Pagi itu aku melihat Dika sudah tidak ada di ruang tamu.
Mobilnyapun tak kulihat di garasi. Sepertinya ia sudah pergi ke lokasi syuting.
Aku memandangi sofa tempatnya biasa tidur. Ku coba duduk dan merasakan sofa
ini. Aku menyentuhnya pelan. Membayangkan Dika menghabiskan malamnya di tempat
ini. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Ia menerimanya .
Tanganku menyentuh sebuah benda. Sepertinya sebuah ponsel. Ah benar
saja ini ponsel Dika. Aku tekan tombolnya dan nampak wallpaper ponsel itu. Foto
aku yang sedang menghadap ke pinggir. Aku yakin Dika mengambil foto itu tanpa
sepengetahuanku. Konyol sekali.
Aku masih menatap ponsel itu yang kini mengeluarkan suara lagu. Di layarnya tertulis “pak sutradara memanggil” keningku berkerut samar. Sejenak aku berfikir untuk menerimanya atau membiarkannya. Namun kuputuskan untuk menerimanya , siapa tahu ada hal penting.
“Hallo, Dika? Masih dimana kamu?” Tanya suara di seberang
sana begitu aku menempelkan ponsel di telingaku.
“Maaf, saya rifa, istrinya Dika.
Dikanya udah pergi. Ponselnya ketinggalan.”
“Rifa? Tapi dia belum ada
disini. Kira-kira dia kemana dulu ya?” Aku kembali berkerut samar, dia belum
tiba di lokasi syuting? Yang benar saja?! Setahuku dia bukan tipe orang yang
mampir sana-sini. Ia pasti langsung menuju lokasi syuting.
“Tapi pak, Dika bukan tipe
orang kayak gitu. Dia pasti langsung ke lokasi syuting , pak. ”
“Kru saya akan coba menyusuri
jalan. Siapa tau mobil Dika mogok.”
“Ah iya,pak. Ide bagus”
Pembicaraan terputus . Tanganku bergetar menarik ponsel yang semula menempel di telingaku, ku pandangi layarnya. Masih merasa tak percaya atas apa yang baru saja aku dengar.
Kemana dia..
Aku mengusap poniku ke belakang. Menggigit bibir bawahku sambil
terus berfikir. Telujukku mengetuk-ngetuk layar ponselnya dan sesekali
memutarnya.
Untuk kali ini saja… bolehkah
aku berharap padanya? Dika, aku yakin kamu bisa menjaga dirimu…
***
Aku mendengar suara ponsel Dika lagi. Satu panggilan dari pak
sutradara.
“Hallo , pak. ”
“Hallo, Rifa? Kru saya sudah
menyusuri jalan tapi sama sekali nggak ketemu sama Dika. Jadi gimana ini?”
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Yang pasti aku
merasa jantungku berdegup lebih kencang.
Banyak hal berkecambuk di pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa
aku jawab , juga semua kemungkinan yang tak mau aku pilih . Perasaan-perasaan
aneh yang menjalari hatiku. Perasaan yang belum pernah aku rasakan terhadapnya.
Yang tak pernah terpikir bahwa pada akhirnya aku akan merasakan semua itu. Aku
bingung, aneh… aneh sekali.. Rasanya seperti berada dalam ruangan yang gelap .
Membingungkan…
“Maaf , pak. Saya juga tidak
tau.” Jawabku.
Kumatikan sambungan tanpa menunggu jawaban dari pak sutradara. Mungkin
kesannya seperti aku tak peduli tapi aku tak bisa berdiam diri dan hanya
bertelepon dengan sutradara ini. Aku juga harus melakukan sesuatu untuknya. Dengan
cepat aku mengunci rumahku dan pergi
menyusulnya… meskipun aku tidak tahu dimana keberadaannya. Tapi kuharap
kaki ini berlari ke arah yang benar.
Nafasku memburu. Keringat ini mulai membasahi poniku. Ludahpun
dengan susah payah aku telan. Langkah kaki yang terasa tak menapaki bumi
bukanlah alasan untuk berhenti.
Dari kejauhan aku melihat sebuah mobil di tepi jalan. Mobil hitam
itu… tanpa memedulikan apapun , ku paksa kaki ini berlari ke arahnya . langkah ini
semakin melambat ketika jarak antara aku dan mobil itu semakin dekat.
Aku
melihat ke dalam mobil itu lewat kaca jendela yang terbuka. Tidak ada siapapun di dalamnya. Kunci mobil
masih tergantung disitu. Mobilpun dalam keadaan yang rapih. Membuatku yakin
bahwa ini bukan kasus perampokan ataupun penculikan. Aku membuka pintu mobil
itu dan duduk di kursi pengemudi. Aroma ini… campuran antara parfum mobil dan
aroma tubuh Dika … wangi dan hangat…
Sejenak aku terdiam , menyesali apa yang telah aku lakukan
kepadanya. Aku merasa seperti orang paling kejam sedunia. Dengan perlahan aku
menyentuh stir mobil .Membayangkan benda ini pernah dipegang oleh Dika. Aku
seakan-akan merasakan bekas sentuhannya di stir ini. Aku masih mengusap stir itu mengikuti
bentuknya yang melingkar.
Aku mengedarkan pandanganku. Kudapati computer tablet tergeletak
pasrah di bangku sebelah. Layarnya masih menyala. Aku meraihnya. Anehnya benda
itu langsung mati. Kuperhatikan lagi, aku sadar ini bukanlah computer tablet
milik Dika. Sepertinya ia baru membelinya. Ku balik tablet itu dan ada sebuah
kertas bertuliskan,
“Rifa, maaf aku baru bisa kasih ini untuk
kamu. Ini pertama kalinya aku kasih barang buat kamu pake uang aku sendiri.
Kenapa harus tablet? Aku juga nggak tau, fa. Tapi aku yakin ini bakal berguna
banget buat kamu. Kalau kamu lagi bosen di rumah, kamu bisa main game di sini.
Dan… kalau aku lagi jauh sama kamu… kita bisa skype-an pake ini.
Dari
suamimu, Dika. ”
Aku tersenyum. Dia memang berusaha keras agar bisa mencintaiku.
Berbeda denganku yang sangat sulit melakukan itu.
Aku memutar kunci dan mulai melajukan mobil. Membawanya menuju
tempat yang semestinya. Rumah.
Sesekali aku melihat ke bahu jalan, mencari sosoknya. Namun tak
juga ku temui. Aku mengedipkan mataku dan cairan itu mengalir melewati pipiku
dengan senonohnya. Kuusap pipiku dengan kasar, kepalaku menggeleng. “Ini tak
boleh terjadi” .
Desir angin menemani perjalananku. Udara bergerak itu menggoyangkan
ujung rambut ini. Mengajaknya bermain disaat waktu yang tak tepat. Sekarang
bukanlah saatnya bermain dengan angin ataupun bergoyang mengikuti arahnya. Aku
genggang erat stir , berharap aku menggenggam tangan Dika...
***
Sesampainya di rumah segera kuhubungi Pak sutradara ,
memberitahunya bahwa mobil Dika sudah kutemukan namun Dika tak ada di dalamnya.
Pak sutradara berkata ia yang akan menghubungi polisi untuk melacak keberadaan Dika.
Baguslah… masih ada orang baik yang rela repot-repot membantuku.
Aku melangkah memasuki kamar. Kubuka lemari pakaian Dika. Seketika aroma
khas itu keluar. Parfumnya yang masih menempel di baju . Aku jadi bingung, Mengapa
sebuah aroma bisa mengingatkanku pada seseorang.
“ARRRRHHHGGGGG…” Teriakan itu
tak bisa aku tahan, meluncur begitu saja dari bibirku.
Aku merasa frustasi. Rasa kehilangan yang bercampur rasa cinta yang
datang terlambat. Juga rasa bingung atas apa yang aku hadapi saat ini. Kenapa
ia menghilang begitu cepat? Aku belum siap. Aku bahkan belum mengatakan bahwa
aku mencintainya. Aku terlalu sombong mengakui itu semua. Dika.. kemanakah kamu
pergi?
Aku mengacak-ngacak rambutku. “Arhhhg..!!” Orang tidak tahu diri
sepertiku rasanya tak pantas bersanding dengan lelaki baik seperti Dika. Kenapa
selama ini aku begitu… begitu jahat dan tega menyia-nyiakannya.
Aku meremas rambutku dan duduk di lantai yang dingin ini. Rasanya kakiku
tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku merasa lemas.
Aku terisak menghadapi kenyataan ini. Tangisku terdengar aneh bahkan di telingaku
sendiri. Aku biarkan air itu menganak sungai di pipiku. Aku bersyukur tak ada
orang disini. Karena aku sadar bahwa aku bukanlah tipe orang yang menangis
dengan hening. Menahan-nahan agar keadaan tetap terjaga hening. Berusaha agar
tak ada orang yang mendengarnya. Karena itu hanya akan menambah rasa sakitku.
Menahannya bukanlah pilihan yang tepat.
Kini aku sadar bahwa aku adalah tipe orang yang meraung-raung ketika
menangis bila keadaannya mendukung seperti ini. Seolah-olah semua beban itu
ikut terbang seiring teriakan yang aku buat.
bersambung...
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan