Monday, July 10, 2017

Perpustakaan dan Riba

Pada suatu hari saya dikejutkan dengan sebuah pemberitaan tentang teman-teman yang meminjam buku di perpustakaan kampus dan harus membayar sejumlah denda. Tak tanggung-tanggung, denda yang dicapai seorang teman dari september 2016 mencapai 400.000. Entah berapa denda bagi teman saya yang meminjam dari awal tingkat tiga. Saya bilang, ganti saja bukunya. Tapi menurutnya dia harus tetap mengembalikan uang denda meski memilih menggantinya dengan buku baru. Mereka tidak pernah diperingati sebelumnya untuk membayar denda. Tak ada informasi mengenai berapa yang harus dibayar perhari untuk keterlambatan pengembalian. Sehingga teman-teman saya terlena dan barangkali lupa untuk mengembalikan buku, Tak perlu saya ceritakan bagaimana perdebatan sengit teman-teman saya yang berjiwa pemberontak dengan petugas perpustakaan. Yang pasti itu sangat memacu adrenalin kalau saya ikutan nonton. HAHAHA.

Saya jadi tergelitik untuk menuliskan tentang ini. Saya berpikir apakah ada solusi lain untuk membuat sebuah sistem di mana pihak perpustakaan diuntungkan dan pembaca dapat menikmati bukunya dengan nyaman. Saya rasa cukup kejam ya kalau harus mematok denda per hari buat setiap keterlambatan. Istilahnya seperti kita harus membayar untuk sesuatu yang tidak ada. Dan itu terus membesar tiap harinya. Dan di akhir, saya kasihan kalau teman-teman saya harus membayar untuk sesuatu yang tidak ada wujudnya. Such as a dictator.

Perjalanan saya selama di bangku SMA juga sebenarnya sama. Saya dan beberapa teman saya meminjam buku fisika dan biologi. Entah sama kimia atau tidak. Saya lupa. Yang pasti saya adalah orang yang suka terlambat memperpanjang masa peminjaman buku dan harus membayar denda. Tapi, kalau tidak salah ingat denda yang paling tinggi hanya 10.000. Itu kalau tidak salah dua bulan apa satu bulan ya. Lupa. Tapi emang beneran bikin bt sih. Jadi males minjem buku kalau gak butuh-butuh amat mah.

Tapi, adakah solusi untuk masalah seperti ini?

Saya pikir mungkin ada. Bukankah kita punya jurusan ilmu perpustakaan? Mungkin ada banyak cara untuk mengganti sistem denda yang mencekik (dan serupa bunga bank / riba) dengan sistem yang lebih menyenangkan. Kita bisa mencontoh sistem-sistem lain. V live app punya sistem yang unik. BTS Tour japan juga menerapkan sistem stampel. Itu jelas contoh-contoh yang berbeda. Tapi, menurut saya bisa diadopsi dan didekorasi sesuai kondisi perpustakaan. Orang bilang tak ada ide yang benar-benar murni di dunia ini. Iya, kan? Suatu ide diciptakan dari ide lain. Tak ada yang bisa menciptakan sesuatu dari ketidak-adaan, kecuali Tuhan.

Berdasarkan pengalaman saya membaca itu bikin kecanduan. Sekali membaca buku bagus pasti setelahnya ingin baca lagi, lagi dan lagi. Akan terus merasa haus dan kurang. Pada saat itu mungkin kita merasa 'pintar' dan 'tahu segalanya'. Tapi, sesungguhnya itu adalah tanda bahwa kita bodoh. Mungkin sebenarnya kita baru baca nol koma persen dari seluruh ilmu yang ada di dunia. Dan ketika kita menyadari itu ... kita baru sadar bahwa kita benar-benar tidak ada apa-apanya. Lalu, apa yang terjadi? Kita merasa harus baca seluruh buku yang ada di dunia. Tapi mungkin masa hidup kita tak akan cukup untuk menjangkau itu. Ini barangkali kedengaran aneh. Namun itu benar. Bisa dibayangkan betapa hebatnya kekuatan kata-kata.

Tapi, kondisi tersebut akan lebih mungkin terjadi jika kita nyaman dalam membaca. Kebijakan dan sistem perpustakaan merupakan salah satu faktor pendukungnya. Saya harap suatu hari nanti kita bisa membaca dengan nyaman tanpa perlu takut terkena denda. Ya, semoga ;-)

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan