Oleh: Tersugakan
Aku membenarkan posisi duduk untuk yang ke-sekian kalinya. Antrian
di dokter gigi malam ini berhasil membuatku hampir mati kebosanan.
Kursi panjang berbaris rapi di ruangan besar. Aku berada di
barisan ke dua dari depan. Dan di sampingku ada seorang balita yang menangis
terus. Maklum, tempat praktek dokter gigi-ku bersisian dengan tempat dokter
anak. Tak heran kalau yang membuat ruang tunggu ini ramai kebanyakan anak-anak
dan segala kegaduhannya.
Ah, aku mengembuskan napas dan mengedarkan pandang. Dari ujung
ruangan muncul lagi seorang remaja seusiaku. Aku yakin dia tidak sedang ingin
memeriksa anaknya, jadi dia pasti seorang pasien dokter gigi—sepertiku.
Aku mengira-ngira dari pakaian para penunggu. Apakah mereka
pasien dokter gigi atau bukan. Dan sepertinya ada dua lagi pasien yang termasuk
ke dalamnya. Dilihat dari penampilan mereka yang tak membawa anak.
Ya … dua pasien memang sedikit. Tapi biasanya, satu pasien
bisa menghabiskan waktu periksa hingga tigapuluh menit bahkan lebih. Aku jadi tidak
yakin hari ini bisa pulang cepat.
Televisi tabung di depan menampilkan acara yang tidak aku
sukai. Tidak ada yang bisa kuajak bicara. Aku bukan tipe orang yang gampang
akrab dan cukup berani untuk memulai percakapan dengan orang asing.
Kuputuskan untuk melihat ponselku dan membuka jejaring
sosial facebook. Kulihat nama Randy dengan lampu hijau menyala di sisinya. Tak
ragu, aku pun memulai percakapan dengannya.
“Oy!” sapaku.
“Eh, Shasa! Apa kabar? Lama nggak ngobrol.”
“Baik. Lu sendiri gimana?”
“Baik juga, Sha. Ada apa nih? Tumben nge-chat?”
“Haha, bosen gue, Ran. Lagi ngantri.”
“Ngantri BLT lu yah?”
“Enak aja lu. Eh, mantan pacar lu apa kabar tuh?”
Dulu aku dan Randy pernah terlibat sebuah pertengkaran. Pacarnya
yang pencemburu buta mencurigai aku dan Randy. Di situ kami sempat terlibat
pertengkaran besar. Aku, Randy dan Revy.
“Si Revy? Hamil dia.”
“Hah? Hamil? Sama siapa?”
“Ya sama pacarnya, lah. Bukan gue pasti. Kasian tuh emaknya.”
“Kasian kenapa?”
“Gegara si Revy lebih mentingin pacarnya ketimbang emaknya. Padahal
emaknya udah tua, renta. Wah, pokoknya tega benerlah tuh cewek.”
“Yang bener? Nggak nyangka, dia nikah muda dong ya?”
“Iya, dia salah gaul sih. Jadi aja begitu.”
“Mantan pacar lu tuh!”
“Untung deh udah putus.”
Aku cukup kaget mendengar pernyataannya. Ternyata selama ini
wanita yang sempat terlibat pertengkaran denganku sudah hamil oleh lelaki lain.
Padahal dulu kentara sekali seolah-olah kami memperebutkan Randy.
“Kasian dia. Lu udah pernah nengok dia, Ran? Kapan lahiran?”
Kirim.
Kututup ponsel dan kembali memperhatikan sekitar. Semakin lama
anak-anak itu semakin berkurang. Suasana ruang tunggu pun tak seramai tadi.
Kubuka lagi ponsel dan memeriksa balasan Randy. Tapi, aku
tak menemukan apapun. Tak ada pemberitahuan. Aku pun mengunci lagi layar
ponselku.
Ini sudah hampir sepuluh menit dan ponselku tidak bergetar
sama sekali. Benar-benar aneh. Kemana perginya Randy, ya?
Aku periksa lagi. Ah, akhirnya Randy membalas juga.
“Sha, sorry baru
bales. Gue belum nengok dia. Nggak tau juga kapan dia lahiran.”
“Ohh. Dari mana lu? Lama amat.”
“Sorry banget. Gue
baru selesai nemenin pacar gue.”
“Kemana emang?”
“Ke dokter kandungan.”
Kubaca ulang pesan dari Randy. Aku tidak salah baca, kan?
Dokter kandungan? Jadi … dia juga ….
***
Bandung, 28 Desember 2013
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan