Tuesday, December 24, 2013

NOVEMBER'S CASE [CHAPTER 2]






ikuti aku, yuk?

Author :  Maya Partita
Genre : Thriller, romance, school life
Rated: PG
Leight : Chapter
Summary:

Aku pernah mendengar bahwa banyak sekali kasus pembunuhan tak terpecahkan yang terjadi pada bulan November. Bukan bermaksud apa-apa … aku hanya ingin membuktikan apakah itu benar?

“Mari membuat kasus ini tak terpecahkan.”

Atau setidaknya … buat mereka menyimpulkan sebuah kekeliruan ….




-Chapter 2-

 
Baca part 1 di sini 

DEG! Belum sempat Levie menuntaskan kalimatnya, seketika Natasha menjambak rambutnya dengan membabi-buta. Dia nampak kesal dan begitu berapi-api hingga wajahnya meringis gemas dan urat-urat tangannya mulai bermunculan. Clianta hanya bisa terpaku. Entah harus berbuat apa. Dia sendiri tidak menyangka bahwa Natasha akan melakukan hal nekat semacam itu di tengah hiruk pikuk kelas.

“Nat! Stop! Nat!” Clianta mulai tersadar dari masa-masa terpakunya. Dia berseru seraya menarik tubuh Natasha.

“Alah! Lu tau apa sih? Pergi sana! Nggak usah ganggu gue! PERGI!”

Natasha meronta. Dia bersikeras menjambak rambut indah Levie. Sementara yang dijambak hanya bisa meringis kesakitan. Memegangi kepalanya, lalu semakin menunduk lebih dalam lagi. Mungkin dia akan bungkuk permanen kalau terus seperti itu.

“Sakit! Sakit!” Sejujurnya dia lelah selalu disalahkan. Padahal dia tidak tahu apa salahnya? Apakah menjadi cantik adalah sebuah kesalahan?

Cantik itu menyakitkan, ya?

Tak ada satu pun yang akan mengerti jalan pikiran orang picik semacam Natasha. Dia gila hormat! Dia tidak ingin ada satu pun wanita yang menyaingi kecantikannya. Tak ada satu pun.

“Nat! Stop! Kamu nggak boleh bunuh anak orang!”

Bunuh? Padahal sadar-tidak sadar, dia juga sedang membunuh Levie secara perlahan dengan kata-katanya. Dan itu lebih menyakitkan dari apapun. Levie sebenarnya tidak mau dibunuh dengan cara seperti itu—entah itu lewat kata-kata atau jambakan. Yang pasti keduanya bukan cara mati yang elegan. Levie ingin mati, tentu. Semua orang menginginkannya dengan cara yang elegan. Mungkin mati ketika sedang berbuat baik dan bahagia. Itu akan lebih keren dari ini semua.

“Persetan! Gue nggak peduli!”

Suara derap kaki terdengar bergemuruh. Siswa-siswa berhamburan masuk ke dalam kelas. Natasha dan Clianta pun kembali ke tempat duduk mereka. Semua kembali ke tempatnya masing-masing. Diam dan duduk dengan rapih. Hingga pintu kelas kembali terbuka. Bu Evi masuk sambil menenteng buku absensi.

Levie semakin menunduk. Mengusap kepalanya pelan dengan mata terpejam. Bangku di pojok kanan itu terasingkan. Pojok, di belakang pula. Tempat yang membuatnya semakin sulit menerima materi pelajaran. Tulisan di papan tulis pun terkadang tak terbaca. Dia ingin meminjam catatan teman. Namun, dia kembali ingat: dia tidak punya teman.

Airmata menetes. Desahan nafas terengah-engah terdengar lirih dari bangku itu. Tangis yang ditahan.

“Buka halaman 56.”

Levie menghapus air matanya sendiri. Memantapkan nafas kembali dan menuruti perintah Bu Evi.  

***

Levie menyebutnya ‘lelaki bermata pohon ek’. Bukan apa-apa. Hanya saja ia memiliki mata super teduh yang pernah Levie lihat. Teduh seperti pohon ek ketika dia berada di bawahnya. Dengan menatap mata itu, Levie bisa merasa berada di bawah pohon ek. Melupakan orang-orang yang membencinya untuk beberapa saat.

Levie hanya ingin berada di dalam rengkuhan pohon itu selamanya. Yang membuatnya tenang dan merasa aman. Lalu dia bisa mencium aroma lelakinya begitu dekat hingga ke ubun-ubun.

“Antarkan aku ke salon, ya?”

Dinding dingin sekolah ini memantulkan suara derap langkah kaki mereka di lorong. Yang tersisa hanyalah mereka berdua. Sekolah sudah sangat sepi, bahkan gesekan karet sepatu dengan lantai pun dapat terdengar sekarang.

“Salon?”

Evan berdecak. Yang benar saja? Semua lelaki tahu, pergi ke salon bukan pekerjaan yang menyenangkan. Itu sangat membosankan, tidak diragukan lagi.

“Ya, salon. Kamu tidak sibuk?”

Angin sore menyapu tengkuk. Matahari menyinari wajah mereka lewat jendela-jendela tinggi di sepanjang lorong. Tralis besi menyiptakan bayangan yang bergerak-gerak seiring dengan langkah mereka.

“Kamu udah cantik, kok. Nggak perlu ke salon lagi, Lev.”

Pelan-pelan Levie mengusap kepala. Berusaha meredakan nyeri bekas dijambak Natasha tadi.

“Lev? Kenapa? Ada masalah sama rambut kamu?”

Levie hanya diam. Menatap lurus ke ujung lorong.

“Lev?”

“Levie!” Direngkuhnya pundak wanita itu hingga menghadap lurus ke arahnya.

“Kenapa, Lev? Kenapa?”

Mata polos dan mata pohon ek itu saling bertemu. Pandangan milik Levie terasa lebih sendu. Itu membuat lelakinya menatap dengan khawatir.

“Levie, jawab.”

Tangan Levie mulai terangkat. Meraba rambut Evan dengan jari-jarinya yang lentik. Menyusuri ubun-ubun hingga ke belakang telinga.

“Aku ingin punya rambut yang pendek. Sependek rambutmu. Supaya mereka … tidak bisa menjambakku lagi.”

Levie tersenyum tipis. Evan melihatnya sebagai ironi. Untuk keadaan seperti ini, senyuman itu justru membuatnya semakin sakit. Wanita yang ia cintai harus berlaku seperti itu. Memotong rambut hanya karena teman-temannya. Dia takut dijambak. Alasan yang sangat konyol dan memilukan.

Angin yang dari ujung lorong pun sepertinya kaget ketika berhembus ke arah pasangan ini. Mereka berdiri berhadapan di tengah-tengah lorong yang sepi. Lalu badan disinari cahaya senja di satu sisi. Debu-debu di udara yang tersorot turut menghiasi mereka. Romantis.

Tangan Levie menelusuri belakang telinga Evan hingga tiba di atas kedua rahangnya yang kokoh. Dia kembali mengulum senyum. Memandangi wajah lelakinya dengan seksama lalu berkata dengan pelan.

“Apa aku akan tetap cantik dengan rambut pendek?”

Kerutan di dahi Evan semakin dalam. Bukan karena dia bingung atau tak habis pikir. Ini lebih karena dia meringis menahan tangis. Hatinya teriris pilu. Dia tak mengerti, mengapa wanitanya bisa begitu polos. Kepolosan yang membuatnya tak berdaya.

“Levie akan tetap cantik. Tak peduli dengan rambut pendek atau panjang,” Evan berkata pelan, lalu menarik nafas dengan berat. Dia berpikir tentang apa saja yang terjadi pada wanitanya selama kelas berlangsung.

Seharusnya aku berada di situ, Levie. Melindungimu ….

Masih dengan pandangan yang khawatir, dia merengkuh tubuh Levie. Membiarkan wanita itu bersandar di dadanya yang tegap. Tangan kanan memeluk kepalanya, sementara tangan yang lain ia biarkan terjatuh di sisi tubuhnya.

“Tak ada yang bisa menjamin, apakah mereka akan menjambakku lagi atau tidak. Aku hanya berjaga-jaga. Ini satu-satunya cara agar aku tidak perlu merasa kesakitan, seperti tadi.”

Tidak ada yang lebih menyakitkan untuk Evan kali ini selain mendengar wanintanya mengaku bahwa ia kesakitan. Meskipun itu sudah terlewat, namun ketidakhadirannya tetap membuatnya menyesal.

“Antarkan aku ke salon, ya?” suara itu tenggelam di antara dada Evan. Sampai kembali menjadi jelas ketika Levie mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Evan.

“Aku akan mengantarmu. Tapi, jangan sekarang.”

“Hm.”

Kembali ia menemukan pohon ek yang merengkuhnya. Sosok yang hangat dan pandangan yang teduh. Dia ingin ini berlangsung selamanya. Tak ada yang tahu kapan ini berakhir. Tapi, ia mau setiap kali ia menatap mata itu, maka yang dilihatnya adalah pohon ek. Teduh dan membuatnya merasa aman.

“Mereka keterlaluan.”

Evan melepaskan jeratnya. Mereka kembali berjalan menyusuri lorong yang sepi.

***

Levie menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya masih saja panjang. Dia belum punya waktu luang untuk pergi ke salon.

Ibunya sempat tercengang ketika melihat Levie berjalan menuju meja makan. Gerak tangannya yang sedang menyusun piring pun terhenti sebentar untuk sekedar memandang anak semata wayangnya. Wajahnya kusut. Tak ada semangat sama sekali.

“Levie? Kamu baik-baik saja?”

“Iya, Eomma.“

Dia lalu duduk dan mulai membantu ibunya. Ibu dan anak itu sempat berbincang dengan bahasa korea dan campuran bahasa inggris. Levie mengadu tentang tugas sekolahnya. Terkadang dia mengerjakan tak sesuai perintah. Parahnya, itu hanya terjadi pada dia satu-satunya di kelas. Di saat yang lain menjawab dengan benar. Dia satu-satunya yang menjawab salah. Dia merasa seperti orang bodoh. Mulai menyalahkan diri sendiri. Mungkin kepercayadiriannya akan terus memudar jika ia terus hidup di kelas yang tidak sehat seperti itu.

“Apa aku bodoh, eomma?”

Ibunya menggeleng. Mana ada ibu yang mau anaknya terlahir sebagai orang bodoh? Lagipula, Levie bukan orang yang bodoh. Ini hanya kendala bahasa. Kadang ada beberapa kata yang tak Levie mengerti dalam tugasnya. Itulah yang membuatnya tersesat. Sementara itu, ayah dan ibunya tak bisa membantu. Karena mereka juga bukan orang Indonesia.

“I am sorry honey, but I think your teacher will understand. We aren’t Indonesian.”

Ya, gurunya tentu akan mengerti, tapi teman-temannya? Akankah mereka mengerti dengan keadaan yang sulit ini? Yakinlah, Levie akan menjadi bahan olok-olok.

Dia tidak mau semuanya terulang lagi. Hari ini dia memutuskan untuk pergi ke rumah Evan hendak  menanyakan tugas mata pelajaran bahasa Indonesia. Dia masih kesulitan membuat pantun.

***

Levie menekan bel rumah Evan untuk yang kedua kalinya. Tak lama, lelaki itu membuka pintu. Tapi itu bukan Evan. Mungkin pembantunya. Evan pernah cerita kalau di rumah besar ini dia hanya tinggal bersama dua orang pembantu dan satu orang tukang kebun.

“Levie, ya? Silahkan masuk. Evannya lagi di taman belakang. Kalau sudah sibuk sendiri seperti itu, saya suka nggak berani ganggu, Non. Jadi, Non samperin dia aja, ya,”cerocos lelaki tua itu.

Levie menurut dan mengikuti langkahnya. Tampak dari kejauhan, Evan tengah membelakanginya. Levie mendekat. Keluar dari rumahnya dan menginjakan kaki ke taman belakang yang begitu luas dan hijau. Berjalan pelan, ia memeluk tas seledang yang berisi buku dan alat tulis ala kadarnya.

Mata Levie mengecil, mencoba fokus terhadap apa yang ia lihat.

Itu?

Evan? Dan pisau di tangannya?

Apa-apaan?

Mata Levie membesar. Dia hampir tidak percaya. Langkahnya terhenti. Dia hendak berbalik, namun …

“Levie!” lelaki itu keburu memanggilnya.

Badan Evan masih membelakanginya. Namun kepalanya sudah mengarah ke arah Levie. Dia melihat dengan ekor matanya. Lalu pisau di tangan kanannya masih saja dia genggam.

“Kamu harus lihat ini, Levie. Kemarilah.”

Evan tersenyum. Tangannya yang lain menggepai-gapai, meminta Levie agar mendekat.

Tak ada pilihan lain. Levie berjalan dan mencoba melangkah semantap mungkin. Ia tak mau kelihatan gugup ataupun ragu-ragu di depan kekasihnya.

Levie menarik nafas.  Mengerahkan tenaga untuk tersenyum.

Apalagi ini? Apakah hidup di antara teman-teman yang rusak jiwanya masih kurang menyakitkan? Lalu, sekarang dia harus dihadapkan pada kekasih yang ternyata gemar bermain pisau. Mungkinkah Evan seorang … Psikopat?

To Be Continue

No comments:

Post a Comment

jangan jadi silent reader, tinggalkan komentar atau mention @tersugakan