Author : Maya Partita
Genre : Thriller, romance, school life
Rated: PG
Leight : Chapter
Summary:
Aku pernah mendengar bahwa banyak sekali kasus pembunuhan
tak terpecahkan yang terjadi pada bulan November. Bukan bermaksud apa-apa … aku
hanya ingin membuktikan apakah itu benar?
“Mari membuat kasus
ini tak terpecahkan.”
Atau setidaknya … buat mereka
menyimpulkan sebuah kekeliruan ….
-Chapter 2-
Baca part 1 di sini
DEG! Belum sempat Levie menuntaskan kalimatnya, seketika
Natasha menjambak rambutnya dengan membabi-buta. Dia nampak kesal dan begitu
berapi-api hingga wajahnya meringis gemas dan urat-urat tangannya mulai
bermunculan. Clianta hanya bisa terpaku. Entah harus berbuat apa. Dia sendiri
tidak menyangka bahwa Natasha akan melakukan hal nekat semacam itu di tengah
hiruk pikuk kelas.
“Nat! Stop! Nat!” Clianta mulai tersadar dari masa-masa
terpakunya. Dia berseru seraya menarik tubuh Natasha.
“Alah! Lu tau apa sih? Pergi sana! Nggak usah ganggu gue!
PERGI!”
Natasha meronta. Dia bersikeras menjambak rambut indah Levie.
Sementara yang dijambak hanya bisa meringis kesakitan. Memegangi kepalanya,
lalu semakin menunduk lebih dalam lagi. Mungkin dia akan bungkuk permanen kalau
terus seperti itu.
“Sakit! Sakit!” Sejujurnya dia lelah selalu disalahkan.
Padahal dia tidak tahu apa salahnya? Apakah menjadi cantik adalah sebuah
kesalahan?
Cantik itu menyakitkan, ya?
Tak ada satu pun yang akan mengerti jalan pikiran orang
picik semacam Natasha. Dia gila hormat! Dia tidak ingin ada satu pun wanita
yang menyaingi kecantikannya. Tak ada satu pun.
“Nat! Stop! Kamu nggak boleh bunuh anak orang!”
Bunuh? Padahal sadar-tidak sadar, dia juga sedang membunuh Levie
secara perlahan dengan kata-katanya. Dan itu lebih menyakitkan dari apapun. Levie
sebenarnya tidak mau dibunuh dengan cara seperti itu—entah itu lewat kata-kata
atau jambakan. Yang pasti keduanya bukan cara mati yang elegan. Levie ingin
mati, tentu. Semua orang menginginkannya dengan cara yang elegan. Mungkin mati
ketika sedang berbuat baik dan bahagia. Itu akan lebih keren dari ini semua.
“Persetan! Gue nggak peduli!”
Suara derap kaki terdengar bergemuruh. Siswa-siswa
berhamburan masuk ke dalam kelas. Natasha dan Clianta pun kembali ke tempat
duduk mereka. Semua kembali ke tempatnya masing-masing. Diam dan duduk dengan
rapih. Hingga pintu kelas kembali terbuka. Bu Evi masuk sambil menenteng buku
absensi.
Levie semakin menunduk. Mengusap kepalanya pelan dengan mata
terpejam. Bangku di pojok kanan itu terasingkan. Pojok, di belakang pula.
Tempat yang membuatnya semakin sulit menerima materi pelajaran. Tulisan di papan
tulis pun terkadang tak terbaca. Dia ingin meminjam catatan teman. Namun, dia
kembali ingat: dia tidak punya teman.
Airmata menetes. Desahan nafas terengah-engah terdengar
lirih dari bangku itu. Tangis yang ditahan.
“Buka halaman 56.”
Levie menghapus air matanya sendiri. Memantapkan nafas kembali
dan menuruti perintah Bu Evi.
***
Levie menyebutnya ‘lelaki bermata pohon ek’. Bukan apa-apa.
Hanya saja ia memiliki mata super teduh yang pernah Levie lihat. Teduh seperti
pohon ek ketika dia berada di bawahnya. Dengan menatap mata itu, Levie bisa
merasa berada di bawah pohon ek. Melupakan orang-orang yang membencinya untuk
beberapa saat.
Levie hanya ingin berada di dalam rengkuhan pohon itu
selamanya. Yang membuatnya tenang dan merasa aman. Lalu dia bisa mencium aroma
lelakinya begitu dekat hingga ke ubun-ubun.
“Antarkan aku ke salon, ya?”
Dinding dingin sekolah ini memantulkan suara derap langkah
kaki mereka di lorong. Yang tersisa hanyalah mereka berdua. Sekolah sudah
sangat sepi, bahkan gesekan karet sepatu dengan lantai pun dapat terdengar
sekarang.
“Salon?”
Evan berdecak. Yang benar saja? Semua lelaki tahu, pergi ke
salon bukan pekerjaan yang menyenangkan. Itu sangat membosankan, tidak
diragukan lagi.
“Ya, salon. Kamu tidak sibuk?”
Angin sore menyapu tengkuk. Matahari menyinari wajah mereka
lewat jendela-jendela tinggi di sepanjang lorong. Tralis besi menyiptakan
bayangan yang bergerak-gerak seiring dengan langkah mereka.
“Kamu udah cantik, kok. Nggak perlu ke salon lagi, Lev.”
Pelan-pelan Levie mengusap kepala. Berusaha meredakan nyeri
bekas dijambak Natasha tadi.
“Lev? Kenapa? Ada masalah sama rambut kamu?”
Levie hanya diam. Menatap lurus ke ujung lorong.
“Lev?”
“Levie!” Direngkuhnya pundak wanita itu hingga menghadap
lurus ke arahnya.
“Kenapa, Lev? Kenapa?”
Mata polos dan mata pohon ek itu saling bertemu. Pandangan
milik Levie terasa lebih sendu. Itu membuat lelakinya menatap dengan khawatir.
“Levie, jawab.”
Tangan Levie mulai terangkat. Meraba rambut Evan dengan
jari-jarinya yang lentik. Menyusuri ubun-ubun hingga ke belakang telinga.
“Aku ingin punya rambut yang pendek. Sependek rambutmu.
Supaya mereka … tidak bisa menjambakku lagi.”
Levie tersenyum tipis. Evan melihatnya sebagai ironi. Untuk
keadaan seperti ini, senyuman itu justru membuatnya semakin sakit. Wanita yang
ia cintai harus berlaku seperti itu. Memotong rambut hanya karena teman-temannya.
Dia takut dijambak. Alasan yang sangat konyol dan memilukan.
Angin yang dari ujung lorong pun sepertinya kaget ketika
berhembus ke arah pasangan ini. Mereka berdiri berhadapan di tengah-tengah
lorong yang sepi. Lalu badan disinari cahaya senja di satu sisi. Debu-debu di
udara yang tersorot turut menghiasi mereka. Romantis.
Tangan Levie menelusuri belakang telinga Evan hingga tiba di
atas kedua rahangnya yang kokoh. Dia kembali mengulum senyum. Memandangi wajah
lelakinya dengan seksama lalu berkata dengan pelan.
“Apa aku akan tetap cantik dengan rambut pendek?”
Kerutan di dahi Evan semakin dalam. Bukan karena dia bingung
atau tak habis pikir. Ini lebih karena dia meringis menahan tangis. Hatinya
teriris pilu. Dia tak mengerti, mengapa wanitanya bisa begitu polos. Kepolosan
yang membuatnya tak berdaya.
“Levie akan tetap cantik. Tak peduli dengan rambut pendek
atau panjang,” Evan berkata pelan, lalu menarik nafas dengan berat. Dia
berpikir tentang apa saja yang terjadi pada wanitanya selama kelas berlangsung.
Seharusnya aku berada
di situ, Levie. Melindungimu ….
Masih dengan pandangan yang khawatir, dia merengkuh tubuh Levie.
Membiarkan wanita itu bersandar di dadanya yang tegap. Tangan kanan memeluk
kepalanya, sementara tangan yang lain ia biarkan terjatuh di sisi tubuhnya.
“Tak ada yang bisa menjamin, apakah mereka akan menjambakku
lagi atau tidak. Aku hanya berjaga-jaga. Ini satu-satunya cara agar aku tidak
perlu merasa kesakitan, seperti tadi.”
Tidak ada yang lebih menyakitkan untuk Evan kali ini selain
mendengar wanintanya mengaku bahwa ia kesakitan. Meskipun itu sudah terlewat,
namun ketidakhadirannya tetap membuatnya menyesal.
“Antarkan aku ke salon, ya?” suara itu tenggelam di antara
dada Evan. Sampai kembali menjadi jelas ketika Levie mengangkat kepalanya untuk
melihat wajah Evan.
“Aku akan mengantarmu. Tapi, jangan sekarang.”
“Hm.”
Kembali ia menemukan pohon ek yang merengkuhnya. Sosok yang
hangat dan pandangan yang teduh. Dia ingin ini berlangsung selamanya. Tak ada
yang tahu kapan ini berakhir. Tapi, ia mau setiap kali ia menatap mata itu,
maka yang dilihatnya adalah pohon ek. Teduh dan membuatnya merasa aman.
“Mereka keterlaluan.”
Evan melepaskan jeratnya. Mereka kembali berjalan menyusuri
lorong yang sepi.
***
Levie menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya masih
saja panjang. Dia belum punya waktu luang untuk pergi ke salon.
Ibunya sempat tercengang ketika melihat Levie berjalan
menuju meja makan. Gerak tangannya yang sedang menyusun piring pun terhenti
sebentar untuk sekedar memandang anak semata wayangnya. Wajahnya kusut. Tak ada
semangat sama sekali.
“Levie? Kamu baik-baik saja?”
“Iya, Eomma.“
Dia lalu duduk dan mulai membantu ibunya. Ibu dan anak itu
sempat berbincang dengan bahasa korea dan campuran bahasa inggris. Levie
mengadu tentang tugas sekolahnya. Terkadang dia mengerjakan tak sesuai
perintah. Parahnya, itu hanya terjadi pada dia satu-satunya di kelas. Di saat
yang lain menjawab dengan benar. Dia satu-satunya yang menjawab salah. Dia
merasa seperti orang bodoh. Mulai menyalahkan diri sendiri. Mungkin
kepercayadiriannya akan terus memudar jika ia terus hidup di kelas yang tidak
sehat seperti itu.
“Apa aku bodoh, eomma?”
Ibunya menggeleng. Mana ada ibu yang mau anaknya terlahir
sebagai orang bodoh? Lagipula, Levie bukan orang yang bodoh. Ini hanya kendala
bahasa. Kadang ada beberapa kata yang tak Levie mengerti dalam tugasnya. Itulah
yang membuatnya tersesat. Sementara itu, ayah dan ibunya tak bisa membantu.
Karena mereka juga bukan orang Indonesia.
“I am sorry honey, but I think your teacher will understand.
We aren’t Indonesian.”
Ya, gurunya tentu akan mengerti, tapi teman-temannya?
Akankah mereka mengerti dengan keadaan yang sulit ini? Yakinlah, Levie akan
menjadi bahan olok-olok.
Dia tidak mau semuanya terulang lagi. Hari ini dia memutuskan
untuk pergi ke rumah Evan hendak menanyakan
tugas mata pelajaran bahasa Indonesia. Dia masih kesulitan membuat pantun.
***
Levie menekan bel rumah Evan untuk yang kedua kalinya. Tak
lama, lelaki itu membuka pintu. Tapi itu bukan Evan. Mungkin pembantunya. Evan
pernah cerita kalau di rumah besar ini dia hanya tinggal bersama dua orang
pembantu dan satu orang tukang kebun.
“Levie, ya? Silahkan masuk. Evannya lagi di taman belakang.
Kalau sudah sibuk sendiri seperti itu, saya suka nggak berani ganggu, Non.
Jadi, Non samperin dia aja, ya,”cerocos lelaki tua itu.
Levie menurut dan mengikuti langkahnya. Tampak dari
kejauhan, Evan tengah membelakanginya. Levie mendekat. Keluar dari rumahnya dan
menginjakan kaki ke taman belakang yang begitu luas dan hijau. Berjalan pelan,
ia memeluk tas seledang yang berisi buku dan alat tulis ala kadarnya.
Mata Levie mengecil, mencoba fokus terhadap apa yang ia
lihat.
Itu?
Evan? Dan pisau di tangannya?
Apa-apaan?
Mata Levie membesar. Dia hampir tidak percaya. Langkahnya
terhenti. Dia hendak berbalik, namun …
“Levie!” lelaki itu keburu memanggilnya.
Badan Evan masih membelakanginya. Namun kepalanya sudah
mengarah ke arah Levie. Dia melihat dengan ekor matanya. Lalu pisau di tangan
kanannya masih saja dia genggam.
“Kamu harus lihat ini, Levie. Kemarilah.”
Evan tersenyum. Tangannya yang lain menggepai-gapai, meminta
Levie agar mendekat.
Tak ada pilihan lain. Levie berjalan dan mencoba melangkah
semantap mungkin. Ia tak mau kelihatan gugup ataupun ragu-ragu di depan
kekasihnya.
Levie menarik nafas.
Mengerahkan tenaga untuk tersenyum.
Apalagi ini? Apakah hidup di antara teman-teman yang rusak
jiwanya masih kurang menyakitkan? Lalu, sekarang dia harus dihadapkan pada
kekasih yang ternyata gemar bermain pisau. Mungkinkah Evan seorang … Psikopat?
To Be Continue
No comments:
Post a Comment
jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan