudah seperti ini, aku bisa apa? Sial!
“Ghelda, kenapa kamu tega, hah?”
“Ya! Gikwang, seharusnya kamu berpikir, apakah ada pembunuh
yang masih bisa tinggal selama enam bulan di tempat ia melakukan pembunuhan?
Apa itu kurang menjelaskan kepadamu bahwa aku ini benar-benar kejam?”
“Ghelda! Sadar! Siapa orang yang baru saja kamu bunuh, hah?
YOSEOB! lelaki yang mencintaimu, tulus dari hatinya!”
Dia mengguncang-guncang bahuku, “Kamu membunuh orang yang amat mencintaimu
demi sebuah ambisi. Mendaki puncak dengan menginjak orang yang kamu cintai, itu
yang kamu lakukan, hah! Sadar!”
Aku merosot dari sofa. Duduk di lantai yang dinginnya
merambat sampai kulitku yang tipis. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Gikwang
di atas sofa. Namun, sepertinya dia larut dalam kesedihan yang semenjak dia
datang ke rumah ini dia sembunyikan dengan baik.
“Aaaaaa! YOSEOB!” Dia berteriak diiringi ribut pergesekan
antara sofa dan jaket parasutnya.
Aku tahu, kita bisa memilih untuk merasa sedih atau tidak.
Jangan salahkan aku, ini kesalahan Gikwang yang mencoba menguak kesedihannya
sendiri. Dengan senyum yang mengembang di depan pintu dia datang ke rumah ini,
aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi sekarang aku mengerti, mungkin dia datang
untuk merasakan aroma badan Yoseob yang masih terasa melekat di setiap sudut
rumah.
Pelan, bisa kurasakan dia mulai membungkuk, memelukku dari
belakang. Kepalanya yang bertengger di bahuku membuat apa yang ia senandungkan
terdengar jelas di telingaku. Wangi parfumnya berlarian ke rongga hidungku bersamaan
dengan aroma bibirnya yang terus bergerak dan sesekali menyentuh telingaku,
dingin.
“Welcome … black
paradise ….”
Kutolehkan wajahku pelan-pelan. Melihat wajah Gikwang pada
jarak yang benar-benar dekat. Embusan napasnya yang menerpa wajahku dengan hangat.
Aku memejamkan mata, sambil mengingat-ngigat, wajah yang terakhir aku lihat
adalah Gikwang. Matanya yang hampir menutup, tangannya yang semakin erat
melingkar di perutku dan bibirnya yang semakin mendekat.
Detik itu aku sempat berpikir … apa Yoseob rela menyerahkan
aku pada sahabatnya sendiri ….
Namun …
Pikiran itu lenyap begitu saja ketika aku merasakan perutku
diterpa sesuatu yang dingin. Pelan … pelan … hingga aku bisa merasakan
bagaimana sakitnya.
Lalu perutku basah. Seperti enam bulan yang lalu.
Bandung, 6 oktober 2013, 08:50
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan