Friday, December 27, 2013

BLACK PARADISE [FANFICT VERSION]



AUTHOR: Tersugakan
Genre : Thriller
Cast: Yoseob, Gikwang.
Ini Fanfict (ff) YOSEOB, GIKWANG BEAST.

***
Minggu ke tiga bulan Oktober di pinggiran Kota Osetil terasa semakin dingin. Hujan deras dan gerimis bergantian datang tiap malam. Sesering itu pula listrik padam. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin ini resiko tinggal di pinggiran. Antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh, dibatasi oleh
kebun jagung dan ilalang tinggi. Listrik padam ketika hujan bukanlah suatu perkara yang aneh di sini, aku rasa. Itu belum seberapa, semuanya semakin lengkap ketika sinyal di ponsel ikut lenyap. Rasanya … sempurna.

Kalau aku boleh memilih, aku pasti tidak akan tinggal di sini. Akan lebih menyenangkan berada di tengah kota dan berkumpul bersama orangtua dan saudara-saudaraku. Mungkin aku akan hidup lebih mudah daripada ini semua. Ya, kalau bukan gara-gara lelaki ini mungkin sekarang aku sedang menonton tv di depan sofa sambil mengemil keripik kentang.

Aku sedang berjalan melewati ruang tengah ketika dia memanggilku.

“Apa?”

Lelaki bernama Yoseob itu menurunkan kakinya dari sofa dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Ikut aku ke ruang musik.” Sebelum bangkit, dia sempat-sempatnya mencomot kacang yang berserakan di meja dan memakannya sambil berjalan.

Aku berdiri di belakangnya dan melihat jejak kulit kacang yang ia lemparkan dengan bebas dari mulutnya. Astaga, kalau aku tidak mencintainya mungkin aku sudah kabur dari rumah ini dan membakar seluruh isinya yang selalu saja berantakan meskipun aku sudah membersihkannya berkali-kali.

“Duduk,” ujarnya, menunjuk kursi panjang di depan piano.

“Ada lagu baru, aku yakin kamu akan sangat menyukainya. Silahkan menikmati, Black Paradise.” Tangan Yoseob menyentuh piano itu perlahan lalu bergerak dengan lancar memainkan sebuah lagu.

Ini hanya sebuah alunan lagu, tapi, aku bisa merasakan kesedihan di tiap alunannya. Jujur, ini indah sekali. Aku sampai tidak bisa berkata apapun selain melihat tangannya yang dengan lincah menekan tuts hitam putih itu. Aku … ingin sekali punya kekuatan seperti itu. Sungguh.

Aku melihat Yoseob memainkannya dengan mata tertutup. Dia nampaknya sudah hapal sekali letak tuts-tuts itu berada. Sambil memejamkan mata pun ia bisa, mungkin tuts-tuts itu sudah terbayang di pikirannya, ya? Atau bagaimana? Yang pasti dia terlihat sangat mempesona dengan rambut berantakan seperti itu. Terlihat apa adanya.

Wanita berambut merah
Menunggu  aku menggenggam tangannya
Langit hitam
Desingan peluru

Wanita berambut merah,
Tersenyum sambil menangis
Pusaran awan hitam di atas kepalanya membesar
Aku ingin menolongnya

Black paradise …  black paradise.”

Perlahan aku menyandarkan kepalaku di pundaknya sambil memikirkan bagaimana kami bisa ada di sini. Yoseob, aku dan Gikwang mempunya pendapat yang serupa tentang sekolah tingkat akhir. Sama-sama melelahkan dan penuh aturan. Ketika itu aku merasa bahwa aku melakukan apa yang bukan menjadi impianku. Pergi pukul tujuh pagi dan kembali ke rumah pukul sepuluh malam. Tunggu dulu! Aku bukan pergi ke bar atau tempat hina seperti itu! Aku benar-benar pulang dari sekolah pukul sepuluh malam! Apa yang aku lakukan di sana? Seseorang pernah berpikir mungkin di sana aku membangun rumah atau apa? Yang jelas tidak! Di sana kami semua belajar seperti sebuah mesin. Itu menyakitkan kalau kau ingin tahu. Aku beruntung bisa bertemu dengan Yoseob dan Gikwang di sekolah. Mereka mempunyai pikiran yang serupa. Semacam gelombang otak yang sama. Hingga akhirnya masa-masa penuh tekanan itu berakhir dan kami bisa menentukan jalan yang sesungguhnya ingin kami tempuh. Kami yakin dengan pilihan ini, seni!

Yoseob dan aku terlibat dalam hubungan yang lebih serius dari sekedar sahabat. Dia menjadi teman hidupku sejak beberapa bulan yang lalu. Dia yang membawa aku ke sini. Dia bilang bahwa di sini aku akan merasakan kehidupan di bumi yang asli. Cocok sekali untuk seniman seperti dia. Seharusnya bagi aku juga. Namun, entah mengapa kemampuan bermain pianoku tidak berkembang di tempat yang bahkan sedamai ini.

“Yoseob, apa aku memang tidak punya bakat?”

Dia berhenti bermain, bisa kudengar ia menghela nafas dengan berat.

“Ghelda.”

“Hm? Kamu tidak bisa menjawab apapun, kan? Mungkin aku hanya ditakdirkan sebagai orang yang bisa bermain piano untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain.”

“B-b-bukan begitu. Ada waktunya, semua ada waktunya.”

“Seobi, kamu mengajakku tinggal di sini untuk apa? Untuk kedamaian? Tapi nyatanya meskipun di tempat seperti ini, kemampuanku tidak berubah. Kamu tahu bagaimana rasanya itu? Rasanya seperti sampah, tidak berguna.”

Tidak ada yang terlontar darinya. Yang aku rasakan adalah tangannya yang merangkul pundakku hangat.

“Jika aku tidak mahir di bidang akademis, aku seharusnya pandai di bidang seperti ini. Seperti kamu,” ucapku lagi.

Aku membuka mata dan melirik jam dinding. Jam sepuluh malam dan hujan terdengar cukup keras di luar sana.

“Kita harus pindah ke depan perapian. Biasanya jam sepuluh malam listrik akan padam, Ghel,” ujarnya sambil mengangkat ke dua pundakku.

Pada langkah ke lima, hal yang diprediksi ternyata terjadi. Lampu padam. Aku tidak bisa melihat apapun. Tapi untung saja aku hapal alur menuju perapian. Kami berjalan hati-hati sambil berpegangan tangan. Sebenarnya ini bukan masalah bagiku, tapi bagi Yoseob. Dia benar-benar takut kegelapan.

“Akhirnya,” ujarku seraya menghela nafas lega ketika aku dan Yoseob sudah duduk di depan perapian. Namun sial! Tidak ada api sama sekali di situ!

“Aku ambil korek dulu ya,” sudah pasti aku yang berbicara, karena Yoseob tak mungkin melakukan itu.
Sebelum aku bangkit, dia menahan tanganku erat. “Jangan lama-lama,” bisiknya.

“Tenang, aku hanya mengambil korek,”

Aku mulai berjalan ke dapur. Meraba-raba sekitar. Total aku tidak bisa melihat apapun. Bahkan antara memejamkan mata atau membuka mata pun  terasa tak ada bedanya. Malah aku merasa lebih terang ketika menutup mata. Tapi aku tidak menyerah dan terus meraba-raba sekitar. Bisa kurasakan aku meraba dinding yang dingin, kabel telepon, lukisan hasil karya Gikwang, lemari kaca, tirai, hingga aku yakin bahwa aku telah memasuki area dapur. Aku membuka laci dan mengocok isinya. Kurasakan tanganku menyentuh sesuatu yang dingin di dalam laci. Segera aku memasukannya ke saku mantelku.

Aku menyalakan korek berulang-ulang sepanjang jalan. Tiap beberapa langkah korek itu padam ditiup angin yang memang sangat besar. Dengan penuh perjuangan akhirnya aku bisa kembali menemui Yoseob yang dari belakang masih tampak duduk kaku menghadap perapian. Aku duduk di sampingnya dengan keadaan yang masih sangat gelap. Ketika aku menyalakan korek, wajah datar Yoseob tepat berada di hadapanku. Dia menatapku dingin. Api oranye itu bergerak-gerak ditiup angin hingga akhirnya padam lagi.

Secara tiba-tiba tubuhku berguncang karena dipeluk olehnya. Kepalaku bertengger di pundaknya. Bisa aku dengar deru nafasnya yang nampak tidak stabil.

“Aku takut gelap, Ghel. Kenapa kamu lama?”

Aku lalu membalas pelukannya, tanganku menggenggam erat mantelnya bagian punggung. Lalu aku mengusap punggungnya, layaknya ibu yang menenangkan anak.

“Aku tadi lama soalnya aku cari ini dulu, sayang.”

Aku memeluknya lebih erat lagi. hingga perut kami saling menempel satu sama lain untuk kira-kira sepuluh detik. Aku kembali melonggarkan pelukan ini dengan perasaan basah di mantelku yang merembes hingga perutku.

Aku melepaskan kedua tanganku dari memeluk Yoseob dan hendak meraba apa sebenarnya yang membuat perutku basah. BRUUK! Lampu menyala bersamaan dengan itu tubuh Yoseob mendarat di lantai dengan keras. Aku melihat bagian perut mantelku dan perut mantel Yoseob secara bergantian. Merah. Lalu pandanganku naik memandang wajahnya. Matanya terbelalak, semacam ekspresi kaget dan kesakitan.

***

“Kamu sudah sukses tapi mengapa masih tinggal di sini? Aku rasa sekarang saatnya kembali ke kota dan menikmati kesuksesanmu sebagai pianis di sana.” Gikwang malam ini datang ke pinggiran kota Osetil untuk yang pertama kalinya setelah enam bulan kematian Yoseob.

Kami duduk berhadapan sambil melahap steak yang justru ia bawa sendiri beserta buah-buahan segar. Dia nampaknya sangat mengerti bahwa aku tidak akan mempunyai makanan untuk dihidangkan. Karena memang aku jarang memasak untuk makan malam.

“Aku ingin sekali pindah dari rumah ini. Secepatnya,” jawabku.

“Kamu kuat? Tinggal di rumah penuh kenangan dengan orang mati seperti ini?”

Aku hentikan gerakan memotong steak dan memandang mata Gikwang lurus-lurus.

“Maksudmu?”

“Maksudku, ya … apa tidak ada gangguan dari arwahnya? Arwah Yoseob.”

“Untuk apa dia menggangguku? Toh kamu sendiri tahu bahwa aku satu-satunya orang yang dia cintai di dunia ini, kan?”

Gikwang tampak santai melahap steak-nya. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Tapi, dia makan begitu lahap.

“Ya, kita bersahabat! Kita sama-sama tahu kalian saling mencintai. Tidak ada alasan baginya untuk menghantuimu, kan? Ah, yang benar saja. Hahahaha.”

“Jadi, kamu datang kemari hanya untuk menertawai aku saja?” Aku melihat gerak-geriknya. Dari caranya memegang sendok dan ekspresi bodohnya itu. Benar-benar memuakkan.

“Tentu tidak. Aku kemari hanya ingin merayakan kesuksesanmu sebagai pianis. Aku juga minta maaf karena baru sempat menemuimu sekarang. Enam bulan kemarin aku sibuk sekali mengikuti pameran lukisan di berbagai Negara. Benar-benar tidak ada waktu luang.”

Baiklah. Jujur, aku lega mendengar itu. Berarti Gikwang tidak melihat aku membunuh Yoseob enam bulan yang lalu, kan? Jelas, dia sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk menguntitku.

“Sekali lagi, selamat atas keberhasilanmu menjadi pianis! Berkat lagu andalanmu itu, Black Paradise!”

“Terimakasih.”

Dia hanya menganggukkan kepala dan membuka apel yang ia bawa. Entah sampai kapan ia akan berada di sini. Padahal sekarang sudah pukul sepuluh malam. Aku takut listrik padam lagi terlebih malam ini hujan turun.

“Bolehkah aku menginap di sini barang beberapa hari saja?”

“Eh?”

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Semoga saja Gikwang tak dapat melihat rasa keberatan dari sorot mataku ini. Kugigit bibirku sebelum akhirnya mengangguk.

“Aku sedang menyelesaikan lukisanku. Aku pikir tempat sedamai ini akan membantuku untuk menyelesaikannya lebih cepat,”kata Gikwang.

Aku mendorong piring steak-ku pelan. Kedua sikuku menumpu ke meja lalu condong menghadap ke arahnya.

“Lukisan, ya?”

“Ya. Eh, kenapa tidak kamu habiskan?”

“Oh, steak ini? Aku tidak sedang berselera,” jawabku.

Gikwang tampaknya tidak begitu peduli dengan jawabanku. Ia hanya melap bibirnya dengan serbet dan mengajakku ke depan perapian. Dia memintaku menemaninya melukis.

Gikwang sama sekali tak berbicara sepatah kata pun ketika ia melukis. Ia hanya serius menggores kanvasnya itu. Menoleh ke arahku pun tidak. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang bergerak sesekali. Aku membuang nafas dan berpikir apa memang semua seniman bekerja di waktu malam seperti ini? 

Aku mengedipkan mataku dengan cepat untuk menahan kantuk. Tapi aku tidak kuat, hingga akhirnya aku terlelap di sofa yang menghadap ke arah punggungnya.

***

Aku menggeliat dan mendapati pundakku sakit sekali pagi itu. Ah, ini pasti gara-gara aku tidur dengan posisi duduk semalaman. Bahkan Gikwang tidak memindahkan aku ke ranjang. Dasar lelaki apatis.

Aku mengusap mataku dan mengerjapkannya hingga aku dapat melihat sekitar dengan jelas. Pandanganku langsung menuju ke arah hasil lukisan Gikwang. Astaga!

Wanita dengan gaun putih kusam duduk di tanah dan membiarkan bagian bawah gaunnya itu mengembang seperti dia sedang duduk di sebuah gundukan. Wajahnya seolah menatapku dengan tatapan paling menyedihkan sedunia. Matanya seakan-akan membiarkan aku tenggelam dalam kepolosannya, dia seperti seorang gadis yang tidak tahu apa-apa. Matanya berlinang namun bibirnya tersenyum miris. Entah senyum refleksi dari rasa senang atau sebaliknya. Aku tidak tahu pasti. Karena hampir mendekati dua-duanya. Di sekitarnya berserakan puing-puing berwarna abu-abu yang kupikir adalah sisa pesawat tempur yang menjadi serpihan, juga ada tubuh manusia yang sudah terkoyak. Pusaran awan hitam berada di langit yang berwarna merah kotor. Merah, semerah rambut wanita itu.

Black paradise?

Aku mematung, bibirku terasa amat sangat gendut hingga aku tidak bisa berkata ataupun menjerit mengeluarkan semua kengerian yang sepertinya harus aku simpan rapat di dalam tubuhku sendiri. Aku berusaha menelan ketakutanku sendiri, sampai aku pening dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya sepeti ada sesuatu-mungkin kembang api-yang meledak di dalam tubuhku sendiri. Menahan memang bukan sesuatu yang bagus untuk kali ini.

“Elise Black.”

Aku mendongkak melihat sumber suara. Rasanya jantungku hampir copot melihat seorang bertubuh tegap berdiri di pojok kiriku sambil menggenggam secangkir sesuatu yang mengepul.

“Gikwang, Astaga,” pekikku seraya mengatur nafas yang berderu.

“Aku mencari moccachino tapi aku hanya menemukan kopi pait ini. Kamu tidak keberatan aku mengambil stok kopimu?” tanya Gikwang. “Dan maaf sepertinya aku mengejutkanmu,” lanjutnya.

“Silahkan. Tadi kamu bilang apa? Elise black?”

Dia menarik kursi kayu dan duduk di sampingku. Meletakan kopi di meja mungkin untuk membiarkannya tidak terlalu panas.

“Elise Black. Nama wanita dalam lukisan itu.”

“Apakah dia nyata?”

“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang jelas dia nyata di dalam khayalanku yang fiksi. Dia hanya seorang korban dari perang dunia ke dua. Kalau dia bisa memilih, aku yakin dia tidak akan keberatan bila  lahir di masa-masa yang damai. Seperti sekarang.”

“Kenapa kamu melukisnya?”

“Karena aku ingin melukisnya. Sesederhana itu. Kamu bisa lihat langit merah dan pusaran awan hitam di atas kepalanya? Kalau kamu bisa berimajinasi, mungkin kamu akan mendengar desingan peluru, deru perawat yang hilir mudik di atasmu, darah yang tersembur dari tubuh orang di sekitar, ledakan di timur dan barat. Itu semua mengajarkan aku atas pentingnya perdamaian. Nyawa dan kehidupan tidak bisa diganti dengan uang ataupun populeritas. Kamu mungkin bisa memiliki fisik seseorang yang kamu cintai, namun nyawanya? Apakah berarti sebuah jasad tanpa nyawa?”

Aku menggeleng sambil terus menatap manik matanya. Dia benar.

“Elise Black, wanita berambut merah ini hanya korban dari kebiadaban dan hilangnya kemanusiaan. Kamu bisa lihat matanya yang menangis? Bibirnya yang tersenyum? Apa maknanya? Aku sendiri tidak tahu. Mungkin dia tersenyum melihat apa yang ia lihat di hadapannya. Sebuah kehidupan yang damai di sini.”
Alis Gikwang saling bertautan, seperti sedang berpikir dan menelusup apa yang tersirat di wajah wanita yang ia lukis sendiri. Walau kami berdua sama-sama tahu, dia hanya fiksi.

“Elise Black. Dia berteriak memanggil nama seorang lelaki yang berlari mencarinya. Lelaki yang hilang fokus dari suaranya karena keadaan di sana terlalu bising.”

Gikwang maju dan meraba lukisannya. Diusapnya rambut merah itu dan bergumam, “Elise yang malang.”
Aku melihatnya seperti sebuah kengerian, bahkan di  saat cuaca yang bagus seperti ini.

Gikwang membuka gulungan kanvas dan memperlihatkan isinya kepadaku tanpa aku minta.

“Elise Black,” tunjuknya.

Ada tiga buah lukisan berwajah wanita yang sama. Rambut merah, senyum yang aneh dan wajah yang pucat. Tengkukku meremang sekejap. Aku mendongkak dan memandang wajah Gikwang.

“Bagus,” ucapku.

Gikwang dengan sigap membingkai lukisan karyanya dan menempelnya di dinding yang masih bebas dari lukisannya. Kenyataannya memang dinding rumah ini penuh dengan hasil karyanya. Karena aku, Gikwang dan Yoseob pernah tinggal bertiga. Sudah pasti rumah ini penuh dengan hasil seni, seperti patung dan lukisan karya kami.

Aku berdiri tegak di hadapan lukisan itu, memandanginya dengan seksama dan tak habis pikir mengapa lukisan ini terlihat begitu menyeramkan juga menyedihkan sekaligus. Dari sekian banyak lukisan yang terpampang, hanya lukisan ini yang menurutku paling misterius. Lukisan Gikwang lainnya terlihat begitu tenang, contohnya seperti lukisan air laut, pantai, perkotaan, langit, gedung-gedung tua pun nampak tak terlalu menyeramkan dibanding ini.

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Elise? Mengapa kamu memakai gaun?” gumamku.

***

Tak ada yang aku kerjakan hari ini selain membersihkan rumah. Jadwal konserku masih beberapa minggu lagi jadi aku masih bisa sedikit bersantai dan sesekali mengasah kemampuan pianoku yang tak sehebat Yoseob.

 Aku sedang duduk dengan Gikwang ketika jam menunjukan pukul sepuluh malam dan listrik padam seperti biasa.

“Astaga,” pekik Gikwang.

Aku pikir dia bergerak dengan spontan dan mencari sesuatu hingga aku mendengar gesekan jaket parasutnya dengan sofa.

“Untung aku menyimpan ponsel di sakuku,” ujarnya lagi.

Cahaya ponselnya cukup menerangi kami. Sampai aku melihat sesuatu berkilatan di dinding depanku. Itu … lukisan Elise Black.

Aku rasa Gikwang tak sadar akan kilatan di lukisannya itu. Kalaupun iya, dia tidak akan ketakutan seperti aku. Jelas, karena itu hasil karyanya.

Sayup-sayup aku mendengar suara dentingan piano dari ruang musik. Sial. Itu Black Paradise.

“Ghelda, kamu dengar itu?” tanya Gikwang, santai dengan kepala bersandar ke sofa.

“Hmm, ya,” jawabku.

Wanita berambut merah
Menunggu  aku menggenggam tangannya
Langit hitam
Desingan peluru

Wanita berambut merah,
Tersenyum sambil menangis
Pusaran awan hitam di atas kepalanya membesar

Aku ingin menolongnya
Black paradise …  black paradise.

Berlari sebelum mereka menemukanmu
Bersembunyilah

Wanita berambut merah
Surga hitam ini akan berakhir
Menangis, tersedu, menggantung..
Aku bisa mencium kedamaian akan datang
Black paradise.”

Aku melihatnya, kusadari mulutku sedikit menganga melihat ia bersenandung seperti itu.

“Gikwang, kamu tidak takut?”

“Untuk apa aku takut terhadap apa yang aku ciptakan sendiri? Takut dengan hasil karyaku? Itu tidak akan pernah terjadi,” jawabnya.

Kepalanya masih mengarah langit-langit tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

“Ghelda, kamu tahu? Kamu salah bunuh orang. Kalau kamu ingin mengakui Black Paradise sebagai lagumu, seharusnya kamu membunuh aku bukan Yoseob. Karena akulah penciptanyanya.”

Tanpa menunggu jawabannku, dia terus berkata, “Dari awal aku tahu bahwa kamulah yang membunuh Yoseob agar kamu bisa mengakui lagu itu, kan? Tapi, ada dua fakta yang kamu lupakan. Coba ingat kembali apakah Yoseob pernah berkata bahwa itu lagu dia?”

Ingatanku kembali mundur ke enam bulan yang lalu, masih terasa jelas di benakku. Ketika itu di malam yang hujan Yoseob berkata, “ada lagu baru, aku yakin kamu akan sangat menyukainya. Silahkan menikmati, Black Paradise.”

Astaga! Yoseob memang tidak pernah bilang bahwa ini adalah lagu ciptaannya. Dia hanya bilang bahwa ada lagu baru. Seketika aku rasakan keringat dingin membasahi tubuhku. Aku tidak tahu ekspresi macam apa yang nampak di wajahku? Kebingungankah?

“Fakta yang ke dua, aku hanya memberi tahu lagu ini pada Yoseob seorang. Hanya dia! Jadi, sudah pasti kamu mengetahui lagu ini dari dia, bukan? Karena tidak mungkin dari oranglain! Aku tidak habis pikir, bahkan kamu tidak mengubah liriknya sama sekali.”

Perlahan kepalanya bergerak, kini dia benar-benar menatapku.

“Semuanya sudah jelas. Kamu pembunuh Yoseob. Kamu memplagiat karyaku. Bisakah kamu berpikir sedikit saja? Dengar lagu Black Paradise dan lukisan Elise black. Bukankah mereka merupakan karya yang sama? Wanita berambut merah dalam lagu itu adalah wanita yang sama dalam lukisan.”

Matanya membesar, jelas bentuk sebuah kekecewaan dan kemarahan yang bercampur. Aku hanya bisa termangu. Mengutuk diri sendiri. Betapa aku begitu bodoh!

“Elise, seharusnya lagu itu untukmu,” dengan suara yang amat sangat pelan Gikwang berkata.

Seharusnya sebelum membunuh Yoseob, aku mempertimbangkan semuanya dengan matang. Mungkin sekarang aku tidak akan tertangkap basah. Kalau sudah seperti ini, aku bisa apa? Sial!

“Ghelda, kenapa kamu tega, hah?”

“Ya! Gikwang, seharusnya kamu berpikir, apakah ada pembunuh yang masih bisa tinggal selama enam bulan di tempat ia melakukan pembunuhan? Apa itu kurang menjelaskan kepadamu bahwa aku ini benar-benar kejam?”

“Ghelda! Sadar! Siapa orang yang baru saja kamu bunuh, hah? YOSEOB! lelaki yang mencintaimu, tulus dari hatinya!”

Dia mengguncang-guncang bahuku,  “Kamu membunuh orang yang amat mencintaimu demi sebuah ambisi. Mendaki puncak dengan menginjak orang yang kamu cintai, itu yang kamu lakukan, hah! Sadar!”

Aku merosot dari sofa. Duduk di lantai yang dinginnya merambat sampai kulitku yang tipis. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Gikwang di atas sofa. Namun, sepertinya dia larut dalam kesedihan yang semenjak dia datang ke rumah ini dia sembunyikan dengan baik.

“Aaaaaa! YOSEOB!” Dia berteriak diiringi ribut pergesekan antara sofa dan jaket parasutnya.

Aku tahu, kita bisa memilih untuk merasa sedih atau tidak. Jangan salahkan aku, ini kesalahan Gikwang yang mencoba menguak kesedihannya sendiri. Dengan senyum yang mengembang di depan pintu dia datang ke rumah ini, aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi sekarang aku mengerti, mungkin dia datang untuk merasakan aroma badan Yoseob yang masih terasa melekat di setiap sudut rumah.

Pelan, bisa kurasakan dia mulai membungkuk, memelukku dari belakang. Kepalanya yang bertengger di bahuku membuat apa yang ia senandungkan terdengar jelas di telingaku. Wangi parfumnya berlarian ke rongga hidungku bersamaan dengan aroma bibirnya yang terus bergerak dan sesekali menyentuh telingaku, dingin.

“Welcome … black paradise ….”

Kutolehkan wajahku pelan-pelan. Melihat wajah Gikwang pada jarak yang benar-benar dekat. Embusan napasnya yang menerpa wajahku dengan hangat. Aku memejamkan mata, sambil mengingat-ngigat, wajah yang terakhir aku lihat adalah Gikwang. Matanya yang hampir menutup, tangannya yang semakin erat melingkar di perutku dan bibirnya yang semakin mendekat.

Detik itu aku sempat berpikir … apa Yoseob rela menyerahkan aku pada sahabatnya sendiri ….

Namun …

Pikiran itu lenyap begitu saja ketika aku merasakan perutku diterpa sesuatu yang dingin. Pelan … pelan … hingga aku bisa merasakan bagaimana sakitnya.

Lalu perutku basah. Seperti enam bulan yang lalu.

Bandung, 6 oktober 2013, 08:50

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan