Baca part satu di sini
Beberapa bulan setelah kejadian
itu hubungan antara aku , Darel dan Edgar
masih baik-baik saja walaupun dapat kucium aroma persaingan diantara mereka.
Aku terdiam di maja kerjaku dan
memutar-mutar
bolpoint. Ternyata begini rasanya ketika bingung menentukan pilihan. Darel lee dan Edgario sama-sama
tampan dan punya ciri khas tersendiri. Mereka juga baik. Kenapa aku
merasa kisah cintaku seperti sebuah lagu ya? Ah yang benar saja!
Drrt drrt…
Ponsel di meja kerjaku bergetar menandakan satu pesan
yang masuk
From: Darel
Bisa ke London bridge?
Aku merapatkan mantelku dan
berjalan menyusuri sungai thames. Memandangi lampu-lampu yang bersinar indah di
tengah kegelapan. London bridge terlihat indah kapanpun aku melihatnya, tidak
peduli itu malam atau siang. Tempat ini tetaplah tempat paling romantis.
Sepatu bot ku yang beradu dengan
jembatan kokoh ini menghasilkan suara yang khas. Aku diam menghadap sungai dan memandangi
pantulan cahaya bulan di atas sungai yang membuatnya berkilauan. Airnya begitu
tenang dan membuat aku merasa tenang juga. Kubenamkan tanganku ke saku mantel.
Topi rajut di kepalaku cukup membuatku hangat. Aku memutar badanku untuk
melihat jalanan. Ada bis tingkat dua dan juga kendaraan lainnya yang melintas
walaupun tidak terlalu padat.
Kuhirup udara dalam-dalam dan
mencari sosok Darel disitu. Belum juga
tampak. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke sungai thames.
“Rupanya
kau disini.”
Aku menoleh dan melihat Darel sudah ada di sampingku.
“Kau.. Ada apa menyruhku kesini?” tanyaku.
“Hanya
ingin menghabiskan waktu bersamamu.”
Aku kembali menatap sungai thame. “Aku kira ada sesuatu yang penting.” timpalku.
“Mari
menyusuri sungai ini dan berbincang tentang suatu hal,” ajak Darel seraya menarik
lenganku. Badanku terhuyung mengikuti langkahnya. Aku mendongkak melihat kepala
belakangnya dan rambut hitamnya yang di
potong begitu rapih.
Dia… masih sama… penuh kejutan.
Aku mensejajarkan langkahku dengannya.
“Jadi.. selama
ini kamu pergi kemana,Rel?”
tanyaku.
Bisa ku dengar dia mendesah, tanpa berminat menjawab
pertanyaanku.
“Jangan
bicarakan itu.”
Kami terus berjalan dengan pelan.
Sampai akhirnya aku menemukan sosok Edgar tengah serius memandangi sungai
thames. Ketika kami melewatinya , tiba-tiba saja ia memutar badannya dan
melihat aku dan Darel .
“Edgar, kau sendirian?”
tanyaku. Dia mengangkat bahunya dan berkata, “Seperti yang kau lihat.”
“Mau
bergabung bersama kami?” Darel menyikut lenganku seolah berkata bahwa itu
bukan ide yang bagus. Namun Edgar tetap mengangguk meng-iyakan pertanyaanku.
Kini aku berdiri diantara mereka
berdua. Aku dan Darel tertawa karena
mengingat masa lalu kami yang konyol, bercanda satu sama lain dan melakukan hal
menyenangkan lainnya. Mulai dari dia yang menarik topi rajutku dan meletakan di
tangannya yang ia letakan tinggi-tinggi. Dengan bodohnya aku berusaha mengambil
topi itu sambil melompat-lompat menggapainya. Tawanya semakin lebar sampai ia
berlari menghindariku. Aku merasa senang dan tidak memedulikan apapun yang ada
di sekitarku. Yang aku rasa adalah aku menikmati permainan ini.
“Hahaha…”
“Oh.. iya
aku ingat kejadian itu!” ucapku setelah mendengar perkataan dari Darel. Darel baru saja bercerita tentang
masa lalu kami.
“Hahaha…
iya hahaha.” Darel ikut tertawa.
Mengingat cerita konyol di masa lalu memang menyenangkan.
“Maaf,” ucap Edgar. Aku menoleh ke arahnya dan tawaku terhenti.
“Maaf,
tapi sepertinya aku mengganggu acara kalian.” katanya lagi.
Aku segera mengangkat dua tanganku dan menggoyangkannya,”Sama sekali
tidak, Gar.”
“Sekarang
sudah jelas. Siapa yang kamu pilih. Darel lebih cocok untukmu. Kembalilah padanya. kita tidak
mungkin terus bersama seperti ini. Kau tidak mau ada yang merasa sakit kan?” ucap Edgar lagi.
Mataku melebar. Aku melihat Darel dan Edgar bergantian. “tapi, Gar.”
Aku belum siap melepaskan Edgar pergi dari hidupku. Dia
yang selama ini menemaniku ketika Darel tak mampu melakukannya. Edgar juga selalu
memberikan masakan
terbaiknya untukku.
Aku mengerutkan keningku dan menahan lengan Edgar. “Gar,”
“Kita masih
bisa berteman,” ujarnya.
“Tapi, aku
belum..” ucapanku
terhenti. Aku takut suaraku terdengar bergetar di telinga mereka.
Edgar menggeleng , “Terimakasih untuk semuanya, Lanna.”
“Gar!” suaraku
semakin keras seiring
dengan tanganku yang semakin keras menahan Edgar pergi.
Dia
melepas tanganku dari mantelnya. “Semoga kita bertemu di lain waktu.”
Edgar melangkah pergi . Aku masih mematung melihat punggungnya
yang semakin lenyap diantara keramaian. Mataku tak juga berkedip sampai aku
merasa perih.
“Edgaaar!!”
Namun aku yakin Edgar tak akan
mendengar teriakanku. Aku menunduk memandangi sepatuku, yang bisa kulakukan hanyalah menerima
kenyataan. Benar apa yang dikatakan Edgar, tidak mungkin untuk terus bersama. Karena
aku tidak mampu memilih maka dialah yang memilih untuk pergi.
***
Aku berjalan menyusuri taman hyde
sendirian. Aku hanya butuh sedikit ketenangan dan waktu untuk menerima
semuanya.
Aku duduk dan bersender di bangku
taman dan menengadahkan mukaku ke langit. Sekarang… tidak ada lagi yang akan
memasak masakan Eropa
untukku atau
bercerita tentang karirnya sebagai chef di hotel.
Aku menghembuskan nafas dan
melihat keadaan sekelilingku. Di balik semak itu ada seorang pria sedang duduk
membelakangiku. Postur tubuh, bentuk kepala dan rambut hitamnya yang
aku kenal. Darel lee! Itu
dia! Sedang apa dia disitu?
Kuputuskan untuk menghampirinya
dan mengagetkannya dari
belakang. Aku
melangkah dengan pelan dan hati-hati agar ia tidak menyadari kehadiranku.
Sampai di jarak 1 meter aku mengetahui bahwa dia sedang
berbicara dengan seseorang yang tidak dapat aku lihat. Mungkin lawan bicaranya
sedang jongkok sementara Darel duduk di
bangku itu dengan nyaman. Sama sekali tidak sopan!
“Maaf,
selama 2 tahun ini aku pergi meninggalkanmu.” itu suara Darel .
“Kamu
kemana saja? Apa kamu tidak tahu bahwa aku begitu hancur?” jawab seseorang .
suaranya tidak asing di telingaku. Dan , hey! Itu bukan suara seorang wanita.
Tapi… suara Edgar.
Aku memilih bersembunyi di balik semak dan membatalkan
niatku untuk mengagetkan Darel . Kurasa perbincangan ini sangat penting.
“Maaf, Gar. Aku masuk
rehabilitasi. Aku ingin sembuh, aku ingin normal seperti lelaki lain yang
mencintai wanita sepenuh hati. ” itu suara Darel .
Dadaku berdegup kencang mendengar
kata-kata itu. Jadi
selama ini.. ah tidak! Tidak mungkin! Aku berusaha menipis pikiran negatif yang terus
menjalari otaku.
“Tapi kamu
masih mencintai aku kan, Rel? Kamu
tahu aku menunggu begitu lama? Disini aku juga belajar untuk mencintai wanita. Aku belajar
cukup keras untuk mencintai Lanna. Tapi, seperti yang kau lihat sekarang. Aku tetaplah
aku.” Itu suara Edgar.
DAG! Dadaku semakin berdegup tak
karuan sampai aku merasakannya seolah-olah akan keluar dari tulang rusukku. Itu
benar-benar Edgar? Dia selama ini…
Aku menggelengkan kepalaku
kuat-kuat. Nafasku memburu tanpa bisa aku tahan. Kututup mulutku, berusaha menahan agar suaraku tak terdengar.
“Aku juga
merasa seperti itu , Gar. 2
tahun rehabilitasi ternyata
tak begitu berdampak untukku. Jantung ini masih berdegup kencang ketika aku
melihatmu. Apalagi ketika aku melihatmu di apartement Lanna waktu itu.”
balas Darel .
“Terlebih
aku, ketika melihat kamu begitu asyik bersama Lanna di London bridge. Sebenarnya aku
cemburu bukan pada Lanna,
tapi padamu , Rel.”
Cairan
hangat itu mengalir di
pipiku. Isak tangis yang aku
tahan hanya membuat dadaku semakin sakit saja. Jadi, selama ini bukan cinta
segitiga tapi lebih dari itu. lebih rumit dari itu! Aku mencintai Edgar
dan Darel , tapi Darel mencintai Edgar , Edgar mencintai Darel . Dan
selama ini aku hanya menjadi bahan belajar mereka? Mereka menggunakan aku
sebagai latihan untuk dapat mencintai wanita?
“Aku punya
suatu mimpi. Mimpi saat kita bisa bersama selamanya.” itu suara Darel lee.
Langkah kaki ini terasa bergetar
ketika aku memutuskan untuk menghadapi Darel dan Edgar. Aku berada di hadapan mereka
sekarang.
“Jahaaaat!”
Dengan air
mata di pelupuk mataku, samar aku melihat Darel dan Edgar berdiri melangkah mendekatiku.
“Lan,
dengarkan penjelasanku dulu.”pinta Darel lee seraya meraih tanganku. Tapi aku menepis dan menjauhkan lengan
itu dariku.
“Penjelasan
apa lagi hah?! Semuanya sudah jelas! Aku dengar semuanya! Jadi.. selama ini
masalahnya bukan aku yang mencintai kalian berdua. Tapi kalian yang mencintai
satu sama lain. ” ucapku penuh nafsu.
“Pantas
saja waktu itu Edgar bilang kalau sangat menarik menemukan orang bermata sipit di
London. Jadi maksudmu menarik secara hati? Hah?!” teriakku, pada Edgar.
Air mata ini terus mengalir. Aku memberontak ketika
mereka mencoba untuk mendekatiku.
“Jangan
coba-coba!” teriakku
lagi sambil mengacungkan jari telunjukku. Bisa kurasakan rambutku kacau,
mukaku juga mungkin lebih kacau. Pipiku juga terasa lengket karena air mata.
Kulihat wajah oriental Darel lee. Dia tampan…
tapi mengapa dia harus seperti ini? Lalu kulihat wajah Edgar, dia juga tampan. Wajahnya teduh
dan mata coklatnya itu sangat memikat.
“Edgar, jadi
ini orang yang kamu maksud meninggalkan kamu? Ini kekasih yang selama ini kamu
sering ceritakan padaku?” tanyaku seraya menunjuk Darel.
Benar-benar tak habis pikir. Ternyata selama ini kekasih yang
meninggalkan aku dan meninggalkan Edgar adalah orang yang sama! Padahal kami
berdua sering berbagi cerita tentang hal itu. Mungkin akan lebih normal rasanya apabila
Darel menyelingkuhi aku dengan seorang wanita. Rasa sakitnya mungkin masih
wajar, tapi ini… dia menduakan aku dengan seorang lelaki! Rasanya aneh dan
mungkin lebih menyakitkan daripada aku mengetahui dia berselingkuh dengan
wanita lain.
“Sekarang aku mengerti, benar! Memang ada beberapa mimpi
di dunia ini yang lebih baik tidak jadi kenyataan.”aku berjalan mundur
menghindari 2 lelaki jangkung di hadapanku.
“Seperti
kalian! Mimpi kalian untuk bersatu atau bahkan menikah lebih baik tidak jadi
kenyataan! Paham?!” ucapku sambil menghampus air mata di pipiku dengan kasar.
“Karena
apa? Karena itu merusak ekosistem!” lanjutku menirukan apa yang dulu Edgar
katakan.
“lan,
dengar penjelasanku dulu! Aku juga merasa ada sisi lain dalam diriku. Maksudku aku
merasa ada 2 sisi
dalam diriku yang saling bertolak belakang.” kulihat wajah tampan Darel lee memelas sambil mengatakan kata-kata tadi.
“Rel,
kesempatan kamu sudah habis. Ini kesempatan terakhir yang kamu punya dan kamu
telah menyia-nyiakannya. Semoga lain kali kita masih bisa bertemu.” aku memutar
badanku dan berlari secepat kakiku membawanya. Berlari sampai aku merasa lelah… lelah… dan
tak ada lagi sisa tenaga untuk menangis.
***
TAMAT
london bidge :
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan