Author: yHyesun
Genre: Romance
Leight: Chaptered
Baca Chapter 1 Delapan Tahun yang Lalu, Ketika Usiaku Masih 12 Tahun
“Kalau Aku Sudah Besar, Aku Ingin Menciummu”
[Chapter 2]
“Hyemoonie?”
Aku menoleh dan mataku langsung menangkap sosok itu.
Wanita berambut pendek bergelombang dengan sedikit kerutan di ekor matanya. Dia tersenyum ke arahku dengan mata yang nyaris tertutup dan cetakan gigi yang sama seperti lelaki itu … Yang Yoseob.
“Nyonya Yang,” sapaku seraya membungkuk setelah kusadari
bahwa aku tercenung melihatnya di sini.
“Ah, jadi benar kau ini Hyemoonie!” Dengan mata yang masih
tersenyum, dia mengguncang pundakku.
Hampir tak percaya. Selang beberapa detik
kemudian dia meraihku dan memberikan pelukan kecil.
Dia sedikit mendongkak untuk memperhatikan wajahku dan
merampanya dengan kedua tangan. Seolah-olah masih tak menyangka atas apa yang
ada di hadapannya.
Lama sekali tidak bertemu … tetangga lama.
“Ya~ Hyemoonie, kausudah besar sekarang. Bahkan sekarang aku
harus sedikit mendongkak untuk melihat wajahmu.” Nyonya Yang masih terus tersenyum, seolah-olah itu adalah
senyum permanen yang melekat di wajahnya. “Padahal dulu kamu hanya setinggi pinggangku. Ya Tuhan, kamu
juga tumbuh jadi wanita yang cantik.”
Bukan hanya itu … aku
juga tumbuh jadi wanita yang kuat, Nyonya. Anda tidak akan percaya kalau aku katakan
bahwa anakmu-lah yang mengajariku … Yang Yoseob.
Nyonya Yang
menurunkan tangannya dari kedua pipiku. Merambat menuju pundakku dan menepuknya
beberapa kali seolah memberi semangat.
“Sudah lama sekali ya,” lirihnya.
Aku melihat air mukanya berubah. Mungkin detik itu dia
mengingat bagaimana kami berpisah dan baru bertemu lagi sekarang, di saat aku
bukan lagi anak kecil yang suka mengompol dan menangis. Bukan … bukan yang
seperti itu.
Pandanganku lepas landas melewati pundaknya. Meyakinkan apa
dia datang sendiri atau ada orang lain di belakangnya.
“Aku sendirian, Hyemoonie.”
Mataku kembali teralih, melihat manik matanya yang
berkilatan memantulkan riak air laut. Aku tertangkap basah … dia tahu aku
mencari anaknya.
Kami berdua menepi. Duduk agak jauh dari bibir pantai dengan
payung yang mengembang.
Aku yang sedari tadi diam mulai mencari inisiatif untuk
memulai pembicaraan. Sebenarnya banyak yang ingin aku utarakan kepadanya.
Terlalu banyak malah. Saking banyaknya aku tidak tahu apa yang mau aku sampaikan
lebih dulu.
Apa perlu aku menyampaikan bahwa aku masih bisa merasakan aroma
yang sama, seperti delapan tahun yang lalu? Menyatakan padanya meskipun
sekilas, aku masih bisa merasakan itu. Mengingatnya sebagai aroma khas yang
selalu aku dapatkan ketika aku bermain di rumahnya. Aroma yang sama-sama
melekat pada Yoseob kecil. Aku tidak yakin, bagaimana sebuah aroma bisa
mengingatkan kita akan sebuah peristiwa, akan sebuah tempat dan memori yang
terselip di tiap partikelnya.
Maaf, Nyoya. Tapi,
aromamu sekilas mengingatkan aku pada anakmu.
“Dia sibuk,” wanita itu menghela napas.“Bayiku yang sibuk.”
“Bayi?”
“Yang Yoseob. Sebesar apapun dia, bagiku dia tetap bayiku.”
Aku melihat ia sedikit memainkan jarinya dengan pasir pantai
yang hangat.
“Nyonya Yang.”
“Ya?” Dia sontak menelengkan kepala.
“Soal beberapa tahun yang lalu. Aku ingin meminta maaf
karena aku tidak sempat pamit.”
“Ah, itu bukan salahmu. Seharusnya Yoseob tidak mencari
gara-gara.”
Ingatanku lalu mundur, ke delapan tahun yang lalu … ketika
usiaku duabelas tahun.
“Ya~ Yeremi! Jangan
makan itu.”
Aku menutup mulutku
yang menguap lebar. Kugoyangkan ke dua kakiku di udara dengan badan yang
terpelengkup di lantai. Tanganku kembali menyangga dagu dan memperhatikan Yoseob
yang sedang bermain dengan adikku.
Yeremi masih berusia
tigabelas bulan. Rambutnya juga masih sedikit, pipinya yang mengembung
membuatku tidak yakin apa dia punya mata atau tidak. Habisnya pipi itu berhasil
menenggelamkan mata Yeremi dengan sempurna.
Dia suka sekali makan.
Makan apa saja. Favoritnya adalah jeruk dan wortol rebus. Sampai-sampai bajunya
penuh dan dia nampak seperti monster dengan bintil-bintil bekas wortol di
sekitar mulutnya.
Tapi sekarang, lihat
apa yang dia lakukan? Mencoba memasukan bola tenis berbulu itu ke dalam
mulutnya yang kecil. Aku hanya bisa menumpu dagu dan melihat apa yang
selanjutnya akan terjadi. Untuk kali ini aku tidak terlalu khawatir karena Yoseob
ada di sampingnya. Aku yakin dia akan mengayomi Yeremi dengan baik.
“Itu bukan makanan,” Yoseob
menyematkan kedua tangannya di bawah lengan Yeremi dan mulai mengangkatnya,
“Kamu suka digendong, kan. Nggg … pesawat … nggg ….”
Dia terus melakukan itu
berulang-ulang. Mengangkat Yeremi dan menurunkannya kembali. Membuatnya tertawa
renyah.
Sepertinya Yoseob
benar-benar menyayangi Yeremi. Dia dengan sabar melap sisa wortol di bibirnya,
menggendongnya, sempat juga beberapa kali aku melihat Yoseob memejamkan mata
dan menyodorkan pipinya ke wajah Yeremi. Dan seperti seekor burung pelatuk, Yeremi
mengecup pipi Yoseob. Yoseob hanya bisa tersenyum ketika membuka matanya
kembali.
Tak ada keraguan, dia
memang menyayangi Yeremi.
Keadaan menjadi sepi
ketika Yeremi tidur siang. Kami punya kesempatan untuk membereskan mainannya
dan melap lantai yang lengket.
“Makan yang banyak. Eomma-ku
bilang wortol bagus untuk kesehatan,” ujarku.
Kami duduk berhadapan
di meja makan yang tinggi. Aku yakin dia pun sama sepertiku, seringkali harus
menegakan punggung dan agak menaikan badan.
“Masakan Eomma-ku
enak, kan?”
Aku melihat ke arahnya
lurus-lurus. Yoseob melepaskan pandangannya dari mangkuk kecil dan menatapku
sekilas, “enak sekali, Hyemoonie! Terima kasih!” sahutnya.
Kusumpit nasi dan
memakannya dengan lahap. Sesekali kupandang dia di depanku. Oh, dia sedang
menyumpit sayurannya, membuka mulut dan melirik ke arahku. Dengan mulut yang
penuh dia mencoba tersenyum, matanya juga tersenyum … nyaris tertutup.
Aku kembali
memperhatikan mangkuk-ku dan menyumpit lagi.
***
“Terimakasih sudah menemaniku.”
Pada saat itu aku ingat
betul bagaimana langit merendahkan warnanya. Terang-benderang dari rumah tetangga
membuatku sadar, bahwa hanya tinggal lampu luar rumahku yang belum dinyalakan.
Aku berdiri tegak
dengan rok yang bisa kupastikan sedikit melambai ditiup angin. Yoseob juga
berdiri tegak di depanku.
“Apa boleh aku kembali
lagi?”
“Tentu boleh, Yoseob. Kamu boleh kembali lagi kapan pun kamu mau.”
“Aku akan kembali lagi
ke Hyemoonie.”
Kami saling
melemparkan senyum, namun aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Halaman
rumahku terlalu gelap.
“Aku nyalakan lampu
luar dulu, ya?”
Aku memalingkan
badanku dan melangkah meninggalkannya.
“Tunggu!”
Seketika itu langkahku
berhenti, bukan hanya karena ucapannya namun juga karena ia menahan tanganku.
Aku berbalik,
“Kenapa?” Tak ada jawaban yang aku terima, hanya dia yang menarik tanganku.
“Yoseob ….” Kakiku
bergeser, semakin mendekati badannya tanpa bisa aku menolak.
Aku tak bisa
menghitung jarak yang terbentang antara kami kala itu. Sesungguhnya ini …
terlalu dekat.
“Yoseob, apa yang akan
kamu lakukan ….”
Dia semakin
mendekatkan wajahnya. Sangat dekat … hingga aku bisa merasakan terpaan dari
napasnya yang berembus teratur. Menyibakkan sebuah aroma khas … seperti wangi
permen.
Aku tidak tahu ini
benar atau salah. Apa yang harus aku lakukan pun tak teroganisir dengan baik di
kepalaku. Aku hanya bisa memejamkan mata … menunggu bibir kami saling berpagut
…..
“HYEMOON! YANG YOSEOB!”
Aku menarik wajahku
dan memalingkannya dengan panik. Jantungku berdetak kencang tanpa bisa aku
kendalikan, semakin kencang … apalagi saat kudapati bahwa ia adalah …
“Appa ….“
Matanya terbelalak
hampir keluar. Dengan sekali gerakan ia menyeretku ke dalam rumah.
“Appa, mianhe Appa!”
“Jangan main dengan Yoseob!
BESOK KITA PINDAH!”
Aku meronta-ronta
namun tangan Appa semakin kencang menarik badanku. Kugerakkan kaki ini
gila-gilaan, memukul beberapa kali tangan Appa yang melingkar di perutku.
“Appa, mianhe! Appa,
ini bukan salah Yoseob, Appa!”
Pada saat itu … wajah
terakhir yang aku lihat adalah wajah sedih Yoseob. Dia terlihat meringis,
mungkin hampir menangis. Dia seperti ingin berbicara, entah apa.
“Yoseoooob!”
kugerakkan tanganku menggapai-gapai ke arahnya. Dia juga melakukan hal yang
sama, mengulurkan tangan kanannya dengan ekspresi paling menyedihkan sedunia.
“Yoseooob!”
Pada saat itu pintu
ditutup, aku tidak tahu apalagi yang terjadi. Namun aku tahu itu adalah
terakhir kalinya aku melihat Yoseob. Delapan tahun yang lalu … ketika usiaku
masih duabelas tahun.
***
“Eomma dari dulu juga
tidak pernah setuju kalau Hyemoon berteman dengan laki-laki. Sekarang lihat apa
akibatnya?”
“Tapi itu bukan salah Yoseob,
Eomma! Yoseob orang baik! Kalau tidak percaya, tanya Yeremi!”
“Pokoknya besok kita
pindah.”
Appa sepertinya marah
sekali. Aku mengerti bagaimana dia kecewa. Dulu dia adalah yang paling
mendukung aku dan Yoseob berteman. Katanya supaya bisa melindungi, namun
melihat apa yang terjadi kurasa pikirannya langsung berubah.
“Mencium itu bukan
melindungi, Hyemoon. Itu merusak.”
Tanpa peringatan
sebelumnya, kami langsung pindah dari Busan. Dan malam itu adalah malam di mana
aku dengan bodohnya mengemas barang-barangku.
“Cepat kemasi!”
Hingga esok paginya
tanpa sempat pamit pada keluarga Yoseob, aku berjalan pelan seraya memeluk
boneka beruangku ke dalam mobil. Memandangi perumahan yang berlalu di jendela
mobil. Meninggalkan Busan dalam jangka waktu yang lama.
Aku tidak pernah
menyangka bahwa aku akan merindukannya seperti ini.
***
“Aku benar-benar minta maaf, aku bahkan belum sempat pamit
waktu itu. Mengucapkan selamat tinggal pun tidak,” ujarku, meringis.
“Itu bukan salahmu. Aku juga ingin meminta maaf atas nama Yoseob,
karena sudah berani menciummu.”
“Hampir … hampir
menciumku.”
Aku dan Nyonya Yang saling berpandangan. Mengangkat alis
sebagai bentuk pemakluman. Aku bisa merasakan aura Yoseob di dalam tubuhnya.
Matanya yang berbicara dan bentuk giginya yang serupa.
“Yoseobie … dia akan menemuimu suatu saat nanti. Ketika
waktu dan kesempatan berjalan seiringan seperti sekarang. Itu adalah saat yang
tepat, umur kalian tak lagi terlalu muda.”
Kedua bibirku saling menekan. Mencoba berpikir apakah itu
mungkin atau tidak.
“Dia sudah punya pacar,” ujar Nyonya Yang, tiba-tiba. “Nyaris
bertunangan. Namun, aku rasa hubungan mereka tidak akan berlangsung lama.”
Yoseob pernah bilang padaku bahwa ia akan kembali.
“Apa boleh aku kembali
lagi?”
“Tentu boleh, Yoseob.
Kamu boleh kembali lagi kapan pun kamu mau.”
“Aku akan kembali lagi
ke Hyemoonie.”
Seperti kata-kata yang dulu ia ucapkan. Dia masih punya
janji. Menemaniku selama musim panas dan kembali padaku. Juga jangan lupa soal
kucing di hati. Jika mengingatnya adalah perawatan terbaik, maka aku percaya
bahwa dia adalah kucing paling sehat di hatiku. Karena dengan mengingatnya, aku
mengingat Yoseob juga.
“Besok akan aku bawa Yoseob untukmu. Kalian harus bertemu … Hyemonie ….”
“Tidak usah khawatir, Nyonya. Kami hanya berteman.”
“Justru karena kalian teman, kalian harus bertemu.” Dia
menyentuh dua tanganku, memohon. “Kamu harus dengar racauannya waktu tidur. Percayalah,
dia benar-benar merindukanmu.”
“Dia meracau?”
“Ya, dia bilang: Kalau
sudah besar, aku ingin menciummu, Hyemoonie.” Nyonya Yang menarik napas, “Masa-masa
awal kepergianmu adalah masa sulit bagi hidupnya.”
Oke, mungkin ini saatnya aku jujur pada diriku sendiri. Mengakui
bahwa aku bukan hanya ingin tetapi juga butuh bertemu dengannya.
“Baiklah, Nyonya. Pertemukan aku dengannya.”
***
To Be Continue ...
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan